Oleh : Nurliati Syamsuddin (Dosen UNM, Peserta Program S-3 Universitas Negeri Jakarta)
PENDAHULUAN :
Perkembangan gerak yang menunjukkan fase penguasaan keterampilan di sepanjang hayat juga merupakan titik awal bagi pengembangan model pengajaran. Wilayah binaan yang tak kalah pentingnya ialah domain afektif yang di Indonesia, karena pengajaran didikte oleh sistem evaluasi yang serba terukur menyebabkan bagaimana membina perkembangan afektif ‘ini menjadi kurang sistematik.
Jika bukan disebut hanya sebagai dampak pengiring. Betapa pentingnya kecakapan hidup berupa pengendalian diri yang bertumpu pada pengendalian emosi, sama halnya kemampuan memotivasi diri disertai dengan ketekunan yang menjadi landasan bagi pencapaian prestasi dalam bidang apa saja yang sesuai dengan bakat seseorang.
Adegan-adegan dalam permainan atau pelaksanaan tugas ajar pada konteks pengajaran pendidikan jasmani, sungguh menyediakan banyak kesempatan bagi pengembangan domain afektif ini. Kejujuran dan tanggung jawab misaInya banyak sekali dijumpai dalam peristiwa permainan dan peragaan ketangkasan, dan peluang ini sia-sia belaka jika tidak dimanfaatkan sebaik mungkin.
Teori pemrosesan informasi dan penyimpanannya misalnya telah mencoba mengkaji persoalan ini dalam konteks penguasaan keterampilan gerak. Upaya ini sangat bermanfaat untuk memahami proses kognitif dalam pengajaran pendidikan jasmani (penjas) dan proses berlatih-melatih dalam mencapai prestasi yang melandasi kemampuan seseorang untuk belajar dan memecahkan masalah peningkatan keterampilan.
Pengetahuan ini disebut “metacognition” (pengetahuan tentang proses kognitif yang dimiliki seseorang). Pengalaman menunjukkan bahwa kunci-kunci pelaksanaan tugas gerak yang disampaikan oleh guru atau pelatih tidak lebih dari sebuah rambu yang memudahkan siswa atau atlet mengingat konsepnya, tetapi dalam pelaksanaannya, terutama keputusan-keputusan yang bersifat situasional adalah tergantung pada siswa atau atlet itu sendiri.
Fenomena ini tampak misalnya dalam pelaksanaan tugas gerak yang tergolong “keterampilan terbuka” (“open skill) dalam keadaan, pengaruh faktor lingkungan sangat dominan sehingga seseorang dihadapkan pada tantangan untuk memecahkan masalah sendiri.
Teori motivasi pada olahraga pedagogik, termasuk jenisnya (intrinsik dan ekstrinsik) tidak kalah menariknya, sama halnya dengan persoalan “transfer of learning”, bagaimana suatu kecakapan dam memengaruhi penguasaan kecakapan baru lainnya dalam bentuk nilai alihan positif manakala kecakapan lama mendukung atau memperkuat perolehan kecakapan baru, atau bersifat negatif, bila efeknya sebaliknya.
Berkaitan dengan persoalan ini dalam konteks pendidikan jasmani, lebih-lebih dalam olahraga kompetetif tingkat tinggi sangat dibutuhkan fleksibilitas kognitif, yakni kecakapan mengevaluasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang, dan kemudian melihat beberapa kemungkinan interpretasinya.
Seperti lazimnya disiplin ilmu keolahragaan yang masih muda usianya, maka penelitian dalam pedagogi olahraga mengadopsi paradigma penelitian yang sudah mapan yakni paradigma positivistik dan pascapositivistik.
Pendekatan positivistik menempatkan proses belajar dan mengajar sebagai “objek” riset yang “diobjektifkan” sehingga sangat kentara. Penerapan prosedur analitis yang mengandalkan data empirik dalam ujud data kuantitatif yang mengandalkan instrumen untuk memperoleh data yang dianggap sahih, “reliable” dan objektif pula.
Pengembangan aneka bentuk tes pada tahun 1970-an yang masuk ke Indonesia dalam pendidikan jasmani merupakan buku bahwa paradigma positivistik ini sangat dominan dengan berbagai masalah pedagogik yang muncul, yang memengaruhi iklim belajar yakni proses dipengaruhi oleh prosedur pengetesan, seperti yang dialami oleh Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Bandung pada tahun-tahun tersebut, bahkan masih melekat hingga sekarang ini, terutama untuk mengukur hasiI belajar.
Penerapan paradigma analisis empiris dalam pedagogik olahraga juga selalu berangkat dari panduan teori untuk menuntun hipotesis yang selanjutnya memberi arah pada pengungkapan data yang relevan untuk menguji hipotesis.
Paradigma pasca positivistik dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga, sangat disadari bahwa fenomena gerak insani itu dipahami tidak lepas dari makna sosial budaya yang menjadi lanskap pengembangannya, dan bahkan kepercayaan suatu masyarakat, seperti tampak pada permainan atau olahraga tradisional, sama sekali tak dapat diabaikan.
Itulah sebab dari waktu ke waktu kita dapat menyimak perubahan definisi olahraga (“sport”) itu sendiri yang bergeser sesuai dengan persepsi masyarakat, dan di lain pihak, lingkungan beserta nilai di sekitarnya, ikut membentuk isi kegiatan olahraga itu sendiri.
Dalam kaitan itu maka tak dapat dielak bahwa konteks sosial dan asumsi yang melandasi proses belajar mengajar tidak dapat diabaikan yang selanjutnya melandasi pengetahuan dan tindakan guru dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Karena itu proses transaksi dalam mengajar-belajar tak dapat dipahami semata-mata sebagai hubungan timbal balik antara stimulus/respon secara mekanistik karena ada unsur penyela yang bersumber dari berbagai faktor, baik pada guru ini sendiri maupun pada peserta didik.
Selain itu, pengungkapan fakta dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga sangat dipahami, baru sampai pada “penghampiran” belaka, seperti betapa besar “kekuatan otot” seseorang dalam konsep “strength” (kekuatan) misalnya, meskipun kini banyak instrumen yang dianggap akurat dan canggih.
Semua program pendidikan jasmani berlangsung dalam konteks yang beragam. yakni yang dapat mempermulus atau iebalikiiya menghambat pelaksanaan pengajaran. Yang dimaksud dengan konteks atau tata latar adalah keseluruhan faktor yang memengaruhi apa dan bagaimana isi diadakan dan dipelajari dalam sebuah program.
Dalam lingkup yang lebih luas kita dapat mengamati betapa besar variasi dari perbedaan lingkungan lembaga pendidikan antara sekolah di perkotaan, pedesaan, atau yang terdapat di pesisir dan di daerah belantara, daerah-daerah terpencil. Kebanyakan lingkungan semacam itu relatif stabil, tetap, dan karena itu hanya sedikit kemampuan guru mengubahnya.
Hal terbaik yang dapat dilakukannya ialah ia mesti dapat membiasakan diri menghadapi lingkungannya dan mampu memanfaatkan secara maksimal semua potensi untuk mendukung pengajaran. Ini berarti bahwa faktor lingkungan ini tidak dengan sendirinya menjadi penghambat, dan bahkan program pendidikan jasmani itu berlangsung dalam konteks yang memungkinkan para guru memperoleh pilihan yang banyak bagi pengajarannya.
Penjelasan ini mengingatkan guru pendidikan jasmani saya, yang memanfaatkan sebatang pohon mangga di halaman sekolah. Salah satu tugas ajar yang tidak dapat saya lupakan ialah “memanjat pohon mangga itu,” sebuah tugas yang memerlukan ketangkasan, kekuatan. dan bahkan keberanian.
Contoh pengalaman ini membenarkan pernyataan bahwa setiap sekolah memiliki karakteristik yang unik yang dapat memberikan peluang dan tantangan bagi guru pendidikan jasmani. Guru perlu memahaminya karena konteks situasi pengajaran memengaruhi bagaimana guru mengembangkan, apa keterampilan yang mereka perlu kuasai, bagaimana pikiran mereka tentang keterampilan tersebut, dan apa yang mereka pikirkan tentang tujuan bagi program pendidikan jasmaninya.
Pengetahuan ini berkenaan dengan dampak lingkungan terhadap pengajaran, yang meliputi faktor lingkungan fisikal dan sosial di dalam dan di sekitar kelas, termasuk pengetahuan tentang kegiatan kerja dalam kelompok atau kelas, pembiayaan pendidikan, karakteristik. (Bersambung)