Laporan : Rachim Kallo
TVRI Sulawesi Selatan setiap hari sabtu menyelenggarakan Aresiasi Budaya. Program yang mengedepankan kesenian dan kebudayaan Sulsel, dikemas gaya obrolan dengan ikon Musik Sinrilik yang dimainkan Haeruddin dan host Willi Ferial yang akrab di sapa Opa.
Namun, pada sabtu, (12/09/2020), kegiatan di studio 2 TVRI sedikit berbeda. Obrolan apresiasi budaya ini menyuguhkan pembacaan sajak mangkasara karya Ilham latief "Bulaeng Ribukkulenta Jamarro Ripa’maitta", sebagai opening di sore itu pukul 18.05 wita. Dan dipertengahan acara pembacaan puisi karya Syahrir Patakaki berjudul "Siluet Senja".
Tema obrolan apresiasi budaya dari Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Lapakkss) "Budaya Baru di Era Pandemi Covid-19, menampilkan narasumber Ketua Umum Lapakkss dan Anggota DPD RI, Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM, Akademisi dan Koreografer Tari, Dr. Lina Syahrir, MHum, dan Pemerhati budaya, penulis dan Ketua Harian Lapakkss, Yudhistira Sukatanya.
Selain narasumber, turut hadir di studio 2 TVRI Sulsel, Soeprapto Budi Santoso (Teaterawan), Rusdin Tompo (Penggiat Literasi), Luna Vidya (Penggiat Sastra dan Komunikasi Kreatif), Dewi Ritayana (Pengurus Sinerji teater), serta Jamal Andi (Tim Jiep Centre).
Beberapa pertanyaan yang di ajukan Opa satu diantaranya, dalam upaya pemutusan mata rantai Covid-19 diterapkan tindakan-tindakan seperti lockdown, physical distancing, dan social distancing, tradisi berkumpul dan manggung bersama dalam dunia kesenian dan kebudayaan, terdampak. Pertemuan dengan format normal, tidak bisa dilaksanakan.
Menurut Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM, sekarang ini telah masuk pada fase revolusi sosial budaya. Dari kondisi normal menjadi perubahan sosial atau tatanan baru yang sementara dalam proses ini.
"Seperti pada kebiasaan normal bertemu seseorang (teman), bersalaman bahkan berpelukan sebagai tanda ikatan keakraban, tapi dengan kondisi sekarang, tentu hal itu tidak dilakukan, kita menjaga jarak, pakai masker dan cuci tangan," ungkapnya.
Selanjutnya, terjadi perubahan budaya, ekspresi seniman pun ikut berubah. Pentas kesenian menghadirkan banyak orang dan harus di atas panggung, kini, tidak dilakukan lagi.
"Namun, karya-karya dari seniman dalam proses penciptaan sesunggunya tak mengenal tempat dan ruang, apalagi di era pandemic covid-19,” sambung Ajiep Padindang.
Dosen dan Praktisi, Dr. Lina Syahrir, MHum, mengatakan, saat kondisi normal lalu, bisa menari secara berkelompok, namun di era pandemic covidu-19, semua dibatasi, bahkan tidak dilakukan, karena harus jaga jarak.
"Perubahan sosial, ada paradigma dalam berkesnian di era pandemi. Karya-karya kesenian bisa tetap di nikmati. Seperti dalam tari saat latihan itu biasanya ada musik langsung atau tape recorder untuk mengeringi gerak penari, intinya, bagaiman kita harus bisa menyiasati dengan suasana yang berbeda," ujar mantan Dekan Sentratasik UNM.
Sementara Yudhistira Sukatanya melihat, dalam bidang dan pengaruh apapun, manusia tidak boleh kalah. Karena manusia itu di takdirkan sebagai khalifah–pemimpin di muka bumi ini. Dan dari dulu juga telah diramalkan, abad teknologi yang akan terjadi. Cuman manusia terkadang tak mampu membaca zaman.
"Semestinya kita harus punya modal dengan pengetahuan kebudayaan kita seperti apa. Sehingga ketika kita mengadopsi budaya-budaya baru, kita tidak kehilangan budaya lama sebagai jati diri kita. Kita harus melihat budaya itu tidak dengan benda-benda, kita harus melihat kesenian dari nilai-nilai dan aturan-aturan yang ada,” pungkas Yudhistira.
Saat obrolan berlangsung sempat menjadi opini dan usulan dari Willi Ferial (Opa) agar pihak TVRI Sulsel untuk membuat program acara seni budaya yang intensitasnya di perbanyak lagi. Sehingga, budaya dan kearifan lokal Sulsel bisa tetap terjaga di jaman milenial ini. Dalam obrolan apresiasi budaya yang berlangsung sabtu lalu, terlihat santai, alot dan penuh kekeluargaan di kalangan seniman, budayawan, dan praktisi. (*)