Kesempatan Emas Tak Terduga

Oleh : M. Dahlan Abubakar

CATATAN :


Tulisan ini melengkapi catatan saya pada tanggal 26 September 2020 yang tanpa tanggal pasti mengenai kedatangan saya ke kediaman Ramang. Tulisan ini melengkapi dan lebih memerinci waktu dan komentar-komentar mendiang Ramang pada saya. Selamat menyimak !

Pada tanggal 12 November 1981, saya pernah menurunkan tulisan di Harian Pedoman Rakyat, dengan judul, ‘’Si Macan Bola Sudah Sehat Kembali’’. Hingga tulisan itu diturunkan, praktis tiga bulan Ramang hilang dari peredaran.

Sekitar`Juli atau Agustus 1981, dua orang penginisiatif mencarikan tempat bagi si pencetak 100 gol tersebut di beberapa rumah sakit di Makassar. Agaknya, rumah sakit penuh semua. Tidak ada pilihan lain, Ramang pun dibawa ke Klinik Budi Darma di Jl. G. Bawakaraeng No.1 (kini di lokasi itu sudah berdiri show room mobil).

Di situlah dia dirawat secara intensif. Selama 55 hari Ramang mendekam di klinik itu dalam pengawasan dokter ahli paru-paru. Kemudian, ia memang sehat kembali.

Malam itu, hujan gerimis dengan malas menyiram kota Ujungpandang. Saya dengan rekan Bachtiar M. Amran, alm. (wartawan PR, terakhir wartawan Kompas) mencari kediaman si macan bola ini.

Lampu yang temaram, mengharuskan saya dan teman itu seperti meraba-raba jalan yang becek menuju sebuah rumah setengah batu, tidak jauh dari Jl. Andi Mappanyukki. Atau sekitar 200 m dari Kantor Pedoman Rakyat. Dari luar, tembus ke dalam, tampak seorang lelaki setengah umur duduk di kursi. Di hadapannya tegak segelas susu.

‘’Memang oher (ayah) selalu tinggal istirahat di rumah akhir-akhir ini, sembari ditemani segelas susu tiap pagi dan sore,’’ Anwar, putra Ramang yang pernah memperkuat Tim Junior PSSI ke Manila tahun 1970 menjelaskan. Pada tahun 1981 itu, Anwar menjadi kapten kesebelasan PSM yang dilepas ke Solo.

Sebelum meletakkan pantat di kursi, saya dan Bachtiar, menyampaikan selamat atas pulihnya kesehatan Ramang. Sebagai seorang wartawan olahraga, saya merasa gembira atas sehat bugarnya mesin gol dari Makassar itu dari gangguan kesehatannya.

‘’Gemuk sekali saya lihat,’’ sapa Tiar, begitu drop out Fakultas Hukum Unhas ini akrab dipanggil. Saya pun ikut senang melihat wajah Ramang yang berseri-seri. Dia tampak sedikit gemuk. ‘’Berat badan saya sekarang naik 15 kg,’’ kata Ramang.

Pada saat pertama masuk di Klinik Budi Darma, beratnya melorot hingga menjadi 49 kg. Di rumahnya, dia memperoleh bantuan perawatan dari dukun kampung. Salah satu dampak penanganan dukun itu, selera makannya pun naik.

‘’Dokter-dokter selalu menekankan, setiap orang makan untuk hidup. Jangan harap orang bisa hidup tanpa makan,’’ potong Ramang lagi.

Menurut dia, dukun yang merawatnya berasal dari Kabupaten Gowa. Setiap ia datang selalu memberinya akar-akar kayu untuk diminum airnya. Bahkan pertama kali, dukun itu memberi Ramang air putih saja. Sang dukun akan selalu datang ketika kurir Ramang menjemputnya.

Setelah kunjungan pertama 4 November, pada 13 November 1981, saya bertandang lagi ke kediamannya. Kehadiran penulis yang terakhir ini hanya untuk mengambil gambarnya saja. Ramang sedikit kaget ketika melihat seorang anak muda sembari menyandang tustel masuk ke rumahnya.

Saya tetap memperkenalkan diri, khawatir beliau sudah lupa mengingat kunjungan pertama saya 4 November 1981. Beliau diam beberapa saat sebelum saya membuka omong.

‘’Boleh saya memotret Bapak untuk dimuat di suratkabar PR,’’ kata saya.
‘’Untuk apa diambil lagi (maksudnya foto), sudah sering foto saya dimuat,’’ katanya berusaha mengelak. Saya pun menjelaskan secara mendetail. Ramang pun mengerti.

‘’Hanya foto saja kan ?,’’ tanyanya pendek. Saya pun mengangguk membenarkannya. Beberapa menit kemudian, tidak terasa Ramang terbawa oleh arus pembicaraan saya seputar hasil pertandingan sepakbola Galatama. Lalu beralih ke masalah PSM Ujungpandang.

‘’Apa Bapak sering mengintip penampilan dan permainan anak-anak muda PSM sebelum ke Solo itu ?,’’ saya bertanya.
‘’Sering, dua tiga kali, ketika berlatih di Stadion Mattoanging,’’ balasnya.

‘’Apa ada harapan mereka itu bisa menjadi pemain yang bagus,’’. ‘’Ya, ada. Tetapi tidak begitu muncul dan menonjol. Untuk menjadi pemain yang bagus memerlukan waktu yang panjang,’’ kata ayah tujuh anak ini.

‘’Lalu bagaimana sebaiknya pembinaan pemain PSM pada masa mendatang ?,’’ usut saya membandingkan dengan klub lainnya di Jawa. Saat sekarang (1981) harus diakui, PSM adalah klub penempa pemain. Pembinaan pemain tidak bisa berdiri sendiri. Menyangkut masalah yang serba kompleks. Semua pihak harus terlibat.

Ketika itu, di sela-sela masa istirahat panjangnya, darah bola Ramang sulit dibendung. Kalau tidak sempat ke lapangan atau tidak ada anak-anak yang latihan, dia kerap menyambangi Sekretariat PSM yang ketika itu di Jl. Jenderal Sudirman, di sekitar Kantor POM sekarang. Katanya, sekadar jalan-jalan dan bertukar pikiran dengan para Pembina PSM.

Inilah kesempatan emas yang saya peroleh mewawancarai Ramang semasa hidupnya, meskipun saya berkedok mau memotretnya. Ya, setelah upaya mewawancarainya pada tandangan yang pertama (4 November 1981) gagal tertunai. Ketika keinginan saya hendak melakukan wawancara, Ramang berkata pendek. ‘’Saya sudah tua. Lebih baik para pemain muda yang diwawancarai,’’ elaknya.

Agaknya, kata ‘tua’ itulah yang kini terus menjadi ikon untuk menganalogikan seseorang yang pernah berprestasi pada masa lalu sudah menurun kemampuannya. Hanya agak lucu, saat Ramang sudah sejak 1987 berpulang ke rakhmatullah, masyarakat masih menggunakan frasa tersebut. ‘’Toa mi Ramang’’. Padahal, dia sudah 33 tahun meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. (***)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN