Puisi “Nakal” Remy Sylado

Catatan M.Dahlan Abubakar (Wartawan Senior)

Catatan ini selalu hadir setiap saya berdiri di depan para mahasiswa, mengajarkan mata kuliah “Kajian Puisi”, “Sejarah Sastra Indonesia”, dan terakhir “Stilistika”. Sebagai bahan kajian, puisi selalu menjadi objek dan data analisis. Berkaitan dengan sejarah sastra, pun menjadi bagian dari periode saat atau periode karya itu ditulis dan perlu diketahui mahasiswa. Dan sebagai materi stilistika, puisi menjadi objek yang sangat kaya untuk menganalisis beragam gaya bahasa yang digunakan oleh penyair dalam karya-karyanya.



Ada satu dari sembilan karya penyair Remy Sylado ini yang selalu menjadi objek analisis dan latihan mengkritik karya puisi bagi mahasiswa. Remy Sylado nama penanya dalam penulisan karya sastra. Bahkan dalam pergaulan di lingkar sastrawan dan wartawan, nama pena yang kerap dikenal orang. Nama aslinya, Japi Panda Abdiel Tambajong. Biasa disapa pendek Yapi Tambajong.

Nama Remy Sylado, konon berasal dari not dalam akor dari lagu “All My Loving” yang dibuat “The Beatles”. Nomor notnya 23761, yang bila dilafazkan “remi silado’ dan di-modernisasi menjadi “Remy Sylado”.
Remy Sylado telah tiada. Pria Minahasa Sulawesi Utara yang lahir di Makassar 12 Juli 1945 (pada masa pendudukan Jepang) ini meninggal di Jakarta pada tanggal dan bulan cantik serta tahun yang bersesuai, 12 Desember 2022.

Semasa hidupnya, dia dikenal dengan predikat yang multiprofesi. Dia dikenal sebagai sastrawan karena termasuk penulis puisi, cerpen, dan juga novel. Sebagai dosen, Remy Sylado mengajar di Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), Institut Kesenian, dan Sekolah Tinggi Teologi.
Selaku dramawan, Remy Sylado banyak tampil dalam lakon panggung, dalam drama romantis, seperti “Tinggal Sesaat Lagi” (1986), “Akibat Kanker Payudara” (1987) dan drama keluarga “2 dari 3 Laki-Laki” (1989).

Sebagai novelis tentu saja karena ia sering menulis novel. Dia juga aktor lantaran pernah bermain dalam film. Karyanya “Ca-bau-kan” (2002) diangkat menjadi film dengan judul yang sama. Sebagai aktor, Remy Sylado mendapat nominasi untuk Piala Citra di Festival Film Indonesia, sebagai ‘aktor pendukung terbaik’.

Pria dengan penampilan unik ini, juga pernah menjadi wartawan Majalah ‘Tempo’ (Semarang, 1965) dan Redaktur Majalah ‘Aktuil’ Bandung (sejak 1970).

Remy Sylado dalam karya puisi selalu dikenang dan dikenal dengan puisi ‘mbeling’. Kata ‘mbeling’ berasal dari bahasa Jawa yang bermakna : nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak. Jadi, di dalam puisi-puisinya yang termasuk kategori ini, kita dapat membaca dan menyimak kenakalan kreatif Remy Sylado.

Dari sembilan puisi ‘mbeling’-nya, salah satu yang “paling nakal” adalah puisi "Kesetiakawanan Asia-Afrika". Silakan Anda memilihnya pada makna'mana yang tepat kita tempatkan sesuai dengan makna dalam bahasa Jawa ini.
Mari kita mencoba menyimak puisi Remy Sylado berikut ini.

Kesetiakawanan Asia-Afrika
Mei Hwa perawan 16 tahun.
Farouk perjaka 16 tahun.
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00.
Farouk masuk kamar jam 24.00.
Mei Hwa buka blouse.
Farouk buka hemd.
Mei Hwa buka rok.
Farouk buka celana.
Mei Hwa buka BH.
Farouk buka singlet.
Mei Hwa telanjang bulat.
Farouk telanjang bulat.
Mei Hwa pakai daster.
Farouk pakai kamerjas.
Mei Hwa naik ranjang.
Farouk naik ranjang.
Lantas mereka tidurlah.
Mei Hwa di Taipeh.
Farouk di Kairo.

Pada saat hendak mengkaji atau menganalisis puisi ini, saya meminta salah seorang mahasiswa untuk membacanya. Mahasiswa yang lain diminta menyimak dan mengikuti secara saksama setiap baris di dalam puisi tersebut. Usai puisi dibacakan, secara bergiliran para mahasiswa saya minta memberikan komentar spontan secara verbal tentang puisi ini. Mereka tampak agak sulit merespon spontan tentang puisi ini. Saya pun memberi solusi agar membuat catatan tertulis sebagai tugas untuk pemberian nilai yang kelak diakumulasi dengan para dosen lainnya (total 4 orang dosen).

Catatan mereka sangat bervariasi dan ini cukup membanggakan sebagai proses awal melatih mereka menganalisis suatu karya sastra, khususnya puisi. Beberapa komentar mahasiswa saya kutipkan di sini.

Nur Rikha Azahra memberikan kesan yang terasa sangat kontrontatif emosional.
Kesan pertama ketika saya membaca puisi "Kesetiakawanan Asia-Afrika” karya Remy Sylado adalah mempertunjukan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Mei Hwa dan Farouk. Menurut saya tidak senonoh karena pada awal puisi mereka memasuki kamar bersama-sama, kemudian Mei Hwa membuka blouse dan Farouk membuka hem. Bait tersebut akan membuat kita berpikiran yang tidak-tidak tentang apa yang dilakukan keduanya.

Tetapi ketika membaca dua bait terakhir pada puisi tersebut yang menyatakan “Mei Hwa di Taipeh dan Farouk di Kairo” yang artinya kedua orang tersebut berada di negara yang berbeda, tetapi dengan waktu yang sama, puisi ini menggambarkan rutinitas Mei Hwa di Taipei dan Farouk di Kairo. Meskipun bahasa yang digunakan pada bait-bait awal terkesan intim dan vulgar, puisi ini sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa kesetaraan dan persamaan nasib antarindividu itu sama walaupun baerasal dari negara yang berbeda.
Pemilihan kota Taipeh dan Kairo mewakili dua benua yang terlibat dalam konferensi Asia-Afrika, Taipeh di benua Asia dan Kairo di Afrika.

Dari pendekatan sederhana itu, Remy Sylado yang mengekspresikan bahwa meskipun kita berbeda, pada inti kehidupan kita tetap sama. Pesan itu sangat relevan dengan hasil Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang berlangsung di Bandung, yaitu menghormati hak-hak manusia, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, mengakui persamaan derajat semua ras dan negara, dan lain-lain.

Mahasiswa lainnya, Kurni Suci Ramadhani, misalnya, menulis, secara metaforis, puisi ini tidak hanya menggambarkan tindakan individu, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai simbolisme dari hubungan antara Asia dan Afrika. Remy Sylado tampaknya ingin menunjukkan bahwa meskipun ada kesamaan dalam pengalaman atau tindakan (yang diwakili oleh kesamaan urutan tindakan antara kedua tokoh), mereka tetap terpisah secara fisik dan emosional oleh jarak geografis dan budaya yang jauh. Ini bisa dianggap sebagai metafora dari situasi hubungan antarnegara di Asia dan Afrika, terutama dalam konteks sejarah politik sebagaimana dituangkan dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, yang bertujuan untuk memperkuat persatuan dan kerja sama antarbangsa, meskipun masih ada perbedaan besar yang harus dihadapi.

Komentar Kurni Suci Ramadhani ini menghubungkan relasi historis antara perwakilan dua negara dari dua benua yang berbeda. Kontennya, meskipun terkesan sedikit ‘sensual’, namun menggambarkan kesamaan ‘budaya’ yang tergambarkan melalui sejumlah frasa dan kalimat di dalam puisi tersebut.

Lain pula komentar Salwa Meuthia. Dia menyimpulkan, puisi karya Remy Sylado ini merupakan karya yang kaya akan makna dan interpretasi. Dia menggunakan perbandingan dan metafora sederhana untuk menyampaikan pesan yang dalam tentang hubungan antarbangsa dan kemanusiaan universal. Dia mengingatkan kita bahwa meskipun manusia pada dasarnya sama, perbedaan budaya dan jarak geografis masih menjadi tantangan dalam membangun solidaritas yang sejati.

Marsya Amel Ramadhani berkomentar sesuai pengertian majas metafora terlihat bahwa hubungannya dengan puisi ini memilikik perbandingan. Dalam puisi tergambar jelas seorang perempuan bernama Mei Hwa dan seorang lelaki bernama Farouk yang melakukan hal yang sama pada waktu yang bersamaan.

Terdapat hal kontras yang kuat antara tindakan-tindakan yang dilakukan keduanya dengan judul puisi, "Kesetiakawanan Asia-Afrika." Judul tersebut mengarahkan pembaca mengharapkan cerita tentang persatuan dan kerja sama antarnegara, namun realitasnya adalah dua orang asing yang hidup dalam dunia mereka sendiri. Dapat disimpulkan, hubungan antara keduanya terletak pada judul dan isi dari puisi tersebut.

Nur Amelia menulis, pertama kali membaca puisi karya Remy Sylado ini, kesan yang saya dapat yaitu simpel dan realistis. Seperti kita sedang menonton adegan yang sangat intim dan ditulis dengan cara yang blak-blakan. Tetapi, begitu sampai di bagian akhir, tiba-tiba saya sadar kalau ternyata Mei Hwa ada di Taipei dan Farouk di Kairo, yang artinya mereka sebenarnya dua orang yang sangat jauh dan terpisah ribuan kilometer.

“Perasaan saya awalnya campur aduk. Awalnya agak bingung, ada juga kaget karena penggambaran adegannya diulang-ulang dan datar. Tetapi, pas sampai “ending”-nya, ada ‘twist’ (kejutan) yang membuat saya sebagai pembaca berpikir lebih dalam. Mungkin puisi ini tentang hubungan jarak jauh, atau bisa jadi simbol kesetiakawanan antara Asia dan Afrika yang, meskipun berbeda tempat dan budaya, tetap saling terhubung oleh perasaan kemanusiaan yang sama,” tulis Nur Amalia.

Satu catatan kritik di dalam puisi ini, Remy Sylado berusaha menggiring persepsi pembaca larut dalam keseragaman, selain tindakan, juga dalam hal waktu. Pemilihan waktu yang seragam itu untuk menyamakan semua apa yang dilakukan kedua sosok di dalam puisi tersebut.

/Mei Hwa masuk kamar jam 24.00/Farouk masuk kamar jam 24.00/.
Perbedaan waktu ini sebenarnya baru terungkap setelah kita membaca dua baris terakhir. Di sinilah kelihaian penyair memanfaatan ‘penyimpangan’ untuk mencapai keseragaman makna.

Dari awal sebenarnya kita dapat mengidentifikasi arah puisi ini dengan melihat nama keduanya. Mei Hwa merupakan sapaan terhadap warga Taiwan dan Tiongkok, sementara Farouk merupakan nama yang banyak dikenal di dunia Arab.

Begitulah cara Remy Sylado “mengamuk-amuk” emosi pembaca melalui puisinya yang satu ini. Awal-awalnya kita dibawa ke dunia yang sangat ‘pornografis’, namun di pengujung puisi, pembaca dibuat terkesima. Oh… (*)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN