‘Wakaf’ Info Buat Wartawan (2-Habis) : Membongkar Mitos Kebebasan Pers AS 


Oleh : M. Dahlan Abubakar

BUKU “Mesin Penindas Pers” yang judul aslinya “Into the Buzzsaw : Leading Journalists Expose the Myth of  A Free Press“ diterbitkan  Promotheus Books, New Yorks, AS  2004,  saya beli di Toko Buku Gramedia Mal Panakkukang pada 21 Oktober 2006, dua bulan setelah cetakan pertama edisi bahasa Indonesianya merambah pasar.

Kristina Borjesson, editor buku ini, adalah produser dan penulis lepas selama lebih dua puluh tahun. Selain menyunting “Into the Buzzsaw”, ia juga bekerja pada sejumlah rumah produksi film dokumenter independen, selain aktif menulis dan berceramah seputar isu-isu media.

Perempuan ini, juga menjadi produser dan penyiar acara radio “Expert Witnes" di WBAI, satu stasion radio bebas nonkomersial yang menawarkan program berita politik, perbincangan dan opini, program musik, ‘feature’ dan mengudara di frekuensi 99.5, FM di New York. Square. 

“Feet to the Fire” karyanya, juga memenangkan “Independent Publishers Award” dalam kategori acara terkini. Pada Juli 2013, pesawat ‘Trans World Airlines’ (TWA) Flight 800, film investigasi panjang fitur yang ditulis, diproduksi dan disutradarai Borjesson, dirilis di saluran kabel premium Epix.

Dalam film itu, mantan anggota investigasi pemerintah awal mengenai ledakan di udara 747 di lepas pantai Long Island, New York pada 17 Juli 1996, maju ke depan untuk membahas bagaimana investigasi awal dirongrong. Mereka juga menyajikan bukti forensik yang menunjukkan apa yang terjadi pada pesawat jet itu.

Buku ini menghimpun 19 karya jurnalistik terbaik yang juga hasil karya para wartawan terbaik di Amerika yang tidak lolos sensor editor dan penerbit media cetak di negara adi daya tersebut.

“Pada edisi pertama buku “Buzzshaw” (gergaji bundar, personifikasi terhadap pemerintah yang dianggap sebagai mesin penindas pers), bertepatan dengan dunia disuguhi bukan saja oleh badai kebohongan dari pemerintah mengenai perang dan perdamaian, melainkan juga proses pengadilan yang gencar oleh korporat Amerika terhadap para pembocor kisah-kisah yang kini terkumpul pada di ‘Buzzshaw’ edisi kedua (buku ini, MDA),” tulis Gore Vidal, salah seorang penulis dan skenario Amerika Serikat yang dilahirkan 3 Oktober 1925 di New York yang menulis novel terkenal seperti “The City and the Pillar” (1948), puluhan karya esai dan nonfiksi lainnya.

Sebagai gambaran maha singkat mengenai isi buku ini, saya kutipkan ringkasan tulisan Greg Palast berjudul “Domba-Domba yang Bungkam” (Seorang Amerika dalam Pengasingan Jurnalistik).
Greg Palast yang nama aslinya Gregory Allyn "Greg" Palast lahir 26 Juni 1952 adalah seorang penulis dan jurnalis lepas yang sering bekerja untuk “British Broadcasting Corporation” (BBC), Stasion Radio dan TV  Inggris yang didirikan tahun 1927 dan “The Guardian”, surat kabar Inggris yang dimiliki kelompok ‘Guardian Media Group’, merupakan harian serius dalam bentuk lembaran besar dan dikenal relatif berhaluan kiri.

Kesenangan Palast menulis berita dan laporan investigasi mengantar BBC memenangkan beberapa penghargaan, termasuk Penghargaan Kebebasan Berekspresi yang diberikan oleh “American Civil Liberties Union” (ACLU), salah satu lembaga yang selalu konsisten menegakkan hak dan keadilan di Amerika, untuk karyanya “Demokrasi dan Regulasi".
Greg Palast menulis begini dalam tulisannya bertajuk “Inilah Cara Presiden Anda Terpilih”.

Dalam bulan-bulan menjelang pemilihan (Presiden AS) November, Gubernur Florida Jeb Bush dan Pejabat Tata Pemerintahan Katherine Harris, memerintahkan para pengawas pemilu lokal membersihkan 58 ribu pemilih dari pendaftaran. Alasannya, mereka adalah para penjahat yang tidak berhak memilih di Florida. Kenyataannya, hanya beberapa saja dari para pemilih ini yang penjahat.

Para pemilih dari daftar ini adalah Afro-Amerika (54%), yakni etnis Afrika-Amerika, sebuah kelompok etnis di Amerika Serikat yang nenek moyangnya banyak berasal dari Afrika di bagian Sub-Sahara dan Barat. Mayoritas dari rakyat etnis Afrika-Amerika berdarah Afrika, Eropa, dan Amerika Asli. Kebanyakan sisanya yang dilarang memilih adalah pendukung Partai Demokrat yang berkulit putih dan orang-orang hispanik, (bahasa Spanyol : ‘Hispano’), adalah istilah yang berakar dari kata Spanyol, orang Spanyol dan budayanya.

Tiga pekan setelah pemilihan, berita hebat ini muncul pada halaman satu koran terkemuka di negara lain (tentu bukan Amerika). “Sayangnya, berita ini muncul di negara yang salah, Inggris,” tulis Palast.

Berita itu tidak muncul sama sekali di Amerika Serikat. Saya terkenang berita seperti ini pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa. Berita mengenai jatuhnya korban pada unjuk rasa anti-helm di sekitar IKIP Ujungpandang – Universitas Negeri Makassar (UNM) sekarang – pada tahun 1986 tidak pernah kita baca di media arus utama (“mainstream”) di Indonesia, tetapi kita mendengarnya melalui berita Radio Australia dari Melbourne.

Tidak pelak lagi, radio tersebut dianggap memuat berita bohong, padahal radio tersebut taat asas, MDA). Berita tersebut (pemilihan presiden itu) tidak dimuat di halaman-halaman berita, tetapi disiarkan dalam liputan jaringan televisi besar. Namun, sekali lagi, berita tersebut muncul di benua yang salah, di televisi BBC, London. “Apakah berita ‘di balik tembok’ itu keliru ? Ini keliru ?,” Palast bertanya dan menegaskan.

Seorang pengacara untuk Komisi Hak Sipil AS menyebutnya sebagai bukti kuat pertama dari sebuah upaya sistematis mencabut hak pemilih berkulit hitam. Komisi menjalankan sidang dramatik atas bukti tersebut.

Jadi, mengapa berita itu diinvestigasi, dilaporkan, dan disiarkan di Eropa ? Pertanyaan, mengapa dari Eropa ?, dapat diutarakan sebagai berikut : bagaimana 100 ribu wartawan Amerika yang dikirim untuk meliput pemilu, gagal memperoleh cerita pencurian suara dan mencetaknya (bahkan mungkin sebelum pemilu) ?. (Suatu aksi yang juga pernah terjadi di Indonesia, khususnya di Sulsel – seperti diakui oleh seorang teman saya yang pernah menjadi bupati – bahwa rakyatnya yang di daerah terpencil sudah mencoblos sebelum hari H pemilihan umum, MDA).

Pesan Palast, perhatikan semua kisah tentang laporan investigasi dalam buku ini. (Anda semua hanya akan membacanya sedikit saja dari tulisan saya ini, MDA). Semua memiliki tiga kesamaan : berisiko, terganggu kearifan aturan yang mapan, dan sangat mahal. Apakah pengusaha yang sadar keuntungan, perusahaan media mencari biaya lebih, risiko lebih, dan peluang untuk diserang ? Dalam buku bisnis apa pun yang Palast baca, tidak mungkin.

Nafsu meraih keuntungan telah menghalangi liputan investigasi. Kondisi ini menyebabkan matinya peliputan pemilu dan isu-isu lain. Inilah yang diolok-olok sebagai budaya jurnalistik Amerika. Jika orang seperti Rupert Murdock (Keith Rupert Murdoch),  lahir di Melbourne, 11 Maret 1931; adalah pemilik “News Corporation”, salah satu perusahaan media terbesar dan paling berpengaruh di dunia.

Perusahaan yang dimiliki News di antaranya adalah ‘Fox News’, ‘20th Century Fox’ (1985), ‘The Wall Street Journal’ (2007) dan ‘Harper Collins’ (1989) di Amerika Serikat serta BSkyB (1990) di Britania Raya. Ia sebelumnya merupakan warganegara Australia, tetapi kini telah menjadi warganegara Amerika Serikat, (wikipedia MDA) adalah gembala dari orde dunia baru. "Mereka harus melahirkan domba-domba yang jinak, redaktur yang tertidur, dan wartawan yang puas untuk mengunyah, mencerna, dan mencetak ulang pernyataan pers dan berita-berita kemasan yang disediakan pejabat-pejabat dan humas perusahaan,” beber Palast.

Salah satu simpulan kunci dari paparan Greg Palast ini, termasuk 18 tulisan lain di dalam buku ini (yang tidak sempat Anda baca dan saya kutipkan di sini) adalah bahwa karya-karya mereka yang rata-rata menggaet penghargaan bergengsi di Amerika Serikat justru tidak satu pun yang lolos di media negara itu. Di sini berlaku adagium “Good news is the bad news” (berita yang baik adalah berita yang buruk).

Saya sendiri setelah membaca karya-karya gemilang mereka ini kemudian menambahkan simpulan bahwa Amerika Serikat yang selama ini selalu diagung-agungkan dan menjadi rujukan dan contoh oleh banyak pakar komunikasi dan jurnalisme sebagai kiblat kebebasan pers sejagat itu ternyata hanyalah sebuah mitos belaka.

Sekarang,  kebebasan pers yang (mungkin) ideal bagi suatu negara justru sedang dinikmati oleh komunitas pers Indonesia, meskipun terkadang kebebasannya ‘kebablasan’. (*)
 
 

Politik

Pendidikan

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN