Laporan : Luna Vidya dan Rachim Kallo
Diskusi virtual menggunakan aplikasi zoom Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS) Rabu, (10/06/2020) dibuka dengan musik Sinrilik. Haeruddin, dengan kesok-kesoknya bertutur, apa uruna, apa pakaramulanna kere poko, na kere cappa, na kere bunganna kere parekan rapponna , pada hari ini kita bersilaturrahim melalui media on line yang di prakarsai Tau Tunipakalabbiritta, anggota DPD.RI Dr.H. Ajiep Padindang, SE, MM, dan juga ketua umum LAPAKKSS Sulsel.
Kegiatan tersebut, diikuti 35 orang peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari seniman, budayawan, akademisi, dan praktisi lainnya berasal berbagai kota dan provinsi, seperti Sulawesi Selatan, Menado (Bitung), Papua Barat (Raja Ampat), Jakarta, Jawa Barat (Bogor), Sulawesi Barat (Polewali Mandar), dan Maluku.
Setelah Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM, memberikan pengantar diskusi, DR.Firdaus Muhammad, selaku nara sumber, menuangkan judul "Halal bi Halal adalah perayaan indigenous Islam Indonesia". Dia mengatakan, fakta bahwa pertemuan Halal bi Halal berlangsung secara daring, tidak mereduksi nilai dari Halal biHalal. Sebab makna dari 'Halal bi Halal', adalah momentum pemulihan, hubungan yang penuh benturan, antipati yang timbul karena sikap, dan tutur kata.
"Misalnya, momentum pertemuan daring ini, adalah kesempatan mengurai benang kusut bukan hanya antar pribadi yang saling mengenal, tapi juga dengan pihak-pihak yang tidak dikenal secara pribadi. Di dalam Halal bi Halal ada silahturahim,. Silahturahim yang memuat makna kasih. Inilah saat untuk melepaskan diksi dan narasi penuh kasih," ungkapnya.
Selanjutnya, Prof.Dr. Andi Ima Kesuma, sebagai nara sumber, mengangkat judul "Memelihara tradisi halal Bi halal melalui dunia virtual: cara baru melestarikan budaya di masa Covid-19, menyatakan, Halal bi Halal merupakan perayaan khas Indonesia. Malah dikatakan dengan tegas, perayaan itu milik budaya Bugis. Sehingga, ketika Halal bi Halal kemudian dirayakan masyarakat lain di Nusantara, itu karena pengaruh perjalanan dan praktik budaya Islam orang Bugis.
"Sekalipun tidak mereduksi makna, tapi ada juga kesepakatan bahwa Halal bi Halal tanpa tatap muka, persentuhan fisik, menyisakan kerinduan. Rasanya ada yang tak tuntas. Dalam keakraban, kita melengkapi hubungan dan pengenalan kita akan seseorang dengan gesture. Pertemuan daring, membuat gesture terminimalisir, atau bahkan hilang," paparnya.
Usai selingan musik tradisional yang di mainkan Jamal Gentayangan (Dosen/Komposer), masuk pada sesi tanya jawab.
Budayawan – Lutim, Moch. Yayath Pangerang mengatakan, tanpa menafikan, dalam kenormalan baru, kita perlu menyesuaikan diri dengan fakta, jika pandemi tidak akan membawa kita ke masa lalu, cara-cara yang biasa kita anggap normal. Perilaku, habit akan menyesuaikan diri dalam keadaan sekarang. Entah menjadi pembatas, entah menjadi perluasan ruang dan makna pertemuan.
"Yang utama, kita tahu bahwa menyikapi kenormalan baru, pilihan kita adalah terus bergerak maju," tegasnya.
Berikutnya, Armin Toputiri (Penulis), mengungkapkan, bukan menyepelekan makna, dan pentingnya Halal bi Halal, tapi dengan pikiran terbuka menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan dalam kenormalan baru.
"Jadi, meski musim Halal bi Halal berlalu, kita masih tetap bisa bersilaturahim di dalam kenormalan baru," jelasnya.
Kemudian, Ancoe Amar (Dosen/Sineas) berpandangan, ada yang menarik ketika berdiskusi webinar bersama Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Memaknai hingga mencoba menafsirkan kembali Halal bi Halal di era kenormalan baru, dimana kita "dipaksa" oleh pandemik Covid 19, memasuki tahapan maupun kebiasaan-kebiasaan baru dan cenderung 'mengganggu' hal-hal yang konvensional, apalagi yang terkait silaturrahmi.
"Ada yang secara cepat tanpa kompromi, yakni menanggalkan romantisme diantara kita dengan famili, tetangga, teman, kolega profesi kita masing-masing, mulai dari tatap muka secara langsung, berjabat tangan hingga berpelukan, terlebih cipika-cipiki," ujarnya.
Ditambahkan, tentu saja kondisi ini menyisakan ruang yang mengguncang keseimbangan rasio dan rasa kita. Namun pada akhirnya, pergerakan era yang diikuti teknologi, sistem, maupun aspek lainnya, menuntut sikap (attitude) kita menuju kebiasaan-kebiasaan baru.
Kita dengan potensi 'kemungkinan' dan adaptasinya yang begitu cepat, mestinya tidak kesulitan, sepanjang mampu progresif dan akomodatif terhadap segala fenomena baru yang dimunculkan oleh kenormalan baru, yang sedang kita jalani saat ini," imbuhnya.
Kegiatan SN#2 tersebut, selain Luna Vidya sebagai moderator/host, ada pula Haeruddin (Musik Sinrilik), Syairir Patakaki (Puisi Mangkasara), Pembacaan Puisi Anil Hukma, Musik Jamal Gentayangan, Pembacaan Cerpen: Mas Prapto (Itu adegan pembuka dari Novel KOONG, karya Iwan Simatupang). (*)