Laporan M. Dahlan Abubakar
SETIAP hari, Ina Sei yang mengupahnya. Kendaraan padat. Juru parkir ini sangat jujur. Ada yang ikhlas memberi upah mengatur parkir kendaraan mereka tolak. Memang Midun sudah menyampaikan agar tidak memungut upah parkir pada kendaraan yang mampir.
“Kita bisa meraih untung bersih Rp 8 - Rp 9 juta per hari,” kata Mudin. Jika dia membeli ikan dengan modal Rp 4 sampai Rp 5 juta, bisa meraih profit antara Rp 7 sampai Rp 8 juta. Ini untung bersih. Dulu, belum menjual nasi dengan untung sebanyak itu, hanya menjual ikan bakar saja.
“Dulu, ikan sebesar sadel ‘honda’ (sepeda motor) sejenis kerapu, dllnya, harganya paling tinggi Rp 15.000 per ekor, dijual dengan harga paling tinggi Rp 50 ribu,” kata ayah tiga anak ini kemudian menambahkan, penjualan per ekor itu berlangsung saat dia belum menerapkan penjualan per kilogram.
Midun dulu berjualan di dekat sebuah kandang sapinya yang masih tersisa hingga kini. Dia dan Saodah begitu menikah tidak pernah tidur di rumahnya di Tadewa. Midun berdalih, mau istrinya dibawa ke Desa Tadewa, istri mau dikasih makan apa ? Hendak dibawa ke kampung istrinya, Midun juga malu dengan mertua yang tidak/belum merestui pernikahan mereka.
Akhirnya, sepanjang pinggir pantai yang menghadap ke Laut Flores di dekat saungnya dulu – tidak berapa jauh dari lokasi sekrang - keduanya tidur. Kalau sudah sore, keduanya berjalan mencari lokasi untuk bermalam. Dia menggali pasir sebagai tempat bermalam hingga pagi.
Pada pagi hari, keduanya menyambut datangnya nelayan yang pulang dari memukat (menangkap ikan dengan pukat/jaring). Mereka menawarkan jasa menjajakan ikan para nelayan tanpa modal sepeser pun.
“Kami hanya bermodalkan kepercayaan para nelayan saja. Hanya itu modal kami,” ujar Midun dalam wawancara di pondok kecil perempuan yang tanahnya sebagian mereka beli.
Sekembali istrinya dari pasar dan menjajakan ikan, barulah uangnya diserahkan kepada para nelayan. Begitulah rutinitas Ina Sei dan Midun selama beberapa tahun. Ina Sei menjunjung ikan di kepala dan tangannya pun juga membawa ikan. Apalagi saat itu, harga ikan masih murah. Dia menjual keliling mulai dari dekat pantai hingga ke Wora, salah satu desa yang ada di Kecamatan Wera yang berdiri sendiri sebagai desa pada tahun 2006. Jarak yang ditempuh belasan, bahkan hingga puluhan kilometer.
Pasangan ini setelah menikah, sekitar 5-6 tahun belum memiliki momongan. Setelah lahir anak pertama, bersamaan pula, hubungan dengan mertua akhirnya berjalan mulus.
“Mungkin kesengsaraan hidup kami tidak ada duanya se-Tanah Bima,” kata Midun.
“Bagaimana hubungan dengan mertua sekarang ?,” usut penulis.
Hubungan dengan mertuanya kini sudah membaik seiring dengan sukses yang diraih pasangan ini, bertepatan pula dengan lahirnya anak pertama mereka. Midun tidak memiliki rasa dendam sama sekali atas perlakuan mertuanya pada masa lalu. Malah kalau mertua mengadakan hajatan, Midun yang paling cepat berdiri di barisan depan.
Dalam bisnisnya sekarang, hingga dia duduk bersama penulis, Midun tidak pernah meminjam kepada siapa pun, termasuk kepada mertuanya. Hanya modal kejujuran saja yang dia andalkan. Membawa ikannya orang, setelah laku baru dibayar. Dulu, lokasi saung Ina Sei bagaikan hutan rimba. Pohon-pohon raksasa masih banyak tumbuh. Jalan masih penuh bebatuan dan berdebu. Dalam kondisi seperti itulah Ina Sei-Midun menginap di pinggir pantai. (Bersambung)