Oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan/mahasiswa Program doktoral Fakultas Hukum Unhas, Zet Tadung Allo, S.H., M.H
Budaya Tongkonan Suku Toraja mengenal nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur seperti “Sipakaboro, Siangkaran, Siporannu, Sialamase, sikamali’, Manarang dan Kinaa’’ artinya saling mengasihi satu dengan yang lain, mengayomi kaum yang lemah, saling peduli, kerja keras untuk meraih kesuksesan, pintar serta berbudi luhur. Falsafah kehidupan yang diwariskan leluhur tersebut seharusnya dijiwai dan mengalir dalam setiap darah suku Toraja.
Budaya Masyarakat Toraja telah ada sejak zaman dahulu, bertahan dalam setiap perkembangan dan perubahan, menunjukkan eksistensinya melintasi zaman. Membuktikan budaya Toraja dapat diterima oleh berbagai kalangan. Berdasarkan perjalanan sejarah, budaya toraja memiliki nilai dasar sakral, nilai tersebut mengalami perubahan secara massif yang memberikan wajah gelap yang menghantui budaya toraja saat ini. Penyeludupan praktik judi dalam aktraksi sabung ayam (silondongan) dan adu kerbau (ma’pasilaga tedong) telah menjadi rahasia umum dan mengubah paradigma publik terhadap budaya Toraja.
Simbolisme Transendental Suku Toraja
Sabung Ayam (si londongan) dan adu kerbau (ma’pasilaga tedong) tak hanya sekedar budaya dan formalitas belaka, keduanya telah menjelma dalam identitas dan nilai kehidupan yang diwariskan leluhur. Makna transendental dalam pelaksanaannnya sangat kuat, kedua tradisi tersebut secara pemaknaan terdapat keyakinan, ada kekuatan diluar dari kekuatan manusia dan ikatan dengan leluhur suku toraja.
Sabung Ayam (si londongan) konsep dasarnya sejarahnya adalah sarana peradilan adat untuk menentukan pihak mana yang benar atau salah, ketika ayam jago diadu dan ayam salah satu pihak mati atau kalah maka pihak tersebut bersalah dalam konsep peradilan adat masyarakat toraja. Sedangkan adu kerbau (ma’pasilaga tedong) sebagai bagian dari pelaksanaan upacara rambu solo merupakan hiburan bagi keluarga duka sebelum kerbau tersebut dikurbankan, suku toraja percaya, adu kerbau membantu peralihan arwah orang yang meninggal ke alam baka. Adu kerbau dipandang sebagai simbol perjuangan dan kesungguhan arwah dalam menghadapi kehidupan selanjutnya, ini mencerminkan keyakinan kuat suku toraja akan kehidupan dan pertanggung jawaban setelah kematian. Si londongan dan ma’pasilaga tedong adalah simbolisme transendental suku Toraja.
Penyeludupan Budaya dan Hukum
Perkembangan dan perubahan masyarakat telah mengubah akar budaya Toraja, sabung ayam dan adu kerbau yang dasarnya adalah tradisi dan keyakinan transendental, telah menjelma menjadi leviathan ditengah manipulasi budaya dan hukum. Leviathan adalah monster yang ganas, menakutkan dan kejam yang ada pada kisah perjanjian lama. Mengapa penulis menyebutnya leviathan ?, hal ini dikarenakan telah terjadi Penyeludupan Budaya dan Hukum dalam tradisi sabung ayam serta adu kerbau. Leviathannya adalah judi dengan sarana sabung ayam dan adu kerbau. Judi dengan mempertaruhkan barang berharga atau uang dengan nilai ratusan hingga milyaran rupiah dalam sabung ayam dan adu kerbau telah menyerang dan mengrogoti masyarakat toraja, penyebarannya sistematis dan massif menyerang setiap kalangan tanpa pandang bulu, inilah penyakit kronis yang dihadapi toraja saat ini. Dampak dari judi menyerang seluruh sendi kehidupan adalah ancaman serius yang harus segera dituntaskan, dengan berjudi orang akan kehilangan produktivitas, membangun sikap pragmatis ingin cepat kaya tanpa kerja keras, judi yang menjanjikan kemenangan pada dasarnya adalah awal dari kehancuran, kehancuran ekonomi (miskin), kehancuran keluarga, kehancuran karir, dan dampak buruk lainnya.
Secara etimologi, kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata penyelundupan dari kata dasar “selundup” yang berarti penyelundup, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi atau secara gelap (tidak sah). Sedangkan penyelundupan diartikan pemasuk sesuatu secara gelap atau tidak sah karena hal tersebut pada dasarnya terlarang. Kata penyelundupan penulis gunakan untuk menegaskan, telah ada budaya (judi) yang asalnya dari luar budaya toraja yang telah masuk secara tidak sah, yang seoalah-olah hal tersebut legal atau sah. Penulis menggunakan kata “penyelundupan” menggambarkan judi bukanlah budaya yang berasal atau diwariskan oleh leluhur suku Toraja.
Penulis sepakat, sabung ayam dan adu kerbau adalah budaya toraja, namun penyelundupan judi melalui sarana sabung ayam dan adu kerbau jelas penyimpangan dan penghianatan terhadap budaya suku toraja.
Penegakan Hukum
Menyita perhatian publik masyarakat sulawesi selatan terkait penggerebekan arena judi sabung ayam oleh Tim Resmob Polda Sulsel di Kabupaten Toraja Utara dengan perputaran uang tiap hari di arena judi tersebut bisa mencapai Rp 1 miliar. Dalam perkara tersebut dilakukan penangkapan terhadap 35 orang terduga pelaku dan pengamanan barang bukti. Perkembangan perkara kasus tersebut sampai saat ini jumlah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebanyak 7 SPDP, jumlah tersangka 22 orang.
Penulis juga berharap aparat melakukan penindakan yang tegas pada judi adu kerbau khususnya pelaku yang mendatangkan kerbau aduannya pada pesta kematian (Rambu Solo’) dengan tujuan untuk berjudi bukan kerbau milik keluarga yang akan dikurbankan atau kerbau bantuan pada keluarga (petuaran). Kerbau petarung yang dijadikan sarana judi dapat disita oleh penyidik sebagai barang bukti dan pemilik dari kerbau tersebut dapat dijadikan tersangka karena atas persetujuannya, kerbau miliknya dijadian sarana perjudian ataupun juga turut serta (medeplegen) sebagai pemain meskipun tidak hadir ditempat judi tapi menyaksikan lewat vidio live streaming. Demikian juga secara teori pertanggungjawaban pidana keluarga yang mengizinkan judi dengan kerbau petarung masuk dalam acara prosesi pemakaman (rambu solo’) juga dapat dipidana karena menyediakan tempat untuk menjadi sarana berjudi tanpa ada ijin dari pemerintah cq. aparat kepolisian termasuk persetujuan pemangku adat setempat.
Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Harga dari kerbau petarung ini juga sangat fantastis puluahan hingga ratusan juta rupiah dan nilai taruhannya juga sangat besar sehingga dapat dijadikan juga pintu masuk oleh penyidik mengungkapkan tindak pidana lain (predicate crimes) yang terkait dari fonomena dibalik judi ini. Bagi seorang penyidik harus memiliki instink yang tajam mengungkapkan modus operandi dari suatu fakta dan fenomena kejahatan. Kepemilikan dari kerbau tersebut dapat menyasar hingga ke perbuatan tindak pidana korupsi (hasil kejahatan) atau tindak pidana pencucian uang. Langkah-langkah hukum yang tegas seperti ini akan memberikan efek jera dan psikologis bagi pelaku judi yang hanya berpikir foya-foya tanpa memikirkan dampak dari judi tersebut bagi masyarakat.
Penegakan hukum yang tegas oleh Kapolda Sulsel belakangan ini patut kita acungkan jempol dan akan didukung oleh Kejaksaan melalui proses hukum yang tegas dan tuntas sampai ke pengadilan sebagai sebuah kewajiban moral karena penegakan hukum yang tegas dan tuntas adalah bentuk keseriusan dan tanggung jawab dalam upaya represif pemberantasan perjudian yang sangat marak di Toraja. Pendekatan instrumen hukum diperlukan untuk membuka mata para pelaku, yaitu perjudian melalui sabung ayam dan adu kerbau selain penyimpangan budaya juga pelanggaran hukum.
Tanggung Jawab Moril
Saat penulis berkunjung ke Tanah Kelahiran (Toraja), penulis sebagai Putra Toraja menyaksikan, praktik judi tak lagi mengenal situasi dan kondisi, para pejudi melihat dimana ada kesempatan, maka saatnya berjudi. Penulis melihat saat hari keagamaan umat kristiani (natal) praktik judi malah menjadi semakin marak. Pendirian Ketuhanan tidak lagi memiliki ruang dihati oknum-oknum tersebut. Fenomena yang sangat memilukan namun inilah fakta yang terjadi.
Sebagai Putra Toraja, kita tentunya memiliki tanggung jawab moril terhadap masalah ini. Diam dan membiarkan kejahatan terjadi saat kita memiliki kemampuan untuk melakukan upaya perbaikan adalah kejahatan. “Manarang umpiak bannang, pande umpa’tallu beluak” artinya andai membela benang dan membagi tiga rambut. Falsafah ini dimaknai, sejatinya orang Toraja terlahir dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah sesulit atau serumit apapun itu, serta dalam kondisi apapun. Dalam memberantas judi ini dibutuhkan kesadaran kolektif dengan satu suara dan satu gerak, judi ini adalah penyimpangan yang harus diberantas oleh seluruh pihak mulai dari APH, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sesuai dengan falsafah toraja misa’ kada dipotua, pantan kada dipomate artinya "satu pendapat membuat kita hidup, banyak ego pendapat membuat kita mati.