Oleh : Rachim Kallo
Di bagian kedua lalu, DR. H. Ajeip Padindang, SE, MM, menyampaikan soal kalimat Penyuluh Anti Korupsi dan sedikit mengupas sejarah Tari Jeppeng sebagai bagian kesenian di Sulawesi Selatan, serta bagaimana dia selaku Ketua Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKSS) berkomitmen untuk membangkitkan kesenian dan kebudayaan Sulsel. Berikut lanjutannya.
Ajeip sebagai anggota DPD RI di MPR RI, sangat mengapresiasi dan mengucapkan terima kasihnya kepada seluruh pelaku seni. Bahkan dirinya akan memfasilitasi serta hadir tiap tahun dalam pertemuan.
"Saya akan mengharuskan istri saya datang ke tempat ini. Karena dulu, di tahun 1983, Gedung Kesenian ini menjadi saksi cinta kami. Sehingga bagaimana pun, Gedung Soceiteit de Harmonie Sulsel, sangat berarti dalam hidup kami. Insya Allah gedung ini tidak akan hilang sampai akhir zaman. Sebesar apapun kebijakan pemerintah daerah, saya yakin tetap akan ada gedung kesenian ini. Paling tidak kita berjuang bersama. Dan konon katanya, akan ditangani dan dikelolah untuk direnovasi oleh Pemerintah Sulsel," ungkapnya.
"Semua ini tergantung kita semua, bagaiman kita memanfaatkan, bagaimana kita menggunakan, bagaimana kita mengartikulasikan kehidupan kita di dunia kita masing-masing,” lanjut Ajeip.
Sebagai penggiat kesenian dulunya, Ajeip pun mengkritisi terhadap apa yang terjadi sekarang ini. Dan menitip pesan kepada generasi muda di dunia kesenian, agar berkesenianlah yang benar.
Sebab, kata Ajeip, tidak semudah itu menulis puisi. Puisi bukan sekadar mampu menyusun kata, bisa merangkai kalimat, baru menyebutnya sebuah puisi. Puisi merupakan ekspresi diri, jiwa yang diungkapkan oleh kata dengan pilihan yang tepat sesuai lingkungan yang dihadapi saat itu.
"Saya banyak sekali memperhatikan puisi yang belakangan terbit kumpulannya maupun di media sosial. Ada pergeseran pemahaman dan pengertian. Begitu bisa membuat rangkaian kata, membuat dua tiga kalimat, sudah disebut puisi. Puisi punya arti, makna yang mencerminkan diri sang penulisnya. Begitu pun di seni tari. Di tarian belakangan ini, saya banyak menyaksikan penyajian tarian yang membuat saya gelisah. Begitu mudahnya menciptakan tarian, namun tanpa makna, tidak ada lagi penciptaan yang ekspresif. Karena mampu bergerak, bisa mengikuti irama musik, maka sudah disebut menari itu. Begitupun di dunia kesenian lainnya," tegasnya.
Di kesenian tidak ada kata senior dan junior. Yang menentukan adalah kemampuan mencipta dan berkarya. Itu yang menadakan ke-senior-an. Kemampuan mengepresikan karya-karya seninya sehingga bisa diterima, bermakna, serta berkualitas.
"Saya harap tahun 2020, lebih berkualitas kesenian kita," ujar Ajeip.
Dilanjutkan, pemilihan tema Merajut Kebersamaan bermakna, di tahun 2020 ini, hubungan komunikasi harus lebih meningkat, bisa melahirkan karya yang lebih berkualitas dan bermutu tinggi.
"Kesenian, bagi saya pribadi, khususnya kesenian yang berakar dengan tradisi masyarakat Sulsel, yang bermuatan keatifan lokal Sulsel, di tahun 2020, pekerja seni mampu mengeksplor, mengekspresikan, serta menyajikan karya-karya yang bisa menjawab tantangan," pungkas Ajeip. (*)