Oleh M. Dahlan Abubakar
KALAU melihat peta trayek kita ini satu-satunya terbesar di dunia. Kan enggak ada lagi negara kepulauan seperti Indonesia. Sekarang PT Pelni ditugasi melayari kapal penumpang dan kapal perintis. Kapal perintis kapal yang lebih kecil, ini yang kita sambungkan. Untuk ketemu supaya seluruh pulau itu satu
Sementara ini ada target kapan terealisasikan ?
Masalah air bagi sebuah kapal penumpang merupakan nadi kebutuhan yang tidak dapat dipandang remeh. Kekurangan air di kapal secara langsung membuat penumpang menjerit. Apalagi pada trayek KM Tilongkabila yang termasuk rute dengan penumpang tidak boleh tidak selalu bersih-bersih.
Kebutuhan air dari Pelabuhan Makassar tergantung jumlah penumpang. Kalau penumpang banyak, pemakaian airnya juga banyak. Paling minim, 100 ton air. Perhitungan kebutuhan air per penumpang, misalnya dari Makassar ke Labuan Bajo, tidak bisa ditentukan. Sistemnya kan pompa. Terkadang, pihak kapal memohon kepada para penumpang berlaku bijaksana dalam pemakaian air. Terkadang penumpang mandi, putar kran air tanpa henti hingga usai mandi.
“Saat pakai sabun, air jalan terus. Seharusnya dimatikan. Inilah persoalannya, kita mohon pada mereka (para penumpang) memakai air dengan bijaksana. Seperti saat mandi, kalau lagi ‘sabunan’ (memakai sabun), airnya harus dimatikan. Tetapi, tidak. Bayangkan berapa menit sabunan itu, air jalan terus. Kalau seribu orang, mandinya model begitu semua, berapa banyak air terbuang percuma,” tambah Indar sembari tertawa.
Dia mengatakan, kita terus mengedukasi mereka dan mulai terlihat bagus. Dulu, airnya mengalir terus selama penumpang mandi. Pakai sabun juga lama. Jadi kalau dihitung secara deret ukurnya, susah memperhitungkan berapa banyak kebutuhan air per penumpang. Susah dihitung secara matematika-nya. Ini terkait dengan perilaku penumpang.
“Menghadapi orang yang belum mengerti ya, sabar saja. Memang kita dituntut untuk lebih banyak sabar,” kata Indar.
Pria berjanggut ini menambahkan, terkadang Kantor Pusat bertanya, mengapa banyak sekali kebutuhan air. Indar terkadang berkelakar, “Ya, sudah Anda ke sini saja. Kalau sedang berlayar, lihat penumpang kelas ekonomi. Itu baru mengerti, jangan hanya berteori saja. Mestinya, mereka harus meminta ‘advice’ (nasihat) dari orang-orang lapangan, orang-orang kapal".
Bagaimana kok masih banyak ini..ini... Kita juga tidak boleh melarang karena sudah membeli tiket. Hanya bisa mengimbau agar bijaksana menggunakan air. Kadang-kadang pusat egonya tinggi, karena dipikir orang lapangan itu ‘ngajari’. Mereka yang merasa paling pintar, akhirnya timbul ketimpangan lantaran tidak bisa melihat perilaku penumpang di lapangan.
Orang kita (penumpang) ini kan suka mandi. Dan, di kapal ini bersih. Berbeda dengan di Papua sana, penumpangnya biasa tidak pernah mandi. Airnya utuh. Kalau ‘line’ (trayek) sini ke barat sana, orang suka mandi.
Indar melanjutkan, seperti sekarang, tiket pesawat mahal, Pelni harus tetap melayani dan mestinya disubsidi agar masyarakat bisa bepergian dan membawa barang banyak. Mereka bisa sampai di tujuan dengan harga tiket sangat murah. Mereka juga memperoleh pelayanan makan tiga kali sehari pula.
“Hanya kapalnya sudah agak tua-tua, Pak. Seharusnya, pemerintah itu meremajakan lagi. Dibelikan kapal yang lebih bagus, kelas ‘cruise’ (untuk versi kapal wisata). Bisa khusus untuk mereka yang hendak berwisata. Kan taraf hidup orang Indonesia sudah mulai meningkat dan sebagian kelas menengah,” urai Indar.
Pada tahun 1990 Indar mulai masuk Papua. Pada dasarnya mereka itu bagus, hanya saja sering mengambil sisi buruknya pendatang. Mengambil sisi negatifnya sifat pendatang. Misalnya, mencuri, berbohong, bukan sisi positifnya Itu perlu “pemotongan” satu generasi baru dia akan menjadi baik. Bagaikan program komputer harus diformat. Jika tidak, akan terus berlangsung secara turun temurun. Anak-anak kecil saja sudah mulai minum.
Kalau mereka berselisih atau terjadi perang antarsuku, tidak jelas juga apa yang diperebutkan. Karena adu mulut mudah berubah menjadi perang. Meteka juga terkadang mudah dihasut.
Pernah ketika Indar di Papua, pecah perang antara orang Papua dengan pendatang. Dulu, rambut lurus diusir. Ada wacana, siapa pun rambut lurus disuruh keluar. Di sini wawasan kebangsaan yang kurang. Kontrol pada sekolah juga terjadi. Wilayah Indonesia ini terbuka untuk siapa pun Kita harus hidup dalam wawasan kebangsaan Indonesia.
Dulu, wacana seorang pemimpin harus putra daerah, itu menyesatkan. Yang penting, dia harus mampu memimpin. Indonesia kan dari Sabang sampai Merauke. Semua berhak memiliki negara ini. Orang mau berusaha di mana pun berhak, sepanjang ber-kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia.
“Sudah separuh dari umur nih, Capt ?,” sela penulis sembari tertawa.
“Ya, saya sudah mau masuk masa persiapan pennsiun (MPP) nih. Ya, alhamdulillah. Pelni ini telah membawa saya jauh,” balasnya disela oleh ABK yang menawarkan minuman berwarna kuning.
Selain KM Tilongkabila, Capt Indar Bahadi sudah pernah bertugas di beberapa kapal Pelni yang lain.
“Adakah pengalaman, ya misalnya, situasi atau kondisi yang sedikit mengkhawatirkan selama bertugas Capt ?”.
“Ya, di Papua itu kan gangguan keamanan. Ya budaya mereka masih ada yang merusak. Juga melakukan perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Kadang-kadang tabung pemadam kebakaran, ada yang merusak sekoci, Jadi dulu, tantangan di sana adalah masalah keamanannya,” kenang Indar dan mengatakan, meski sekarang sudah mulai berubah, tetapi belum seluruhnya.
Ini juga berkaitan dengan masalah peralihan generasi. Juga, berhubungan dengan masalah politik dan penyelewengan politik yang melihat seolah-olah pendatang itu ‘penjajah'. Yang seperti ini, pemerintah harus tanggap. Itukan wewenangnya aparat dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) yang barus memberikan edukasi dan pemahaman.
Mereka diberi program, misalnya disekolahkan ke luar agar mereka tahu dan paham tentang perkembangan. Mereka harus berbaur dengan warga yang lain agar dapat belajar tentang keindonesiaan ini. Mereka harus belajar pada pendatang tentang cara berpikir. Hanya kadang-kadang mereka tidak menyadari kalau ada manuver politik. Ada jabatan diperjualbelikan. Bagaikan ada mafia, sehingga mafia itu melawan negara.
“Kalau ada mafia jangan di dalam negara, tetapi dilakukan dengan negara lain. Jangan seperti ini, menjual beli jabatan. Itu merusak sistem negara. Kalau orang pejabat itu harus menjadi pengabdi. Kita harus mengabdi. Namanya penngabdi itu, kita tidak boleh menuntut, termasuk gaji sekalipun. Jadi polisi, jadi TNI, itu semua jadi pengabdi. Mereka sudah sadar sejak masuk ke instansi itu adalah pengabdi. Kalau tidak sanggup menjadi pengabdi, tidak usah menjadi aparat. Cari saja pekerjaan yang lain. Tidak boleh bertransaksi dengan rakyat. Apalagi “berbisnis” dengan rakyat. Tidak boleh,” usul Indar.
Katanya lagi, belum lagi masalah suap yang kerap terjadi. Pun masalah judi yang modus operandinya beragam. Pemerintah harus bersikap dan membersihkan itu.
“Kini muncul polisi tembak polisi,” sela penulis.
“Ya, itu karena hierarki yang salah dan kaku. Kalau itu kaku, sistemnya tidak berlaku. Jika pimpinannya mafia, semua anak buahnya bisa jadi mafia. Lalu rakyatnya bagaimana. Jadi negara bisa kocar-kacir, mau ke mana,” kritik Indar. (Bersambung)