SOROTMAKASSAR - MAROS.
Sidang lanjutan kasus kematian Virendy Marjefy Wehantouw, mahasiswa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) yang tewas secara tragis saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar dan Orientasi Medan (Diksar & Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas pada pertengahan Januari 2023, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Maros, Rabu (29/05/2024) siang.
Dalam pemeriksaan perkara kali ini, majelis hakim dipimpin Khairul, SH, MH (Ketua PN Maros) yang mengadili dua mahasiswa sebagai terdakwanya yakni Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir mendengarkan keterangan saksi ahli pidana dan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Dr. Eva Achjani Zulfa, SH, MH yang dihadirkan ke persidangan oleh jaksa penuntut umum Sofianto Dhio M, SH dan Ade Hartanto, SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Maros.
Namun karena saksi ahli yang juga Dosen Bidang Studi Hukum Pidana di UI Jakarta ini berdomisili di Kota Depok dan berhalangan datang langsung ke PN Maros sebab ada tugas memberikan kuliah yang tak bisa ditinggalkannya, sehingga pelaksanaan sidang dilakukan secara virtual menggunakan teknologi Video Conference yang menghubungkan 2 lokasi berbeda, yakni di ruang sidang Cakra Gedung PN Maros dan salah satu ruangan di Gedung Kejaksaan Negeri Depok.
Mengawali kesaksiannya saat menjawab pertanyaan majelis hakim, ahli hukum pidana kelahiran Jakarta 21 Mei 1972 ini dalam pemaparannya menerangkan, peristiwa pidana yang terjadi dalam kasus kematian Almarhum Virendy ini merupakan perbuatan dengan unsur kesengajaan yang dilakukan para terdakwa. "Perbuatan pidana pada peristiwa ini tergolong 'Dolus Eventualis' atau kesengajaan dengan sadar kemungkinan," ujarnya tegas.
Ia lalu menjelaskan, korban diketahuinya sempat mengalami drop sebanyak tiga kali dalam kegiatan Diksar & Ormed ini sebagaimana yang tertuang dalam BAP Kepolisian. Seharusnya para terdakwa langsung bertindak menghentikan aktivitas bersangkutan untuk mengikuti kegiatan tersebut dan berupaya memberikan perawatan atau mencari pertolongan terdekat, bukannya malah menghukum korban yang berakibat hilangnya nyawa.
Dr. Eva yang mulai dikenal luas setelah menjadi saksi ahli di sidang kasus kopi maut yang menewaskan Wayan Mirna Salihin, berpendapat bahwa dalam peristiwa pidana kematian Virendy ini para terdakwa atau pelaku telah bertindak menghampiri resiko yang luar biasa ketimbang alih-alih menghindarinya. Sehingga tindakan demikian tidak dapat digolongkan sebagai kelalaian/kealpaan atau 'Culpa Lata' (bentuk kesalahan dalam hukum pidana sebagai akibat tindakan seseorang yang kurang berhati-hati).
Menurutnya, rangkaian peristiwa pidana harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh antara sebab dan akibat. Karenanya ia pun secara gamblang menggambarkan bahwa tindak pidana yang terjadi pada kasus kematian Almarhum Virendy adalah perbuatan 'Dolus Eventualis'. "Ada bentuk hukuman secara fisik yang diberikan kepada korban sehingga bersangkutan kehilangan nyawanya. Dalam hukum pidana hal itu sebagai bentuk atau unsur kesengajaan. Tergolong penganiayaan yang menyebabkan mati. Ini pendapat saya di penyidik," ucapnya.
Pada kesempatan itu, hakim Khairul, SH, MH yang memimpin persidangan juga mencecar pertanyaan mengejar soal pertanggungjawaban pidana dimana kegiatan tersebut mendapat rekomendasi dan merupakan kegiatan resmi, apakah pihak institusi juga harus bertanggungjawab ? Ahli pidana dari Universitas Indonesia ini pun menjelaskan bahwa Ia memberi batasan cakupan tindak pidana dimana yang dimaksud dalam konteks kasus kematian Virendy adalah 'Direct Evidence' atau bukti langsung yang terkait dengan tindak pidana, terkecuali dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Namun dia tidak menampik soal kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis berdasarkan fakta-fakta persidangan.
Terdapat perdebatan yang cukup sengit antara salah seorang hakim anggota dengan saksi ahli tersebut. Dimana hakim termaksud mengatakan bahwa korban telah menandatangani surat persetujuan untuk mengikuti kegiatan Diksar & Ormed itu. Kemudian hakim lainnya mempersoalkan mengenai para pelaku yang tidak bersentuhan langsung dengan korban sebab tidak berada di lokasi saat peristiwa pidana ini terjadi.
Menanggapi hal itu, kembali Dr. Eva menegaskan bahwa keseluruhan peristiwa pidana harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan bukan bagian yang terpisah-pisah, sehingga argumentasi mengenai surat persetujuan tidak dapat dijadikan dasar untuk menghapus pidana. Karena ini merupakan satu rangkaian kegiatan, maka pertanggungjawaban pidana dalam peristiwa kematian Virendy ini harus dilihat dari konteks penyebabnya. Apakah dimulai dari institusi yang mengeluarkan rekomendasi atau izin kegiatan, kemudian pihak yang sudah mengetahui anak itu sakit tetapi malah diberikan hukuman fisik dan tidak pula segera memberikan pertolongan. Apalagi tidak memadai tersedianya sarana dan prasarana kesehatan dalam pelaksanaan kegiatan itu. Juga posisi terdakwa sebagai ketua organisasi dan ketua panitia meski tidak ada kontak langsung dengan kejadian tersebut.
"Dalam situasi dan kondisi korban sudah tidak sanggup lagi mengikuti kegiatan Diksar & Ormed itu, seharusnya para terdakwa mengambil keputusan untuk menghentikan aktivitasnya, bukan justru memberikan lagi hukuman fisik. Sehingga tampak disini yang dilakukan para terdakwa adalah kesengajaan dengan sadar kemungkinan atau 'Dolus Eventualis', yang mana mereka mengambil keputusan dengan resiko yang luar bisa dan mengakibatkan korban kehilangan nyawa," sambungnya.
Setelah memaparkan secara gamblang batasan antara 'Dolus Eventualis' dan 'Culpa Lata', Wakil Direktur Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia ini juga menjelaskan bahwa mengambil kesimpulan sendiri terhadap kondisi kesehatan korban yang dilakukan terdakwa tak ubahnya Dokter Umum melakukan operasi bedah yang bukan keahliannya sehingga jelas tindakan tersebut merupakan sebuah tindak kesengajaan, beda halnya ketika Dokter Bedah melakukan pembedahan pada pasien dan berupaya mencegah tetapi upaya tersebut tidak cukup sehingga timbulah kelalaian.
Penjelasan itu diberikan Dr. Eva menanggapi pertanyaan jaksa penuntut umum terkait apakah tindakan para terdakwa yang menilai jika korban sudah sehat sehingga masih diberikan lagi kegiatan bahkan hukuman fisik, sementara mereka tidak punya kompetensi di bidang medis. "Orang itu tahu bahwa dirinya tidak punya pengetahuan tentang medis kemudian memberikan penilaian sendiri, ini berarti sengaja. Korban dalam kondisi sakit, harusnya diberikan obat dan disuruh istirahat. Kalau sakitnya berat, segera dibawa ke RS, namun itu tidak dilakukan," tukasnya.
Ketika menjawab pertanyaan penasehat hukum Dr. Budiman Mubar, SH, MH tentang penyebab kematian Virendy sesuai keterangan saksi ahli dokter forensik yang menyebutkan kegagalan sirkulasi peredaran darah ke jantung karena penyumbatan lemak dan korban mempunyai penyakit kronik yang sudah lama, Dr. Eva menyatakan bahwa apakah penyakit tersebut muncul akibat ada penyebab lainnya, hal itu majelis hakim yang bisa menilainya. "Yang jelas, ada rangkaian kegiatan, kemudian korban sudah sakit, tetapi masih diberikan hukuman dengan disuruh lari, jalan jongkok dan bentuk lainnya. Mereka tidak tahu akibatnya," tandasnya.
Usai mendengarkan keterangan saksi ahli pidana dari Universitas Indonesia ini, jaksa penuntut umum Sofianto Dhio M, SH menyerahkan kepada majelis hakim berkas permohonan restitusi (ganti rugi) yang diajukan pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia (RI) mewakili keluarga almarhum Virendy.
Sidang pun ditutup dan akan dilanjutkan pada Rabu 5 Juni 2024 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi meringankan yang hendak dihadirkan penasehat hukum kedua terdakwa.
Teori Kausalitas
Secara terpisah, pengacara keluarga almarhum Virendy, Yodi Kristianto, SH, MH yang turut hadir menyaksikan jalannya sidang virtual ini, kepada media saat dimintakan komentarnya, berkenan menanggapi perihal hasil autopsi yang sempat disinggung pengacara terdakwa dalam persidangan.
Pengacara terdakwa mengemukakan sebagaimana diterangkan saksi ahli dokter forensik dalam persidangan lalu bahwa penyebab kematian korban adalah kegagalan sirkulasi peredaran darah ke jantung akibat penyumbatan lemak.
Yodi Kristianto pun menegaskan bahwa kesimpulan yang demikian dinilainya terlalu mengada-ngada dan sebuah peristiwa pidana terdiri dari rangkaian-rangkaian kegiatan sebab akibat yang tidak dapat dilihat sepenggal-sepenggal.
"Bahkan dengan penjelasan mengenai hasil autopsi yang demikian, ahli forensik dari Biddokes Polda mengatakan bahwa kegiatan seharusnya dihentikan ketika ada yang drop, bukan malah memberi hukuman dengan dalih memperlambat yang lainnya," sergah Yodi Kristianto.
"Saya menangani kasus ini bukan secara tiba-tiba, kami benar-benar mendalami mulai dari penyebab hingga waktu kematian, hasil visum dimana tubuh korban terdapat luka dan lebam, kemudian hasil autopsi yang diambil setelah tubuh korban sudah dua minggu dimakamkan, dan juga telah disuntik formalin. Karenanya, bukan hanya satu faktor yang mempengaruhi hasil autopsi itu. Ada ajaran atau teori kausalitas dalam hukum pidana, yakni ada sebab dan ada akibat, demikian pula yang terjadi pada kasus kematian Virendy," terangnya.
"Riwayat kesehatan Virendy semasa hidupnya sama sekali tidak ada indikasi mengidap penyakit jantung atau penyakit kronik lainnya, bahkan almarhum terhitung aktif dalam kegiatan Pramuka, Palang Merah, olahraga Karate, dan bahkan jelajah alam sejak masih di bangku sekolah dasar dan menengah," tegas Yodi Kristianto menutup pernyataannya soal kemungkinan Virendy menyembunyikan penyakit yang dideritanya ketika mengikuti kegiatan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas. (*)