SOROTMAKASSAR -- Takalar
Melestarikan dan menjaga naskah Tulkiyamat atau yang dikenal dengan nama Kitta' Tulkiyamat sebagai nilai religius dalam tradisi masyarakat, salah seorang dosen Unversitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, DR.Hj. Nur Setiawati, SAg, MAg, melaksanakan kegiatan dialog dan pelatihan pembacaan naskah Tulkiyamat pada masyarakat Desa Sanrobone, Kabupaten Takalar, sebagai bentuk pengabdian.
Kegiatan yang diikuti 30 peserta, mulai dari imam dusun, tokoh agama, guru hingga pembaca pemula itu, dilaksanakan di Balla Lompoa Karaeng Sanrobone, dan dibuka oleh Camat Santobone, Arif Zainal SIP.
Nur Setiawati mengharapkan, dengan kegiatan tesebut, para pembaca naskah Tulkiayat tidak hilang dan kelestarian tradisinya tetap terjaga.
Diutarakan, tradisi dan kebiasaan membaca naskah atau Kitta' Tulkiyamat oleh masyarakat di daerah Sanrobone dilakukan saat ada anggota keluarga yang tertimpa musibah, meninggal dunia.
"Kitta' Tulkiyamat itu dibacakan setelah Ta'ziah, pada malam pertama hingga malam ke tujuh dan seterusnya tergantung kemampuan keluarga yang berduka. Bahkan untuk kalangan bangsawan, berlangsung hingga 40 hari," terangnya.
Diceritakan, naskah Tulkiyamat merupakan saduran dari Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah (Kabar akhirat dalam hal kiamat) yang di tulis oleh salah seorang ulama besar Aceh, Nuruddin Ar-Raniri B.Hasanji B.Muhammad Hamid Ar-Raniri Al Quraisyi Al Syari'i, atau Syekh Nuruddin Ar-Raniri, pada abad ke 17.
Perkembangannya di Sulsel, lebih sering dipakai dan diterjemahkan dalam bahasa Makassar dengan nama Kitta' Tulkiyamat karena banyak menceritakan tentang masalah-masalah keagamaan terkait dengan kematian, hari kiamat, dan kenikmatan serta keindahan surga.
"Isinya ada yang menarik tetapi juga mengerikan, karena menceriterakan kejadian yang akan dialami oleh setiap orang yaitu hari kiamat, sakaratul maut, kehidupan sesudah mati, hal surga dan sebagainya," ungkapnya.
Dikatakan lanjut, pembaca Kitta' Tulkiyamat, dilakukan turun temurun. Cara membacanya bergantian dengan menyesuaikan alunan suara sesuai teks yang dibaca. Bila mengandung makna kesedihan, maka suara dan iramanya mengalun sendu. Sebaliknya jika mengisahkan janji kegembiraan, alunan suaranya terdengar riang.
"Naskah itu berbahasa Makassar namun ditulis dengan huruf Arab. Makanya, yang membaca haruslah orang-orang dari kalangan yang mampu memahami baca tulis Al quran," tegasnya. (zl)