Oleh : Dr. Yohan C. Tinungki, MSi
Globalisasi sudah di depan mata, dan siapapun susah untuk menghalau angin globalisasi yang berembus begitu kencang. Dampaknya memang keseragaman yang berhasil dimainkan dengan gemilang melalui mesin-mesin kapitalisme. Semua sedang menuju ke ’seragaman’. Selera musik didikte : Pop, R&B, Rock, Jazz, Reggae, pokoknya
musik serba “genre impor”.
Globalisasi musik dengan bahasa ironi direpresentasikan sebagai “perangkap selera”. Dibalik “perangkap selera” ini, pentas musik yang diadakan di kota Makassar beberapa tahun belakangan ini yang diuntungkan ialah pemodal yang bergerak di bidang industri musik hiburan, event organizer, serta siapa saja yang mencari keuntungan dan
punya kepentingan pada pentas-pentas musik “urban” di kota Makassar.
Apakah ada dalam pikiran mereka untuk merealisasikan wacana apresiasi atau mengangkat ke atas stage musik tradisi daerah Sulawesi Selatan yang sesuai dengan kepribadian bangsa ? Bagi mereka, semakin banyak orang mendengar musik urban, maka semakin banyak
keuntungan yang mengalir ke mereka.
Tetapi, globalisasi akan sampai pada titik jenuh ketika semua serba seragam. Orang akan kembali melirik yang unik, menengok tradisi. Musisi Eropa dan Amerika sudah
lama menyadari hal itu, dan sudah mulai melirik musik-musik di luar Barat, atau dalam bahasa santun menyebut musik tradisi dengan world music, atau from another world.
Muncullah para musisi yang melakukan eksperimen-eksperimen dengan bunyi, tempo, nada, dan tone. Komponis seperti Vincent Mc Dermoot dari amerika yang merupakan komponis yang bergelar Profesor Western Music dan juga merupakan guru “Komposisi Musik” penulis sewaktu penulis kuliah di Yogyakarta telah membuat banyak komposisi musik berbasis musik tradisi Indonesia dan dipentaskan di Amerika dan Eropa, bahkan untuk komposisi yang bernuansa Jawa dan Sunda dipentaskan di Indonesia.
Miris juga orang Amerika yang membuat karya musik dengan genre tradisi musik Indonesia dan mementaskan karyanya di Indonesia. Tentu diharapkan agar musik tradisi daerah Sulawesi Selatan dapat dipentaskan di kota Makassar dengan gaung yang “wah” dan promosi iklan yang “dashyat” di media cetak dan elektronik, dan disponsori oleh kementerian terkait seperti salah satu kementerian kota Makassar mendukung pentas musik jazz di kota Makassar.
Kalau kita simak pentas musik tradisi Sulawesi Selatan hanya sekedar pentas tanpa iklan dan promosi yang “wah”, istilahnya “sekedar pentas”, atau maaf kata orang “menghabiskan dana proyek”. Sementara para musisi Eropa dan Amerika sekarang sedang mengumpulkan sebanyak-banyaknya “bahan musik” dari berbagai bangsa, termasuk dari Indonesia untuk mereka jadikan karya musik mereka dan dipentaskan di negara mereka.
Mereka sudah “bosan” dengan musik modern, tetapi kita malah ingin jadi Barat. Kalau penulis simpulkan : “Orang Barat sedang berusaha menjadi orang Timur lewat musik, tapi saat ini para musisi dan yang berurusan dengan penyelenggraan pentas musik di Makassar malah sok ke Barat-baratan ??". Sekaranglah saatnya para penyelenggara pentas musik dan musisi yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya dan kota Makassar pada khususnya untuk membuat gaung yang “wah” bagi sosok musik tradisi daerah Sulawesi Selatan agar dapat menjadi tuan rumah di daerah sendiri dan dapat melompat lintas benua dengan eksistensi yang hebat dan disegani sebagai musik yang mempunyai kekuatan tradisi. Tentunya harus
dilirik oleh kementerian terkait dan semua yang terkait di dalamnya karena musik tradisi daerah Sulawesi Selatan juga mempunya nilai jual yang baik jika diberi kemasan yang baik pula.
Musik tradisi daerah Sulawesi Selatan memiliki begitu banyak harmoni, modus, pola ritmik, sound vokal, serta instrumen musik yang siap dijadikan wadah pemasukan omset bagi daerah dan bagi para penyelenggara pentas musik. Musik tradisi Sulawesi Selatan juga dapat dikolaborasikan dengan western music tanpa menghilangkan
akar dari musik tradisi itu sendiri.
Tetapi ada banyak kendala dalam blantika musik di kota Makassar. Posisi musik di kota Makassar sudah terlampau “dijajah” oleh selera western music karena pentas-pentas musik yang terbilang “waah” di kota Makassar selalu berlabel “musik Barat”, sehingga seakan-akan itu adalah musik yang menjadi kearifan lokal musik daerah Sulawesi Selatan, apalagi dipaksakan sebagai ajang untuk menggaet pariwisata.
Penulis menyebutnya juga dengan istilah “penjajahan selera”. Tetapi memang kalau berbicara masalah selera musik itu sama dengan rumah makan, pengunjung akan memilih menu yang sesuai dengan seleranya, itulah ironisnya yang merupakan tantangan yang harus dilalui. Semoga ?
Barangkali benar kita tidak harus membicarakan mau main musik Barat atau tradisi, yang penting bermain musik dengan benar. Tetapi ada suatu kekhawatiran jika kita terus mengikuti selera orang luar, kita hanya menjadi pengguna dan penikmat produk mereka. Uang mengalir terus ke negara-negara yang sudah sejahtera. Sementara musik tradisi kita, karena kurang dipertarungkan, akhirnya malah bisa mati ditelan oleh gelombang zaman. Dari sisi itu memang ada benarnya. Tetapi sulit kita menyodorkan selera musik tradisi daerah Sulawesi Selatan ke masyarakat, kecuali pendidikan apresiasi terhadap musik tradisi di sekolah-sekolah dapat diajarkan dengan benar, dan para penyelenggara pentas musik di kota Makassar mau sadar bahwa musik kita adalah musik daerah kita sendiri dan itu dapat menghasilkan apabila dikemas dengan baik, dan tentunya kementerian terkait bisa “siuman” dari tidurnya.
Musik tradisi Sulawesi Selatan dapat dimainkan mengggunakan instumen urban dan dimainkan dengan gaya musik urban jazz, atau rock misalnya. Dikotomi musik modern
dan tradisi hanya berlaku untuk badan, peralatan, dan tidak berurusan dengan jiwa. Kita boleh bermusik dengan instrumen modern, tetapi jiwa ini harus tetap berpihak pada tradisi. Semoga musik tradisi daerah Sulawesi Selatan dapat menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri !!