Oleh. Patta Nasrah
Salah satu daerah tujuan wisata yang terkenal di Indonesia adalah Toraja, selain dari Bali. Begitu tingginya kunjungan turis ke Toraja, travel2 yang ada di Makassar mulai meningkatkan layanan. Irama Suka misalnya membuat program pelatihan bahasa Inggris bagi tukang becak atau Insatra yang bekerja sama dengan Batara Gowa untuk memberikan suguhan budaya berupa pertunjukan tari di Benteng Ujungpandang pada setiap sabtu malam.
Kelompok-kelompok kesenian juga tumbuh dengan pesatnya. Ada Yama (Yayasan Anging Mamiri), ibu Ida Yoesoef Madjid, ada Batara Gowa, oleh Andi Ummu dan Sanggar Marah Putih dengan Koreografer mudanya yang sangat produktif dan kreatif Andi Abubakar Hamid.
Penari laki masih sangat langka ketika itu, biasa orang Bugis-Makassar sudah terbentuk stigma di kalangan masyarakat bahwa penari laki itu "kebencong-bencongan", menari itu pekerjaan perempuan! (Mengacu pada Pakarena yang semua perempuan) Karena image itulah sehingga saya bisa menari di tiga kelompok itu.
Ketika tari "Badong" digarap oleh seorang guru bernama (alm) Farid Hamid. Badong adalah tari kolosal yang pernah digarap di Ujungpandang. Melibatkan 35 penari laki dan perempuan, 19 pemusik tradisional dengan masa durasi pementasan 40 menit. Oleh karena tari ini membutuhkan banyak orang maka Farid Hamid mampu mengkoordinir semua sumberdaya tari di Ujungpandang (belum bernama Makassar) (alm) Andi Ummu, Andi Abubakar Hamid pada tari, Daeng Basri Sila, Andi Bashit (Cucut), (alm) Ombeng pada musik, Meggy Waworuntu, Lottong penata kostum, Butet pada make up/down. Tarian ini akan ditampilkan pada Festival 6 Kota di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta.
Enam Kota itu, DKI, Padang, Bali dengan tari "Nyepi" oleh Kompiang Raka, Jogja dengan judul tari "Sampah" dan Ujungpandang dengan tari "Badong" oleh Farid Hamid dengan ditemani seorang manager dari Taman Budaya pak Syahrir.
Setelah festival, undangan mementaskan "Badong" datang dari berbagai pencinta budaya, dari KKSS Dan Kerukunan Toraja di Jabar.
Kami ke Bandung memenuhi undangan KKS Jabar. Di Bandung pertama mentas di Asrama Sulsel Latimojong (bukan Asrama Flores). Berikutnya Kerukunan Toraja Jabar mengundang pentas di Gedung Serbaguna ITB Bandung.
Sebagai penari, saya baru merasa dapat sambutan luar biasa. Orang2 Toraja yang sudah lama tidak pulang kampung berteriak khas Toraja "elele" disertai teriakan melengking. Gedung menjadi gemuruh dengan suara Orang Toraja yang "homesick". Mereka membantu seniman menciptakan atmosphere laksa di pegunungan Todaja.
Kami jadi "pengamen" karena belum punya uang tiket pulang dan ini di ketahui oleh Ketua Paguyuban Toraja Jawa Barat.
Esok harinya, Manager Team, Syahrir mengajak Saya menemui Ketua Paguyuban Toraja. Pak Syahrir yang pegawai negeri, tidak bisa bernegosiasi, bahkan cenderung merendahkan diri. Beliau membuka pembicaraan belum punya tiket pulang. Lalu Ketua Paguyuban mengatakan, dari pementasan semalam, terkumpul Dana yang spontan dikumpulkan Rp.7.500.000 dan kerena ini rejeki Tim, maka kami akan serahkan seluruhnya untuk Tim. Apa jawaban Pak Syahrir, kami hanya butuh Rp.1.500.000 untuk pembeli tiket kapal laut. Saya sangat kecewa dengan jawaban Pak Syahrir yang menolak uang, yang oleh Ketua Paguyuban masih terlalu sedikit uang yang terkumpul semal dia masih akan tambah lagi. Dia sangat puas dengan penampilan semalam!
Jadilah seluruh Team Tari Badong naik kapal Kerinci pulang. Kapal itu dari Belawan, Medan. Oleh Kapten Kirinci kami diundang untuk mentas di kapal.
Saat itu tourist backpacker yang ada di kapal jatuh cinta dengan kesenian Sulsel dan memutuskan untuk langsung ke Toraja. Mereka adalah backpacker dari Swedia, Susanne Rantakoko dan Hakan Jigling. (*/rk)