SOROTMAKASSAR -- Palu. Baru saja Desi Mahfudzah (20) menggantungkan handuknya di kamar mandi ketika tiba-tiba dinding kamar mandi, juga rumahnya, ambruk pada 28 September lalu.
Tak sempat memakai baju, ia sudah terperosok dalam kubangan lumpur yang sangat becek. Ia menjerit sekerasnya, minta tolong kepada siapa saja yang mendengarnya.
Namun, orang-orang di sekitarnya juga menjerit minta tolong. Mereka semua ketakutan luar biasa dan menangis sekerasnya. Dari ujung kampung pun yang terdengar hanya jeritan minta tolong.
Saat matahari tenggelam pada sore itu merupakan momen kelam bagi Desi dan warga Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Gempa besar bermagnitudo 7,4 itu meneror mereka.
Di Petobo, RT 003 RW 002, tempat tinggal Desi Mahfudzah, kenangan ini sangat kelam. Ia menyaksikan para tetangga, teman sepermainan, dan kenalannya tenggelam ditelan lumpur yang muncul dari dalam perut bumi.
“Saya masih sempat mendengar suara azan. Namun, tidak terus karena tiba-tiba semua berguncang hebat, rumah ambruk, gelap menyergap seluruh wilayah Petobo,” kata Desi, Sabtu (13/10/2018).
Ia melihat rumahnya ambruk, juga rumah-rumah tetangganya. Tiba-tiba, tempat ia berpijak pelan-pelan meleleh, mencair, dan menjadi kubangan lumpur.
Desi mendengar suara ibunya, Nani (42), yang memanggil anak-anaknya agar berkumpul bersamanya. Mereka saling peluk. Desi pun memeluk erat-erat Irma Safitri (18), Aulia Rahmadani (14), Anggun Rahmadani (13), dan si bungsu Riskiyah (2).
Pada Jumat, 28 September itu, setelah matahari melewati garis cakrawala, mereka sangat ketakutan. Ayah Desi saat itu sedang bekerja di Biromaru, Kabupaten Sigi.
“Kami mengingatnya sebagai masa yang menakutkan, padahal sehari sebelum gempa kami sedang berbahagia merayakan ulang tahun ke-2 Riskiyah,” kata Desi.
Mereka semakin masuk ke dalam lumpur. Kaki mereka berusaha mencari pijakan yang keras. Namun, sepanjang kaki mereka mencari-cari tempat yang keras, yang mereka rasakan hanya lumpur lembek.
Sementara itu, jeritan minta tolong muncul dari seluruh penjuru Petobo. Namun, tidak ada yang bisa menolong. Semua orang berusaha mempertahan diri agar tidak tenggelam makin dalam di lumpur.
Pepohonan tumbang membantu kaki mereka beristirahat sejenak, kaki mereka berpijak pada ranting atau dahan. Dalam gelapnya malam, mereka berusaha mencari tanah keras untuk bisa keluar dari neraka lumpur itu.
“Malam itu kami masih mendengar suara minta tolong dari kejauhan, namun suaranya makin berkurang dan lemah,” ujar Desi.
Ia masih ingat pada malam itu menyaksikan beberapa rumah terbakar. Mungkin ada ibu-ibu yang tengah masak dan tak sempat mematikan kompor gas pada saat bumi berguncang keras. Api lalu melalap dapur kayu atau bahan lain yang mudah terbakar.
“Kami terus melangkah mencari tanah keras yang bisa menjadi pijakan, kami menemukan kayu panjang. Kayu inilah yang kami gunakan untuk menduga kedalaman lumpur, jika terlalu dalam, kami tidak akan melangkah. Jika menemukan yang keras seperti atap rumah atau dinding, kami lanjutkan perjalanan,” tutur Desi.
Mereka berenam bergandengan. Yang paling depan adalah Nani, ibu mereka, lalu disusul Irma, Anggun, Aulia (14), dan Desi. Si bungsu Riskiyah mereka gendong bergantian.
Pingsan
Desi sempat pingsan. Sepulang bekerja pada sore itu ia belum sempat makan. Adik-adik dan ibunya menepuk-nepuk tubuhnya agar siuman. Ia berulang kali pingsan.
“Kami berjalan dalam lumpur setinggi dada orang dewasa, sangat berat dan melelahkan. Kami bisa saja tenggelam jika salah meletakkan kaki,” cerita Desi.
Ibu mereka selalu memberi semangat, mereka harus berzikir dan berkonsentrasi pada setiap langkah.
“Kami mendengar suara minta tolong dari kejauhan, waktu itu sudah larut malam. Namun, dari arah suara tiba-tiba muncul api besar, lalu tidak terdengar lagi suaranya,” kenang Desi.
Mereka terus melangkah ke daerah yang lebih tinggi dengan susah payah, wajah mereka sudah penuh lumpur. Kaki mereka terus mencari-mencari pijakan yang keras untuk bisa terus melangkah.
“Kami juga melihat ternak yang sudah tak bergerak, terlihat hanya kepalanya saja,” ujar Anggun, adik Desi.
Pada suatu titik, mereka merasa lumpur makin cair. Tiba-tiba ada yang mengetahui arah mereka. Orang itu menyorotkan lampu senter ke arah mereka. Ia seorang pria yang bertahan di bubungan rumah yang ambruk.
“Jangan ke atas, di sini lumpur semuanya,” kata pria itu.
Mereka pun berpaling arah, mencari bagian yang keras.
Mereka sempat menemukan seorang perempuan tua yang diam dalam genangan lumpur, hanya leher dan kepalanya yang terlihat. Mereka berusaha menolong dengan mengajak jalan.
“Biarlah nenek di sini, nenek sudah tua dan tak mampu berjalan. Jalanlah mencari tempat yang baik,” kata nenek tersebut.
Nenek itu sudah menetapkan pilihannya untuk diam dalam lumpur.
Nani dan keluarganya pun meneruskan perjalanan dengan perasaan sedih. Mereka banyak menjumpai orang-orang yang sudah kelelahan, diam terpaku.
Tanah Keras
Malam makin larut, dinginnya lumpur itu lama-lama mereka tak rasakan lagi. Semangat mencari keselamatan terus bergelora, hingga akhirnya mereka menemukan tanah yang keras.
“Kami ambruk kelelahan dan orang-orang yang berada di atas menolong kami, membasuh kami dengan air bersih meskipun rumah mereka telah roboh. Kami diberi baju,” ujar Desi.
Saat menemukan tanah keras itu, jam menunjukkan pukul 02.00 Wita. Ini berarti mereka telah berjuang dalam lumpur selama 8 jam. Mereka selamat dari petaka lumpur itu.
“Keesokan, saat lumpur mulai mengeras saya menyaksikan banyak orang yang tertimbun, ada yang terlihat hanya kepalanya, ada yang menyisakan tangannya, semua sedih. Ini bencana yang dahsyat,” ujar Desi.
Kini Desi dan keluarganya mengungsi di Petobo bagian atas, sebuah padang luas yang hanya ditumbuhi semak. Ayahnya yang tukang kayu membuat rumah panggung sederhana.
PT Jiwasraya, perusahaan asuransi BUMN, telah memberikan bantuan.
Rumah kayu itu menjadi tempat tinggal sementara. Tidak jauh dari lokasi itu, berderet tenda-tenda pengungsi yang senasib dengan mereka. (kpsc)