Oleh M. Dahlan Abubakar (Penerima Penghargaan Wartawan Olahraga Kota Makassar)
Kontingen Sulawesi Selatan kokoh di peringkat ke-16 klasemen perolehan medali PON XXI/2024 Aceh-Sumatra Utara yang berakhir, Jumat (20/9/2024). Meraih 10 emas, 20 perak, dan 32 perunggu, dan total 62 medali, termasuk prestasi yang tidak mengecewakan jika dilihat dari jumlah medali.
Hanya saja di Aceh-Sumut, Sulsel minus sekeping medali emas, namun mengalami peningkatan yang signifikan pada medali perak dan perunggu jika dibandingkan pada PON XXI Papua merebut masing-masing 13 keping medali, total 37 medali. Terdapat selisih 25 medali dengan yang diraih di Aceh-Sumut.
Prestasi ini saya nilai sudah sangat maksimal jika menyimak kendala dan keterbatasan yang dihadapi kontingen Sulawesi Selatan sebelum menuju ke ajang PON XXI.
Ketua KONI Sulsel Yasir Mahmud di tengah keprihatinannya dengan terpuruknya peringkat perolehan medali ini, juga menyoal masalah anggaran yang minim. Masalah anggaran yang disinggung Yasir Mahmud tidak saja benar, tetapi dana dalam bentuk hibah itu telah terjebak dalam birokrasi yang sangat tidak mendukung kelancaran pembinaan olahraga di daerah ini.
Bisa dibayangkan, untuk melayani keperluan para atlet, semisal, mengikuti kejuaraan nasional yang merupakan bagian dari kualifikasi PON, atlet terkadang harus merogoh kocek sendiri lantaran dana tidak segera cair. Sementara kegiatan sudah di depan mata. Tidak urung, manajer cabang olahraga harus meminjam kiri kanan, padahal ini demi kepentingan daerah.
Yasir Mahmud sendiri membandingkan proses pengelolaan dana hibah ketika SYL menjabat gubernur. KONI Sulsel dan para atlet tidak mengalami keluhan separah saat ini. Yang sangat miris, ke PON XXI ini KONI Sulsel hanya digelontori dana Rp 17,5 miliar plus Rp 14 miliar untuk kontingen berkekuatan 402 kepala ditambah ofisial dan satgas, hingga total 600-an orang sementara pada PON XX/2021 Papua, KONI ‘bermitra’ dengan Dispora Sulsel memperoleh dana Rp 30 miliar untuk 200-an lebih atlet. Bandingkan dengan anggaran KONI Kota Makassar yang Rp 25-27 miliar per tahun.
Terus terang, kendala anggaran yang dihadapi pengurus KONI Sulawesi Selatan pimpinan Yasir Mahmud ini merupakan warisan dari pengurus pimpinan Ellong Chandra yang permasalahannya terus berlanjut hingga kini. Pada masa saya menjadi pengurus seolah tidak ada kran jalan keluar mendobrak birokrasi penyaluran dana hibah untuk kepentingan KONI Sulsel ini. Dan ironisnya, masalah ini menjadi gunung es ketika tiba saatnya atlet akan mengikuti kegiatan olahraga nasional dan puncaknya pada PON XXI.
Dengan sangat berat hati saya harus katakan, pemerintah Provinsi Sulsel pasca-SYL telah menciptakan ruang yang memperlihatkan bahwa peningkatan prestasi olahraga daerah bukan sesuatu yang prioritas dan layak diperhatikan. Pemerintah sibuk dengan pencitraan dengan beragam penghargaan yang hendak digapainya.
Semisal mempertahankan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang hanya bersifat kebanggaan semua yang menara gading. Padahal, keberhasilan prestasi anak bangsa di bidang olahraga melibatkan perasaan dan kebanggaan masyarakat karena pada kegiatan ini mereka memiliki keluarga yang dengan susah payah membela nama daerahnya.
Seperti ditulis Tribun Timur, Jumat (20/9/2024), target lima besar yang dipatok Pengurus KONI Sulsel dan Dispora dinilai terlalu ambisius. Pasalnya, kita tidak berhitung, dua tuan rumah, Sumut dan Aceh, pada PON XXI Papua berada di bawah peringkat Sulawesi Selatan (ke-11). Aceh menduduki peringkat ke-12 dengan 11 emas, 7 perak, 11 perunggu (total 29) dan Sumatra Utara pada peringkat ke-13 dengan 10 emas, 22 perak, 23 perunggu (total 55). Tuan rumah sudah menjadi tradisi selalu berjuang keras dengan beragam cara agar berada pada peringkat 1 digit.
Ternyata benar, Sumatra Utara meroket ke peringkat IV dengan perolehan medali emas 79, perak 59, perunggu 116 dan Aceh pun melesat ke peringkat VI dengan 65 emas, 48 perak, 79 perunggu.
Jika dilihat dari jumlah perolehan medali, terjadi peningkatkan luar biasa, Tetapi publik kita selalu melihat dari peringkat. Peringkat Sulsel kali ini merosot dan terpuruk sepanjang PON yang diikuti Sulsel. Hingga PON XX, Sulsel paling jelek di peringkat XII. Kini, 2024, berada di peringkat XVI. Salah satu penyebabnya adalah, terjadi persebaran jumlah medali pada banyak kontingen. Jawa Barat yang tiga kali juara umum, saat ini merebut medali emas 195 emas, pada PON XIX/2016, selaku tuan rumah kontingen ini mengantongi lebih dari 217 keping emas, sehingga ada konsentrasi jumlah medali emas pada sejumlah kecil kontingen (Jawa Timur 132 emas dan DKI 132 emas).
Di Aceh-Sumut justru tidak. Sampai pada peringkat XI yang ditempati Sulsel saat PON XX Papua dengan 11 emas, kini kontingen yang mengantongi 21 medali emas (dua kontingen hanya beda perak di peringkat XI dan XII), 19 emas (peringkat XIII). Di Papua, peringkat I Jawa Barat hanya 133 emas, DKI di peringkat II dengan 110 emas. Peringkat XI dan XII yang ditempat Sulsel dan Aceh, sama-sama mengantongi jumlah emas, hanya beda jumlah medali perak, Sulsel 13, Aceh 7.
Kendala lain yang saya nilai kurang diperhitungkan adalah persoalan anggaran sebagaimana yang kemudian diakui sendiri oleh Yasir Mahmud. Praktik manajemen dana hibah pada periode pemerintahan yang baru berakhir ini, masih tetap berlaku saat Sulsel mengikuti PON XXI. Sehingga, penggelontoran dana untuk KONI Sulsel tidak akan ‘baik-baik’ saja dan inilah yang berdampak pada atlet. Bayangkan saja, sebuah perhelatan olahraga prestasi tingkat nasional para atlet tidak melakukan ‘try out’ dan uji tanding, pelaksanaan pemusatan latihan yang kurang memadai, pengadaan dan pengiriman alat, dan ketiadaan sarana dan prasana latihan yang terbatas.
Saya memahami bahwa seumur-umur kehadirannya sebagai provinsi, periode inilah Sulsel mengalami defisit anggaran dan berhutang. Jadi kita tidak heran kalau itu berimbas pada anggaran untuk KONI Sulsel.
Kita tidak perlu meratapi prestasi ini. Intinya, KONI Sulsel pada rapat anggota kelak harus mengevaluasi total kegagalan dan keberhasilan ini dari berbagai faktor dengan melibatkan pemerintah provinsi. Kita tidak bisa tidur nyenyak dan melupakan kegagalan tersebut. Nanti, pada PON XXII/2028, tuan rumah NTB yang berada di peringkat ke-14 (medali 17-17-21), dan NTT di peringkat ke-19 (medali 7-13-16) nanti pun akan menjadi ancaman bagi Sulawesi Selatan.
Saya khawatir ‘lagu’ Aceh-Sumut ini akan terulang lagi bagi Sulsel.
Merosotnya prestasi Sulsel (dari segi peringkat) menjadi bahan pemikiran bagi seluruh pihak, terutama masyarakat Sulawesi Selatan untuk -- maaf -- memilih figur yang pro-olahraga pada kontestasi pemilihan gubernur yang akan datang. Jangan pernah salah memilih. Lihatlah sarana dan prasarana olahraga yang mangkrak dan kini sudah menjadi hutan. Kita tidak ingin layaknya ‘keledai terantuk (terbentur) pada batu yang sama’ dalam hal pembangunan sarana olahraga ini. (*)