Harga TBS Kelapa Sawit di Sulsel Masih Jauh dari Harapan Petani


SOROTMAKASSAR -- Luwu Utara.

Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Sulawesi Selatan masih dalam tekanan. Harga terakhir yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan hanya naik Rp 790 perkilogram, masih sangat jauh dari harapan Petani Sawit Sulsel khususnya Luwu Raya, dan harga ini masih terendah di Indonesia.

Akibat harga yang belum membaik itu, Petani Sawit saat ini dalam kondisi memiriskan. Tidak heran jika banyak petani lebih memilih menebang pohon sawit mereka lantaran kecewa ketika mendengar harga sawit di daerah lain masih cukup bagus. 

"Dari pada selalu sakit hati mendengar harga TBS di daerah lain masih bagus, makanya saya cepat tebang," tandas Taslim petani Sawit di Sassa, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara.

Sekretaris Forum Sawit Berkelanjutan Indonesia (FSBI) Kabupaten Lutra, Mahmuddin mengakui kondisi Sawit Luwu Raya memang sedang sakit, akibat harga yang belum juga membaik.

"Petani sepertinya dilematis, Ibarat pepatah lama 'Mati Segan, Hidup pun Enggan'. Mereka mau nebang sawitnya, kasihan sudah bersusah payah menanam dan merawat pohon sawitnya dengan dana besar. Bahkan di Kecamatan Sabbang ada petani mengaku habis Rp 300 juta, disaat sudah mulai produksi harga TBS sangat rendah," tutur Mahmuddin kepada media ini, Kamis (22/08/2019).

Pemerhati Perkebunan Luwu Raya, Ir H Sam Sumastono mengungkapkan, Harga Sawit itu bagus, kuncinya ada Indeks K. Menurutnya, di Sumatera harga TBS bagus karena Indeks K mereka tinggi mencapai 85,90 persen.  Sedangkan kita di Sulawesi Selatan Indeks K sangat rendah di angka 75.60 persen. 

"Jadi Indeks K inilah yang sangat mempengaruhi harga TBS. Ketika Indeks K mereka rendah bisa dipastikan harga TBS dibeli murah," ujarnya.

Indeks K ini, lanjut mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Luwu Utara, dihitung berdasarkan empat faktor yakni biaya pengolahan, biaya pemasaran, biaya pengangkutan dan biaya penyusutan pabrik. Kalau indeks K kecil pasti harga TBS rendah. Bandingkan dengan berapa indeks K di Lutra.

Dari empat faktor tersebut diatas menurut Sam panggilan akrabnya, ada rincian untuk setiap faktor, dimana pada prinsipnya bisa dihitung. Namun karena indeks K itu diajukan oleh PKS, harus ada tim yg melakukan pengecekan. Disini peran ada perwakilan petani yakni Apkasindo cukup besar untuk melakukan komunikasi dengan Bupati terkait keluhan seluruh petani Sawit.

Lanjutnya, indeks K di Provinsi Riau rata-rata 85,90 % dengan harga TBS mencapai 1400, sedangkan indeks K di Lutra hanya 75,60 %. Apkasindo sebagai wadah petani Kelapa Sawit perlu mencari fakta dengan cara melaporkan kondisi tersebut ke Bupati atau ada sponsor mewakili masyarakat untuk membentuk Tim penelusuran fakta Indeks K tersebut.

Ia menyarankan agar Pemerhati Sawit Luwu Utara dan Apkasindo membentuk tim, kemudian audiens dengan Pemda Luwu Utara, termasuk dengan pihak Pabrik Sawit. Selanjutnya melakukan cek fakta di lapangan terkait penghitungan Indeks K.  

"Dari hasil temuan itu nantinya dilaporkan ke Bupati untuk ditindaklanjuti. Memang memerlukan proses dan waktu apalagi rumus indeks K cukup rumit, tapi kalau ini kepentingan orang banyak, ayo kita bergerak dan memulai," ajaknya.

"Jadi Apkasindo Luwu Utara harus berani menyampaikan kondisi ini ke Bupati karena Apkasindo adalah wadah petani. Kalau bukan Apkasindo, siapa lagi," pungkasnya. (yustus)
 

Politik

Pendidikan

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN