* Oleh : Rachim Kallo (Bagian I)
Seperti kita ketahui bahwa Taman Budaya (TB) mempunyai tugas melaksanakan pengembangan atau pengolahan seni budaya, laboratorium dan eksperimentasi seni budaya maupun memfasilitasi kegiatan seni budaya.
Di Sulawesi Selatan Taman Budaya, pada era 80-an, 90-an dan awal-awal abad ke-21 bisa dirasakan perannya terhadap pelaku seni budaya. Namun, fungsi itu berubah ketika TB dari vertikal menjadi otonomi yang berada di bawah pengendalian Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan.
Apakah Taman Budaya Masih Ada ? Dari judul ini hampir semua nara sumber dalam sesi wawancara secara terpisah mempertanyakan hal serupa. Bagaimana riwayatmu TB yang 'tempoe doeloe' dan sekarang ini ? Apa yang terjadi sesungguhnya pada lembaga itu ? Mari simak kenangan yang dibeberkan oleh 4 (empat) narasumber penggiat seni dan budaya serta 1 (satu) sumber dari praktisi TB yang memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP).
Mereka adalah, Yudhistira Sukatanya (Penulis, Dosen, Mantan Kepala Stasiun RRI), Dr. Arifin Manggau, S.Pd, M.Pd (Dosen Seni UNM dan Penggiat Seni), Arman Dewarti (Seniman), Bahar Merdhu (Sutradara Petta Puang) dan Abd. Karsin, SH (Karyawan TB yang kini memasuki MPP). Mereka membeberkan kenangannya dalam tulisan bagian pertama berjudul : Apakah Taman Budaya Masih Ada ? Riwayatmu Tempoe Doeloe !
Dr. Arifin Manggau, S.Pd, M.Pd (Dosen Seni UNM dan Penggiat Seni) mencoba bercerita masa ke-emasan TB di era tahun 90-an. Menurutnya, eksistensi taman budaya pada tahun 90-an dalam menorehkan program, sungguh luar biasa karena programnya langsung menyentuh seniman secara berkesinambungan.
Hal ini dimungkinkan karena Taman Budaya adalah sebuah turunan hirarki dari Kementerian Kebudayaan pada saat itu. Berbagai kegiatan yang tumbuh dan berkembang serta hampir seluruh elemen seni di sentuhnya dalam sebuah program kerjanya. Antara lain, saya juga sempat terlibat dalam program-programnya seperti Temu Komposer Muda pada saat itu, lupa nama programnya.
Bahkan dahulu TB memiliki gedung sederhana, sekarang gedung Mulo yang cukup representatif pada zamannya dan banyak diminati oleh masyarakat seni karena fasilitas dan daya akustik yang cukup bagus pada gedung itu.
Namun saat ini, Taman Budaya hanya menjadi kenangan saja karena adanya perampingan struktur kelembagaan pada pemerintah. Disisi lain, Taman Budaya juga menjadi bagian dalam tubuh Dinas Pariwisata Provinsi sehingga eksistensinya sulit untuk lebih aktual dikarenakan keterbatasan ruang kebijakan dalam menganulir kesenian secara maksimal, utamanya dalam hal penganggaran untuk Taman Budaya sekaitan membangun program-program kesenian yang lebih mutakhir dan elegan.
Yudhistira Sukatanya (Penulis, Dosen, Mantan Kepsta RRI), berpendapat bahwa Taman Budaya dimasa silam sangat baik, kebijakannya jelas pro kreativitas.
Sementara Arman Dewarti (Seniman) menilai, rasanya, Taman Budaya dulu sangat aktif bekerjasama dengan seniman dan budayawan Sulsel. Sekarang ini, Taman Budaya kurang aktif lagi, dan bahkan namanya pun kurang terdengar pula.
Abd. Karsin, SH (MPP Taman Budaya) berkisah, saya masuk di TB tahun 1984 dan tahu betul bagaimana sinerginya seniman dengan lembaga itu. Dulu waktu kepemimpinan Djamaluddin Latief (almarhum) sampai kepada Azis Hafied, hampir tidak ada waktu kosong untuk tidak melakukan kegiatan kesenian.
Para senior kita seperti Rahman Arge, Arsal Alhabsi, Husni Djamaluddin, AM. Mochtar (Kak Utta') dan banyak lagi seniman senior waktu itu, senantiasa berperan aktif memberikan sumbangsihnya ke TB sebagai lembaga pemerintah yg menangani kesenian.
Begitu pula lembaga seniman seperti BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia), DKSS (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan) bahkan Majelis Kebudayaan waktu ltu semuanya sinergi sehingga TB kelihatan perannya dalam mengembangkan dan melestarikan Seni Budaya !!!