Oleh : M. Dahlan Abubakar
Setelah menuntaskan masa tugasnya di Cabang Singaparna Jawa Barat Asmawi Syam dimutasi dan diminta “pulang kampung”, memimpin Kantor Cabang BRI Somba Opu di Makassar. Setelah berkreasi dan sukses mempermolek ratusan gerobak kumuh penjual pisang epek, dan sebagainya di Pantai Losari, nama BRI meroket.
Orang yang melintas, termasuk Wali Kota Makassar saat itu, Suwahyo (alm.), terkaget-kaget melihat semaraknya wajah pantai itu. Suwahyo pun memanggil untuk mengetahui bagaimana Asmawi Syam piawai mempercantik pemandangan di Pantai Losari dengan gerobak-gerobak yang semula tampak kumuh, akhirnya menjadi memesona.
Mendengar kisah kiat Asmawi Syam memoles Pantai Losari, Suwahyo memberi apresiasi yang luar biasa. Wujudnya, wali kota asli Malang yang pernah memimpin dan mengantar klub Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM) juara PSSI Perserikatan 1992 ini, hendak berkirim surat ke Direksi BRI agar dia tidak dimutasi.
“Saya pun harus memberikan pemahaman bahwa langkah itu bisa menghambat karier saya. Saya pun meyakinkan bahwa hubungan baik itu akan terus saya jaga,” tulis Asmawi Syam (hlmn 269) yang kemudian dipromosi ke Semarang lagi.
Di Semarang, kebiasaan melakukan kontrol di luar jam kantor tetap berlanjut. Baru seminggu bertugas, dia mendapat informasi kalau Kantor BRI Cabang Pattimura di Semarang itu rawan terjadi kejahatan. Selain lantaran lokasinya sepi di malam hari, juga karena bangunannya sangat dekat jalan raya sehingga perlu pengamanan ekstra.
Sekitar pukul 24.00 WIB, Asmawi meninggalkan rumah dinasnya seorang diri. Dia akan mengulang ‘sidak’ seperti yang dilakukannya di Tasikmalaya, Jawa Barat sebelumnya. Mengemudikan sendiri mobilnya, sekitar 2-3 kali dia mengelilingi kantor cabang sebagai bagian dari observasi lapangan. Dia kemudian berhentidi depan kantor.
Kantor cabang ini, di ‘basement’-nya difungsikan sebagai tempat parkir dan pos Satpam. Kantornya sendiri ada di lantai 2. Asmawi melihat kondisi ‘basement’ sangat gelap karena lampu dipadamkan. Dia masuk ke ‘basement’ dengan sangat mudah karena memang lokasinya cukup dekat dengan jalan raya.
Dalam kegelapan, matanya menyapu ruangan. Dia mencari-cari stop kontak atau seklar guna menyalakan lampu. Tetapi, tidak ketemu. Akhirnya,dia dapat akal. Dia menjatuhkan benda ke lantai untuk menarik perhatian Satpam.
Ternyata kiat Asmawi ini benar. Serempak semua Satpam terbangun. Jumlahnya 3 orang.
Celakanya, salah seorang di antaranya langsung ‘membuat perhitungan’, menyerang Asmawi. Wajar saja dia menyerang karena dikira yang nongol dalam kegelapan itu di benaknya pastilah penjahat. Dia menyerang dengan pentungan di tangan.
Sebagai seorang penyandang Dan II karate, refleks Asmawi jitu. Dia membela diri dan menyerang balik.
Gelapnya ruangan membuat ‘pertarungan’ agak kacau, apalagi melihat temannya diserang. Dua Satpam lainnya memberikan bala bantuan. Ikut menyerang.
Beruntung – ternyata mereka 4 orang – satu Satpam lainnya menyalakan lampu. Barulah mereka sadar kalau sedang berhadapan dengan pemimpin cabang. Mereka kaget luar biasa. Lalu, meminta maaf.
Dari tiga Satpam yang menyerang Asmawi, rupanya salah seorang terkena ‘Mae Geri’ (tendangan yang dilakukan dengan bagian ‘cusko’, pangkal atau seluruh jari) dan cedera. Tidak ada pilihan lain, malam itu harus mendapat perawatan.
Ceritanya tak terhenti pada malam hari itu. Pagi hari esoknya, komandan Satpam yang juga ikut pada malam sebelumnya menghadap ke ruangan Asmawi. Ditemani Kasi Rutang (rumah tangga) Winarso. Komandan Satpam yang bernama Sunaryo meminta maaf dan menunjukkan penyesalan mendalam atas insiden pada malam itu.
“Pak, saya ini pensiunan tentara. Dengan kejadian semalam, hukuman di militer, kami bisa dipecat karena lalai dalam melaksanakan tugas dan menyerang pimpinan. Maka, dengan kesadaran dan tanggung jawab sebagai komandan, saya mengajukan pengunduran diri,” katanya sambil menyodorkan surat.
Asmawi sangat menghargai sikap dan sportivitasnya.
“Pengunduran diri saudara, saya terima. Silakan buka baju seragam Satpam saudara,” kata Asmawi saat berdiri menyalaminya.
Tanpa banyak basa-basi dengan sikap hormat, dia meninggalkan ruangan. Kasi Rutang, Asmawi minta tetap di ruangan. Selang 10 menit, Asmawi minta komandan Satpam itu dipanggil lagi ke ruangan.
Begitu dia masuk ruangan, tanpa penjelasan panjang lebar, Asmawi sodorkan selembar kertas kosong dan ballpoin. Dia minta kepala Satpam yang baru saja diterima pengunduran dirinya itu menulis surat lamaran kerja.
“Saya kira sudah dipecat, Pak,” katanya dan Asmawi melihat kebingungan di wajahnya. “Betul, saudara sudah diberhentikan. Tetapi saya menginginkan saudara bekerja kembali. Oleh sebab itu, agar bisa bekerja lagi, harus membuat surat lamaran baru,” Asmawi berkelit dan ternyata dia menolak karena merasa malu sudah gagal menjalankan tugas sebagai komandan Satpam.
“Kali ini saudara harus menghargai saya. Tadi saya sudah menghargai saudara untuk menebus kesalahan dengan mengizinkan pengunduran diri. Sekarang saya minta saudara menghargai permintaan saya agar saudara melamar kembali sebagai komandan Satpam,” sambung Asmawi lagi.
“Bapak orang baik. Terima kasih. Terima kasih,” dia berdiri dan dengan rasa haru berkata. “Kenapa saudara yang harus mengundurkan diri. Kenapa tidak saudara perintahkan Satpam yang lainnya mengundurkan diri ?,” Asmawi kemudian bertanya lagi.
“Pak, dalam militer, tidak ada anak buah yang salah. Semua kesalahan ada di pundak komandan,” jawabnya singkat. “Luar biasa. Inilah kehormatan seorang komandan,” penyandang DAN VI dan Dewan Guru pada Institut Karate-Do Nasional (Inkanas) itu membatin. (*)