Oleh : Rachim Kallo (Bagian III)
Rangkaian sosialisasi Petta Puang Mau Jadi Walikota Hingga Tahun 2020 sudah disajikan pada dua tulisan terdahulu. Berbagai opini dan tanggapannya menjadi warna persiapan Pentas Petta Puang yang akan di gelar 31 Maret s/d 2 April 2019 mendatang.
Dalam tulisan bagian ketiga ini masih berkisah soal karakter Petta Puang. Judulnya menjadi daya tarik penonton, demikian pula dengan rekayasa skenarionya, sindiran konstalasi politik, dan ada juga menginginkan sekali kali Petta Puang menjadi 'orang lain'. Berbagai cuplikan komentar dari narasumber dikemukakan pada edisi kali ini.
Tanggapan pertama datang dari salah seorang penggiat kesenian, spesialisasi drama kolosal dan sesekali jadi konsultan politik, dia adalah Rahmad Soni yang biasa di sapa Romo.
Menurutnya, Petta Puang tokoh sentral dari ceritanya sendiri. Lahir dari karakter sesungguhnya sebagaimana bangsawan Bugis di Tanah Ugi', oleh Abdul Rojak pemeran tokoh Petta Puang sangat identik dari karakter itu.
“Beliau olah dalam bentuk karakter yang sesungguhnya. Bersama Conga dan Gimpe sebagai pasangan yang ideal menjadikan cerita Petta Puang hidup dan selalu mewarnai panggung pertunjukan dimanapun berada,” ungkap Romo, lalu menambahkan, karena sangat penting kembali menghidupkan karakter ini hingga cerita Petta Puang tidak kehilangan penontonnya. Salamaki'.
Lain lagi pandangan Maya, Produser dan Pengarah Acara di TVRI Sulsel yang menilai, Petta Ouang memang identik dengan kelucuannya. Dengan judul 'Petta Puang Tidak Lucu Lagi', saya pikir menarik karena dari judul saja orang pasti tertarik untuk nonton. Rasa penasaran yang manusiawi. Cuma kalau pertunjukannya dengan durasi lebih dari 30 menit saya perkirakan penonton akan booring (bosan).
“Memang konsepnya tidak ada kelucuan sama sekali ?” sambung Maya bertanya. Lalu ibu satu putri ini menjawab sendiri pertanyaannya, faktor lucu tidak perlu dari kata kata tapi dari gerak gerik bisa bikin geli. Ini yang mungkin di tunggu penonton.
Dua komentar di atas menyoal sosok karakter dan judul menjadi daya tarik. Bagaimana dengan 'Petta Puang Tidak Mau Bicara' ? Uki, penggiat kesenian yang sekarang menekuni bisnis perkarkiran menanggapinya.
"Petta Puang tidak mau bicara bagian dari skenario supaya banyak opini yg muncul, hehehe," ucap Uki sembari tertawa lepas.
Sementara Jois Andi Baso beranggapan, Petta Puang tidak mau bicara karena bicara di dunia politik tidak ada yg santun.
Ilham Anwar pun mencoba memberikan saran kepada penulis dan sutradara Petta Puang. Katanya, Petta Puang jangan sekali-kali menjadi 'orang lain', karena berpotensi membuat Petta Puang tidak lucu lagi.
Misalnya, memilih diam. Karena membuat dia tidak lucu. Sebab mungkin akan dianggap gagal dalam mengartikulasi persoalan-persoalan rakyat, yang notabene persoalannya sendiri juga. Publik jadi kehilangan katalisator.
“Berikutnya, bersetialah mengeksplorasi metoda teater rakyat, sembari memasukkan anasir lain sebagai penyedap pertunjukan,” tandas Illo panggilan akrab Ilham Anwar.
Rangkaian sosialisasi Petta Puang Mau Jadi Walikota Hingga Tahun 2020 sudah disajikan pada dua tulisan terdahulu. Berbagai opini dan tanggapannya menjadi warna persiapan Pentas Petta Puang yang akan di gelar 31 Maret s/d 2 April 2019 mendatang.

Dalam tulisan bagian ketiga ini masih berkisah soal karakter Petta Puang. Judulnya menjadi daya tarik penonton, demikian pula dengan rekayasa skenarionya, sindiran konstalasi politik, dan ada juga menginginkan sekali kali Petta Puang menjadi 'orang lain'. Berbagai cuplikan komentar dari narasumber dikemukakan pada edisi kali ini.
Tanggapan pertama datang dari salah seorang penggiat kesenian, spesialisasi drama kolosal dan sesekali jadi konsultan politik, dia adalah Rahmad Soni yang biasa di sapa Romo.
Menurutnya, Petta Puang tokoh sentral dari ceritanya sendiri. Lahir dari karakter sesungguhnya sebagaimana bangsawan Bugis di Tanah Ugi', oleh Abdul Rojak pemeran tokoh Petta Puang sangat identik dari karakter itu.
“Beliau olah dalam bentuk karakter yang sesungguhnya. Bersama Conga dan Gimpe sebagai pasangan yang ideal menjadikan cerita Petta Puang hidup dan selalu mewarnai panggung pertunjukan dimanapun berada,” ungkap Romo, lalu menambahkan, karena sangat penting kembali menghidupkan karakter ini hingga cerita Petta Puang tidak kehilangan penontonnya. Salamaki'.
Lain lagi pandangan Maya, Produser dan Pengarah Acara di TVRI Sulsel yang menilai, Petta Ouang memang identik dengan kelucuannya. Dengan judul 'Petta Puang Tidak Lucu Lagi', saya pikir menarik karena dari judul saja orang pasti tertarik untuk nonton. Rasa penasaran yang manusiawi. Cuma kalau pertunjukannya dengan durasi lebih dari 30 menit saya perkirakan penonton akan booring (bosan).
“Memang konsepnya tidak ada kelucuan sama sekali ?” sambung Maya bertanya. Lalu ibu satu putri ini menjawab sendiri pertanyaannya, faktor lucu tidak perlu dari kata kata tapi dari gerak gerik bisa bikin geli. Ini yang mungkin di tunggu penonton.
Dua komentar di atas menyoal sosok karakter dan judul menjadi daya tarik. Bagaimana dengan 'Petta Puang Tidak Mau Bicara' ? Uki, penggiat kesenian yang sekarang menekuni bisnis perkarkiran menanggapinya.
"Petta Puang tidak mau bicara bagian dari skenario supaya banyak opini yg muncul, hehehe," ucap Uki sembari tertawa lepas.
Sementara Jois Andi Baso beranggapan, Petta Puang tidak mau bicara karena bicara di dunia politik tidak ada yg santun.
Ilham Anwar pun mencoba memberikan saran kepada penulis dan sutradara Petta Puang. Katanya, Petta Puang jangan sekali-kali menjadi 'orang lain', karena berpotensi membuat Petta Puang tidak lucu lagi.
Misalnya, memilih diam. Karena membuat dia tidak lucu. Sebab mungkin akan dianggap gagal dalam mengartikulasi persoalan-persoalan rakyat, yang notabene persoalannya sendiri juga. Publik jadi kehilangan katalisator.
“Berikutnya, bersetialah mengeksplorasi metoda teater rakyat, sembari memasukkan anasir lain sebagai penyedap pertunjukan,” tandas Illo panggilan akrab Ilham Anwar.


