12 Kecamatan di Makassar Berpotensi Likuifaksi

SOROTMAKASSAR -- Makassar. Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) Pemerintah Provinsi Sulsel, Dr Setia Budi mengungkapkan wilayah di Kota Makassar yang terancam pencairan tanah atau likuifaksi.

Penelitian berdasarkan tugas akhir dari Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar, Haady Muqtadir, 2014, dengan judul penelitian, "Zonasi Potensi Likuifaksi Kota Makassar Menggunakan Metode National Center For Earthquake Engineering Research (NCEER)".

Sebanyak 12 kecamatan di wilayah kota Makassar berpotensi likuifaksi, yakni Kecamatan Rappocini, Mamajang, Tamalate, Mariso, Makassar, Ujung Pandang, Manggala, Pannakukang, Wajo, Bontoala, Tallo, dan Ujung Tanah.

Daerah tak terindikasi likuifaksi hanya di Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya.
Kecamatan Ujung Tanah paling berpotensial dengan ketebalan pencairan tanah 13-16 meter.

"Kebanyakan memang potensi pencairan (likuifaksi) itu paling banyak berada di dekat pesisir Kota Makassar dan dekat sungai," kata Dr Budi, Sabtu (13/10/2018).

Ia mengatakan memang struktur tanah Kota Makassar kuat tapi harus dilhiat dulu hasil penelitian ini. Sehingga, dia mengajak kepada seluruh masyarakat dan pemerintah Kota Makassar untuk menerapkan sistem mitigasi bencana.

"Memang tak ada patahan dan potensi gempa yang melewati kita, tapi efek gempa bisa sampai ke Makassar, karena ada cecar di Teluk Bone, gempa Lombok kemarin itu sampai ke Kota Makassar efeknya. Memang Makassar relatif aman tapi kita perlu hati-hati dengan gempa di daerah-daerah lain yang berefek ke Makassar," katanya.

Ia menjelaskan, langkah paling awal adalah memperkuat struktur bangunan dan sesuai dengan mitigasi bencana di daerah terindikasi likuifaksi.

"Harus kita sadar betul mitigasi bencana saat ini. Harus dicanangkan tata kota berbasis bencana. Jangan ada tanah kosong, tiba-tiba membangun kawasan publik atau perumahan," katanya.

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Sementara itu, Anggota Pansus ZWP3K) Pemerintah Provinsi Sulsel, Arum Spink meminta pemerintah provinsi Sulawesi Selatan untuk segera melakukan mitigasi bencana.

"Kalau Kota Palu demikian maka kita juga harus waspada. Jangan sampai sudah terjadi baru kita menyesal," katanya.

Ia pun meminta kepada Dr Setia Budi untuk presentasi secara detail masalah potensi Likuifaksi di Kota Makassar.

Penyebab Likuifaksi

Disalin dari laman Kompas.com, fenomena likuifaksi belakangan ini banyak dibicarakan masyarakat setelah terjadi dan menenggelamkan sebuah permukiman di Palu, pasca-gempa bermagnitudo 7,4 akhir September lalu.

Berbagai spekulasi muncul sebagai penjelasan atas terjadinya bencana alam yang belum terlalu familiar di telinga masyarakat ini.

Ahli Geologi Institut Teknologi Bandung ( ITB), Imam Achmad Sadisun, menjelaskan faktor yang menyebabkan tanah bergerak dan mengeluarkan material yang kemudian kita kenal dengan istilah likuifaksi.

Dikutip dari artikel di laman resmi ITB, Imam menjelaskan, fenomena likuifaksi merupakan perubahan karakter material padat (solid) menjadi seperti cairan (liquid) sebagai akibat dari adanya guncangan besar.

Guncangan berkekuatan tinggi yang terjadi secara tiba-tiba di tanah dengan dominasi pasir yang sudah mengalami jenuh air, atau tidak lagi bisa menampung air.
Ini menyebabkan tekanan air pori naik, melebihi kekuatan gesekan tanah yang ada.

"Proses itulah yang menyebabkan likuifaksi terbentuk dan material pasir penyusun tanah menjadi seakan melayang di antara air," kata Imam.

Apabila posisi tanah terletak di lahan miring, tanah dapat bergerak menuju bagian bawah karena tertarik gaya gravitasi.

Pergerakan inilah yang menjadikan tanah seolah-olah terlihat "berjalan", berpindah dari tempat semula ke tempat yang baru.

Pergerakan ini membawa serta segala benda dan bangunan yang ada di atasnya, misalnya rumah, pohon, tiang listrik, dan sebagainya.

"Secara lebih spesifik, kejadian ini disebut sebagai aliran akibat likuefaksi atau flow liquefaction," ujarnya.

Namun, apabila kekuatan tekanan air pori tidak melampaui kekuatan gesek tanah, efek dari likuifaksi hanya sebatas retakan-retakan yang memunculkan air dengan membawa material pasir.

Likuifaksi ini terjadi di Palu, Sulteng pasca-gempa kemarin, menyebabkan terjadinya retakan di permukaan dan sumur yang tiba-tiba terisi pasir.

Efek ini disebut sebagai cyclic mobility.
Dapat diperhitungkan
Imam menyebut, potensi likuifaksi dapat diidentifikasi bahkan memungkinkan untuk dihitung.

Secara umum likuifaksi terjadi di wilayah rawan gempa dengan muka air tanah dangkal dan kondisi tanahnya kurang terkonsolidasi.

Pada umumnya, likuifaksi terjadi apabila terdapat gempa berkekuatan lebih dari magnitudo 5 di kedalaman kategori dangkal.

Material tanah yang terlikuifaksi berada di bawah muka air tanah dengan kedalaman sekitar 20 meter atau lebih, tergantung penyebaran tanah di suatu wilayah.

Meminimalisasi Ancaman

Untuk meminimalisasi terjadinya likuifaksi dapat dilakukan dengan berbagai upaya rekayasa pengerasan atau pemadatan material tanah.

Misalnya, dengan mencampurkan semen (soil mixing), injeksi semen (grouting), membuat pondasi dalam sampai tanah keras, dan sebagainya.

"Namun kendalanya adalah dari biaya yang tinggi. Untuk rumah biasa seperti itu sulit, tapi untuk bangunan yang tinggi (upaya) itu harus," tandas Imam.(ttc)

Politik

Pendidikan

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN