Oleh : M. Dahlan Abubakar
Pengantar :
Tulisan ini dinukilkan dari kisah-kisah heroik dan berkadar “human interest” di dalam buku “Leadership in Practice” yang ditulis bersama oleh Asmawi Syam (Mantan Dirut BRI) dan Rhenald Kasali (Pemilik Rumah Perubahan) dan diluncurkan di Jakarta 8 Oktober 2019. Banyak hal yang menarik, terutama dari sisi ‘leadership’ (kepemimpinan) yang dapat disimak dari peristiwa demi peristiwa yang akan diturunkan mulai saat ini. (Redaksi).
Bingung mengisi masa “lockdown” yang sudah genap satu bulan plus satu hari, Senin (27/04/2020) sore, saya memelototi lima jejeran buku di baris depan (baris belakang/dalam tidak kelihatan) kamar tidur yang jadi perpustakaan mini, selain perpustakaan besar di kamar khusus sebelah.
Berharap menemukan buku yang belum tuntas dibaca, mata saya pun terhenti pada sebuah buku bersampul hitam berjudul “Leadership in Practice” buah karya duet penulis seorang praktisi, Asmawi Syam dan teoretisi, Rhenald Kasali.
Saya diundang khusus oleh Asmawi Syam menghadiri acara peluncuran buku itu di salah satu hotel di Jakarta 8 Oktober 2019. Pada halaman dalam buku setebal 318 halaman tersebut kedua penulis sempat menitip pesan “Semoga Bermanfaat”.
Pastilah bermanfaat, apalagi pertama kali saya menemukan dan memperoleh sebuah buku yang merupakan hasil kolaborasi yang apik, praktisi-teoretisi, bagaikan mur dan sekrup.
Untuk buku seperti ini, saya tidak membacanya dari awal, tetapi membuka daftar isi dan memilih judul-judul yang dianggap memperoleh prioritas dibaca lebih dulu dan “seksi”. Setelah dibaca, saya akan menandainya dengan stabilo ‘orange’ sebagai indikator bahwa bagian itu telah dibaca.
Setelah “bergerilya” di halaman daftar isi, mata saya terhenti pada Bab 10, halaman 87 dengan judul “Strong Leadership, Inspirasi dari Timor Timur”. “Pastilah menarik ini. Apalagi daerah itu pernah saya sambangi tahun 1994, lima tahun sebelum jajak pendapat,” saya membatin.
Di dalam catatan ini saya memberikan judul yang tentu saja simpulan dari isi bagian yang dibaca dan terasa lebih menggambarkan satu “patriotisme” individual-etnologikal yakni “Lelaki Bugis di Palagan Konflik”. Maksudnya, judul ini lebih menggambarkan seorang Asmawi Syam sebagai salah seorang yang dilahirkan di Tanah Bugis yang menganut fiolosofi perahu “Pantang surut ke pantai jika layar sudah terkembang”.
Tanggal 16 Agustus 1999. Hari itu Asmawi Syam sebenarnya memperoleh hadiah ulang tahun ke-44 yang sangat spesial. Yakni, memperoleh Surat Keputusan (SK) sebagai Pemimpin BRI Wilayah Denpasar yang membawahi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Timor Timur (Timtim).
Pada malam harinya, karyawan BRI di Denpasar sudah merancang acara pesta ulang tahun sekaligus syukuran bagi pria kelahiran Watansoppeng 16 Agustus 1955 ini. Namun, Asmawi menolak. Entah mengapa tiba-tiba saja pikirannya justru terasa berada di tempat lain. Pagi hari itu, dia ingin langsung berangkat ke Timor Timur yang sedang bergolak. Di TV, Asmawi mengikuti berita terjadinya pembunuhan-pembunuhan.
Aksi pembunuhan yang terjadi akibat konflik menjelang dan pascajajak pendapat yang kemudian dimenangkan secara curang oleh pihak pro-kemerdekaan ternyata membuat banyak perusahaan hengkang dari provinsi termuda Indonesia itu. Banyak kantor sudah ditutup. Radio Republik Indonesia (RRI) Dili yang saya pantau memperdengarkan instrumen penutup siaran yang sangat mengharukan sebagai penanda radio pemerintah itu pamit dari daerah bekas jajahan Portugis yang dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 7 Desember 1975 tersebut.
Asmawi sempat gamang. Pasalnya, BRI Dili yang kini di bawah kendalinya harus tetap di Dili. Pasalnya, gaji TNI dan Polri dibayar melalui bank yang sudah berusia lebih dari satu abad ini. Juga, bank ini harus melayani masyarakat hingga di pelosok desa. Tidak ada pilihan lain, dia memantapkan hati tetap terbang ke Timor Timur, meski beberapa pihak menyarankan agar dia membatalkan rencananya karena situasi sangat tidak kondusif.
Kepada mereka yang memberi saran itu, Asmawi menangkis dengan membentangkan sebuah analogi dengan mengatakan bahwa dia memiliki empat orang anak (provinsi). Yang satu sedang ulang tahun (Bali), Yang satu lagi perlu dihibur karena tidak lulus tes masuk perguruan tinggi favoritnya (NTB). Satunya lagi sedang sakit dan demam di kamar (NTT). Sementara yang terakhir sedang sakit parah dan dirawat dalam ruang ICU rumah sakit (Timor Timur).
“Sebagai orang tua, tentu saya harus memprioritaskan menjenguk dan mendampingi anak yang tengah sakit parah di dalam ruang ICU. Timor Timur itulah anak yang sedang dalam keadaan kritis,” urai Asmawi.
Walaupun sudah menyatakan tekadnya tetap ke Timor Timur, seorang karyawan BRI Kanwil Denpasar mencoba mengurungkan niat Asmawi. Dia menginformasikan, memperoleh kabar bahwa seorang karyawan BRI Cabang Timor Timur baru saja ditebas dengan parang dan dirampok pada saat mengawal uang tunai dari kantor cabang BRI ke kantor BRI Unit.
“Suasananya begitu mencekam,” karyawan itu menambahkan, berharap informasi itu dapat menciutkan nyali Asmawi mengunjungi Timor Timur.
Alih-alih mengurungkan niatnya berangkat, informasi tersebut malah kian membulatkan tekad Asmawi segera terbang ke sana.
“Saya ingin bertemu dengan anak-anak saya di BRI Timor Timur, menguatkan mental mereka dalam melewati masa-masa sulit itu bersama mereka,” tulis Asmawi pada halaman 89 bukunya yang diterbitkan Balai Pustaka September 2019 itu.
Setelah memutuskan tetap ke Timor Timur, Asmawi bertanya kepada staf dan karyawan di Denpasar, adakah gerangannya di antara mereka yang bersedia mendampinginya ke sana. Sejenak suasana hening. Tak seorang bersuara. Tampaknya semua gamang dan saling pandang.
“Tidak ada yang mau menemani, tidak apa-apa. Saya akan berangkat sendirian,” sambung Asmawi lagi yang ternyata memicu I Putu Sugiana dari bagian protokol bersedia ikut terbang bersamanya ke Timor Timur.
Asmawi terbang dan tiba di Kota Dili pada hari itu dalam kondisi tidak satu pun hotel yang tersedia. Semua dalam situasi dan kondisi yang tidak jelas. Yang mana pro-integrasi dan mana pula yang pro-kemerdekaan. Suasananya memang begitu mencekam. Masing-masing pihak saling curiga siapa lawan, siapa kawan.
Asmawi dan teman seperjalanannya akhirnya menginap pada salah satu rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya yang sudah eksodus. Ya, siapa yang mau tinggal di daerah dengan situasi yang sedang panas-panasnya. Mereka lebih memilih menyelamatkan jiwa dan membiarkan rumah dan perabotnya ditinggalkan begitu saja.
Pada hari kedua kedatangannya di Kota Dili, Asmawi mengumpulkan seluruh karyawan BRI. Jumlahnya sekitar 45 orang. Sebagai pejabat baru dia memperkenalkan diri. Dia menjelaskan, baru saja melakukan serah terima – bahkan belum sempat bekerja di Denpasar – langsung datang menemui mereka.
“Apa keinginan kalian?,” tanya Asmawi. “Kami ingin keluar dari Timor Timur, terutama yang bukan penduduk asli,” kompak mereka menjawab.
Mereka juga menyampaikan kalau dua orang temannya baru saja kehilangan lengan karena ditebas saat mengantarkan “uang cash” dari kantor cabang ke kantor unit. Terjadi perampokan dan penganiayaan, sama dengan yang dilaporkan seorang karyawan sebelum Asmawi meninggalkan Denpasar. Mendengar keinginan mereka, Asmawi diam sembari memandangi mereka. Suasananya hening dan tampak tegang.
Asmawi menghela napas panjang dan memahami ketakutan mereka. Ya, sesuatu yang sangat manusiawi. Namun Asmawi harus tetap menjaga suasana batin mereka karena lembaga keuangan ini memiliki tanggung jawab menyalurkan gaji untuk pasukan TNI/Polri yang tengah berjuang menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masih terngiang di ingatan Asmawi hingga kini pertanyaan Mayor Jenderal TNI Adam Damiri, Panglima Kodam IX Udayana waktu itu.
“Kalau BRI tinggalkan Timor Timur gaji tentara bagaimana pembayarannya?”.
“Kalau kalian mau pulang, silakan. Saya akan tetap di sini,” kata Asmawi dengan tegas memecah keheningan yang membuat semuanya terdiam dalam kecamuk pikirannya masing-masing.
“Saya ini berkantor di Denpasar, tidak harus datang ke sini hari ini. Sedangkan tugas kalian semua memang di sini. Tetapi saya tidak bisa memaksa. Kalau ada yang ingin pulang, silakan. Biar saya tetap di sini,” imbuh karateka yang sukses memimpin misi peluncuran BRIsat, ”satellite banking” pertama di dunia di Kourou, Perancis bersama Arianespace tahun 2015 tersebut.
Kalimat itu rupanya membuat situasi menjadi hening lagi. Asmawi melihat wajah-wajah mereka kian tegang, meski mulai ada keberanian tersirat di balik sorot matanya. “Siapa yang mau pulang, silakan angkat tangan,” Asmawi bertanya dan ternyata tidak seorang pun yang menunjuk jari.
Keputusan BRI tetap bertahan di Timor Timur ternyata memberikan kesan mendalam bagi TNI. Ketika menjabat sebagai direktur BRI, Asmawi kembali bertemu dengan Adam Damiri, jenderal yang membawahi Timor Timur (1999) dan kemudian dingkat sebagai Dirut Asabri. Kala itu ada penandatanganan kerja sama pengelolaan dana Asabri dan pemanfaatan produk-produk perbankan BRI.
“Apakah ada yang tahu, apa singkatan lain dari Asabri ?,” melihat tidak ada yang segera menjawab, sang jenderal itu pun menjawab sendiri pertanyaannya. “Singkatan lain Asabri bagi saya adalah AkuSAyangBRI,” ujarnya yang mengindikasikan gaya militer yang tegas dan sportif dan juga respeknya terhadap BRI.
Asmawi berada di Dili saat ketegangan sedang memuncak. Siang hari saat dia berkendara dengan mobil sedan Toyota Corolla (bukan Corona, he..he.) warna merah maron menyaksikan truk-truk yang mengangkut milisi bersenjata yang hilir mudik seperti mencari target. Mereka menembakkan senjatanya secara liar ke udara menambah tegang situasi.
Bagi Asmawi yang baru pertama kali “terdampar” di palagan konflik, mendengar senapan serbu menyalak kencang sempat membuat nyalinya tergoncang. Ya, lumrah saja. Tidak diharap, ada saja peluru yang tidak punya mata itu nyasar. Bisa-bisa pulang tinggal nama.
Kota Dili dipenuhi wajah-wajah sangar disertai teriakan garang. Asmawi sudah memantapkan hatinya dan tidak butuh waktu lama bisa beradaptasi. Keesokan harinya, senapan serbu yang sempat membuat dirinya keder itu, terasa tidak menakutkan lagi.
Asmawi mendapat cerita dari beberapa warga Timor Timur yang bekerja di BRI. Rupanya, sebagai warga lokal, mereka juga sering didatangi milisi bersenjata, bergantian dari kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan.
Saat didatangi milisi pro-integrasi, mereka ditanya mendukung siapa. Tentu saja, tanpa ragu mereka menjawab mendukung pro-integrasi. Tetapi sebagai bukti dukungan itu, mereka diminta memberi bantuan.
Milisi pro-kemerdekaan pun melakukan hal yang sama. Saat tidak mampu lagi memberikan bantuan, mereka dianggap berseberangan, Mereka pun diteror mental dan fisik.
Sebagai seorang pimpinan, Asmawi terus memompakan semangat kepada para karyawan BRI, meski di hati juga tebersit kekhawatiran.
“Bagaimana jika nanti Indonesia kalah dalam referendum dan Timor Timur merdeka ? Para karyawan BRI, terutama yang berasal dari Timor Timur akan dipindahkan ke mana ?,” tanya mereka.
“Silakan masing-masing ambil kertas dan ballpoin. Tuliskan ke kantor dan kota mana Anda ingin dipindahkan jika referendum dimenangkan kelompok pro-kemerdekaan,” titah Asmawi yang mengistilahkan langkahnya ini sebagai “contingency plan”, “problem solving” (mengatasi permasalahan) sebelum terjadi problem.
Para karyawan pun masing-masing terlihat menulis di kertas. Kebanyakan menulis alamat asalnya. Alasan mereka hampir sama karena harus meninggalkan Timor Timur, untuk sementara tinggal di rumah orang tua atau mertua di tempat asal. Asmawi meminta kertas-kertas tersebut dikumpulkan, lalu ditandatangani.
“Simpan kertas ini. Inilah surat keputusan (SK) kepindahan Anda kelak,” titah Asmawi yang melihat ada wajah yang agak ragu-ragu saat menerima kertas SK dadakan itu. Mungkin mereka berpikir – karena Asmawi melihat keraguan mereka --, apakah Asmawi punya kewenangan untuk itu.
Melihat keraguan wajah-wajah ini, di depan mereka Asmawi mengontak Djokosantoso Moeljono, Dirut BRI, Asmawi meminta dengan kondisi kritis saat itu, butuh banyak keputusan yang harus diambil, yang tak mungkin semuanya akan dikoordinasikan dulu dengan para direksi terkait atau direktur bidang masing-masing di kantor pusat di Jakarta. Asmawi minta agar diberi mandat bisa bertindak atas nama dirut di wilayah Timor Timur.
“Asmawi, saya kasih saudara mandat itu. Boleh bertindak atas nama Dirut. Ambil langkah terbaik,” sahut Djokosantoso Moeljono yang menjadikan keputusan ini melecut semangat Asmawi dan juga para karyawan lagi sehingga makin kuat menghadapi krisis keamanan yang tampaknya kian memburuk dari hari ke hari.
Ketika buku ini ditulis, Asmawi meluangkan waktu mengonfirmasi keputusan Djokosantoso Moeljono itu. Apakah keputusan dilakukan sendiri selaku Dirut BRI.
“Saya putuskan sendiri,” dia menjawab. “Mengapa keputusan itu tidak diambil melalui rapat direksi ?,” usut Asmawi.
“Dalam situasi yang sangat mendesak, seorang pemimpin tertinggi harus mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk lembaganya. Itulah “fire fighting decision”. Sesuai prosedur, saya menyampaikan keputusan tersebut dalam rapat untuk dicatat,” imbuh Djokosantoso yang ternyata menarik perhatian mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unhas ini.
Keberanian Asmawi Syam sebagai lelaki Bugis, mengingatkan saya kepada seorang lelaki Bugis lain, almarhum Prof. Dr. Ir. Radi A Gany, yang juga kelahiran Soppeng, meskipun dalam konteks yang sangat jauh berbeda. Asmawi terjun ke wilayah konflik, Radi A.Gany mendatangi pendemo. Namun kedua peristiwa ini memiliki benang merah berkaitan dengan keberanian lelaki Bugis yang memegang teguh filosofi kehidupan leluhur “pantang menyerah, jika layar terkembang”.
Kisah Radi A.Gany, dinukilkan (dikutip) dari buku “Realitas Tanpa Mimpi” (2008) yang saya edit. “Suatu pagi, tiba-tiba saja kompleks Kantor Wantimpres, tempat Radi bekerja yang berdampingan dengan Istana Negara terdengar sangat gaduh. Di pintu masuk kantor di Jl. Veteran III dan persis berdampingan dengan pintu masuk samping Istana Negara, tiba-tiba hadir sejumlah demonstran yang berasal dari berbagai kelompok yang menamakan dirinya Forum Bersama Pembela Umat Islam. Mereka berorasi menggunakan pelantang (pengeras suara) yang lumayan kapasitasnya dan diarahkan langsung ke bangunan tempat Wantimpres berkantor. Akibatnya, rapat yang sedang berlangsung jelas nyaris tidak dapat berlangsung.
Agenda demo itu, mencetuskan keberatannya kepada salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang dinilainya melecehkan umat Islam. Tentu saja kata-kata hujatan dan tuduhan yang sudah melampaui tatakrama normal menggema memekakkan telinga pada siang hari itu.
Entah kenapa, tiba-tiba Radi tergerak untuk menghadapi para demonstran tersebut. Boleh jadi dia pede (percaya diri) karena sudah biasa menghadapi peristiwa serupa ketika masih sebagai Rektor Universitas Hasanuddin, Radi langsung meninggalkan kantor, turun dan berjalan menuju mereka yang sedang berorasi di depan pintu masuk kompleks kantor.
Radi dengan keberanian orang Bugis mendekati mereka dan dengan suara datar dan lirih berbisik kepada salah seorang yang memakai masker dan sorban yang mirip pejuang Taliban. Radi memberitahu demonstran itu bahwa Abang Buyung yang dicari sedang tidak ada di kantor. “Beliau menugaskan saya untuk menampung aspirasi Anda,” sapa Radi datar.
Sambil menyebut nama dan asal serta pesan Abang Buyung itu – yang sebenarnya tidak pernah sama sekali memintanya – Radi mengatakan tak surut menghadapi mereka.
“Kalau Anda marah pada beliau, silakan hujatlah saya. Bahkan, kalau mau labrak beliau, labraklah saya,” ‘tantang Radi dengan tutur kata yang serendah mungkin dan rada pelan.
Tiba-tiba demonstran mirip Taliban itu memberi isyarat, memanggil salah seorang temannya yang sedang berdiri atas kap mobil. Entah apa yang dikatakannya, namun kerumunan sekitar seratus orang tersebut tiba-tiba sepakat mundur dan meninggalkan pintu gerbang kantormu. Radi pun kembali dengan tenang ke ruang kerjanya.
Ya, begitulah kisah “heroik” seorang lelaki Bugis di palagan Konflik diimbangi pengalaman kecil mendiang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2007-2009 mengisi masa “lockdown” yang tak jelas kapan usai ini. (Bersambung)