Dialog Ramadhan dan Buka Puasa Bersama 'Membedah Karya Sastra Yudhistira Sukatanya'

Laporan : Rachim Kallo (Bagian Ketiga -- Selesai)

SOROTMAKASSAR -- MAKASSAR.

Di bagian ketiga ini, secara khusus awak media memohon maaf kepada Amir Jaya – penyair yang kadang disapa oleh teman-teman ‘Pak Uztad’, tidak menyebutkan namanya di tulisan edisi satu sebagai salah seorang peserta dialog ramdahan dan buka bersama “Membedah Karya Sastra Yudhistira Sukatanya”, beberapa hari lalu.

Pada edisi ini, Dr. H. Ajiep Padindang, SE.,MM selaku pengatur dialog ramadhan memberikan kesempatan beberapa orang penanggap Karya Sastra Yudhistira Sukatanya. Diantaranya, Amir Jaya, Abdi Bashit, Baghawan Ciptoning, Abd. Rojak. Selain itu, ada pembacaan puisi oleh Ahmadi Haruna dan sebagai penutup pembacaan doa sebelum buka puasa bersama.

Amir Jaya sebagai penanggap pertama mengawali kata “selamat” atas terbitnya buku Nyanyian Sunyi. Ini karya terbaru dari Yudhistira Sukatanya. Beberapa karya Yudhi telah dibacanya seperti antologi Balla Parang.

Nyanyian sunyi dipikirannya justru baiknya menjadi percakapan sunyi sebagai judul buku ini. Namun yang menarik karya cerpen Bung Yudhi yang masih membekas dalam benaknya, judulnya “Rajam” (hal. 21), dan dia menganggap cerpen yang berhasil.

Terakhir, dia juga menganggumi cerpen Bung Hasymi yang pernah terbit di Harian Fajar Tahun 80-an, begitu juga dengan Ibu Anil Hukmah.

“Di Sulsel banyak penulis cerpen, termasuk “senior-senior” (kedua pembicara) dan tentunya saya karena masa itu kami bergantian menulis cerpen di Harian Pedoman Rakyat maupun Harian Fajar,” ujar Amir yang dikenal penyair sufistik.

Amir mengajak, bagaimana mengumpulkan karya-karya cerpen kita dan untuk kita buatkan antologi bersama, dengan harapan bisa menjadi catatan amal jariah kita kelak dikemudian hari.

Lain lagi tanggapan dari Abdi Bashit – biasa dipangil kak Cucut (koreografer) memulai tentang sosok Yudhistira Sukatanya dalam membuat tulisan-tulisannya. Menurutnya, Kak Yudhi begitu cara memanggilnya, dalam membuat puisi, naskah teater jarang menggunakan kata-kata vulgar. Beliau dalam menulis sangat selektif memilih kata, bahkan sangat halus.

Lima bulan lalu, lanjut Cucut berkisah, kami bekerja sama membuat film pendek, Judulnya Karaeng Patingngaloang. Dia yang membuat scenario itu dengan sangat hati-hati dalam penulisannya, untuk menghindari orang lain tersinggung, apalagi akan bermasalah.

“Kak Yudhi sekarang “tidak ambisi” lagi seperti dulu,” sambung Abdi Bashit mencontohkan ketika membuat cerpen, hanya ditujukan kepada D, W, E dst, dia tidak mampu mengungkapkan kata-katanya dengan lisan, dia lebih suka mengungkapkan lewat tulisan.

“Justru tulisan beliau, sering saya pakai untuk orang lain (secara lisan),” kata Cucut disambut tawa oleh teman-teman yang mendengarkan.

Baghawan Ciptoning sebagai penari, dikenal sebagai koreografer dan pembuat festival menjadi penanggap ketiga. Sebelumnya dia tinggal di luar negeri yang dia istilahkan TKI (tenaga kerja Indonesia), lalu balik ke Jawa dan ke Makassar karena memperistrikan Dr. Nurlina Syahrir (Dosen Unm – Koreografer).

Sebelumnya dia tidak mengenal Yudhistira Sukatanya. Ketika di rumah Bu Lina, dia melihat sebuah novel masih terbungkus plastik di rak. Dia lihat judulnya Noni Societeit De Harmonie di tulis Yudhistira Sukatanya.

“Novel itu menjadi penyambut kedantangan saya di Makassar,” kata Mas Ciptoning begitu awak media memanggilnya. Seraya menambahkan, saya mengagumi Societeit karena ada hubungan emosional saya di Jogya.

Menyinggung Cerpen Nyanyian Sunyi, katanya kak Yudhi itu bukan sastrawan lagi tapi sosiolog seperti cerpen pertama percakapan sunyi dalam kumpulan cerpen nyanyian sunyi dan karya-karya lainnya yang ada dalam buku itu.

“Lapakkss bisa menjadi jembatan untuk karya-karya sastra lainnya, utamanya agar karya-karya sastra ini dapat mentransmisikan ke generasi muda,” harap Ciptoning.

Sebagai selingan pembacaan puisi yang di bawakan Ahmadi Haruna yang kini intens di Youtube membacakan puisi-puisi. Pada halaman 90 paragraf pertama dalam cerpen Puisi Yang Terindah, seperti kutipan di bawa ini.

“Ya Tuhan ……
Malu rasanya lidahku menyebut namaMu
Lidah yang tak pernah fasih menyapaMu
Demikian pula hatiku yang terlanjur membatu
Hati yang Zhulhami
Tak punya kelenturan seinci pun untuk ruku’ dan sujud
Di hadapan duli kebesaranMu


Terdengar aplaus usai Ahmadi Haruna membacakan puisi. Sang moderator Ajiep Padindang mengambil alih perannya. Sesekali melihat jam, ternyata kata Anggota Komite IV DPD RI masih ada tersisa 15 menit sebelum berbuka puasa.

Kini giliran aktor pemeran Petta Puang – Abd. Rojak, yang giat membuat konten petta puang ke media digital. Rojak – Petta Puang, mengatakan beberapa karyanya pernah dia baca seperti titik api, dan dia kagum kepada beliau sebagai penulis.

Acara dialog ramadhan dan buka bersama “Membedah Karya Sastra Yudhistira sukatanya di tutup dengan pembacaan doa oleh Amir Jaya. (*)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN