SOROTMAKASSAR -- Makassar.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Prof Muhadjir Effendy, menutup peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) 2019 tingkat nasional yang dipusatkan di Lapangan Karebosi Makassar, Suawesi Selatan. Peringatan HAI 2019 dan Festival Literasi ini berlangsung tanggal 5 hingga 8 September 2019.

Di hadapan peserta yang memadati Lapangan Karebosi, Mendikbud mengatakan, “Hari ini Sabtu, 7 September, merupakan hari yang sangat penting bagi kita semua. Kita berkumpul di Lapagan Karebosi Makassar ini untuk bersama-sama memperingati Hari Aksara Internasional 2019 tingkat nasional".
Hari aksara internasional, katanya, adalah hari yang disepakati bersama para menteri pendidikan pada kongres menteri-menteri pendidikan se-dunia di Teheran, tahun 1966, yang diselenggarakan oleh UNESCO sebagai respon terhadap kondisi dunia, saat itu, di mana lebih dari 40 persen penduduk dewasa dunia masih buta huruf (buta aksara).
Kongres itu mencanangkan gerakan pemberantasan buta aksara secara masif di seluruh dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang dan mengusulkan kepada sidang umum PBB dan menjadi keputasan bersama untuk menjadikan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional.
“Sejak saat itu, hari aksara internasional diperingati setiap tahun oleh semua negara anggota PBB. Peringatan ini dipandang perlu sebagai penguatan kembali komitmen bersama pemberantsan buta aksara di semua negara,” tuturnya.
HAI 2019, lanjut menteri, mengambil tema "Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat". Ini didasarkan oleh kasadaran dari 652 bahasa daerah. Keragaman budaya ini merupakan aset bangsa Indonesia yang harus dikembangkan sebagai wahana bersama dalam meningkatkan literasi masyarakat dalam memberantas buta aksara.
Semangat memberantas buta aksara, ungkap Mendikbud, lebih dinyalakan oleh Bung Karno, sejak awal kemerdekaan, ketika angka buta aksara pada saat itu sekitar 97 persen. "Bantulah usaha pemberantasan buta huruf," ucap Bung Karno ketika itu.
Proklamator Kemerdekaan Indonesia itu, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bahu-membahu memberantaskan buta aksara, karena ini merupakan amanat konsititusi kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Bung Karno mencanangkan, pemberantasan buta huruf, bukan sebagai proyek atau program pemerintah, tetapi sebuah gerakan nasional. Gerakan bersama pemerintahan dan masyarakat yang saat itu dilaksanakan di lebih dari 18 ribu tempat dengan melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan lebih dari 700 ribu warga masyarakat.
Berkat kerja keras dan usaha bersama serta bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, gerakan nasional ini membuahkan hasil. Indonesia, bangsa yang pada awal kemerdekaan mayoritas buta aksara, namun setelah 74 tahun, telah berubah 180 derajat menjadi bangsa degan mayoritas melek aksara, bangsa yang semakin literat, dan semakin maju.
Indonesia telah membuktikan keberhasilannya dengan mencapai prestasi melebihi target 'Education For AII' atau 'pendidikan untuk semua,' yang merupakan kesepakatan para menteri pendidikan di Dakar pada tahun 2000. Indonesia berhasil mengurangi separuh jumlah penduduk buta aksara dari 10,20% (15,4 juta orang) pada tahun 2004, menjadi 5,02% (7,54 juta orang) pada tahun 2010.
“Alhamdulillah, pada tahun ini, kita bahkan telah berhasil menekan angka buta aksara lebih rendah lagi hingga 1,93 persen (atau 3,2 juta orang ), menurunkan dari 2,07 persen (atau 3,4 juta orang ) pada tahun sebelumnya,” tegas Mendikbud.
Meskipun jumlah buta aksara di negara kita sudah menurun, sambung menteri, bukan berarti gerakan nasional pemberatasan buta aksara sudah selesai. Tugas kita bersama untuk menuntaskan buta aksara dan membebaskan bangsa ini dari kebutaaksaraan harus terus dilakukan.
Pemberansan buta aksara pada segmen populasi ini sangat sulit, tetapi profilnya semakin jelas, yaitu mayoritas berada di Indonesia bagian timur, tinggal di perdesaan, dan di kantong-kantong kemiskinan. Umumnya perempuan dan umurnya di atas 45 tahun.
Menurut data BPS tahun 2018, terdapat enam provinsi di Indonesia dengan angka buta aksara lebih dari 4 persen, yaitu Papua (22,88 persen), Nusa Tengara Barat (4,63 persen), Nusa tenggara Timur (5,24 persen), Sulawesi Barat (4,64 persen), Sulawesi Selatan (4,63 persen), dan Kalimatan Barat (4,21 persen).
“Jika ke enam provinsi ini dapat memberantas buta aksara di daerahnya masing-masing maka angka buta aksara di Indonesia akan menurun secara signifikan. Jika mampu membebaskan diri dari buta aksara secara keseluruhan maka kita bisa berharap kualitas sumber daya manusia di seluruh Indonesia akan semakin meningkat,” tukas Mendikbud.
Tantangan masa depan tidaklah semudah hidup di Abad 21, tidak cukup hanya berbekal bisa baca, tulis dan berhitung (Calistung). Setiap orang dituntut menguasai literasi digital, literasi keuangan, literasi sains, literasi kewargaan dan kebudayaan.
“Gerakan pemberantasan buta huruf mungkin akan segera bergeser menjadi gerakan penguasaan enam dasar literasi tersebut,” imbuh Menteri Muhadjir.
Mendikbud mengimbau seluruh pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota seluruh Indonesia untuk menyelenggarakan peringatan hari aksara Internasional di daerah masing-masing, karena itu sangat penting untuk menguatkan kembali komitmen bersama pemerintah dan seluruh komponen masyarakat dalam memberantas buta aksara dan menguatkan tekad membangun sumberdaya manusia yang berdaya saing tinggi pada abad 21.
“Presiden Jokowi telah menggariskan bahwa prioritas pembangunan Indonesia pada lima tahun ke depan adalah pembangunan sumber daya manusia,” kata menteri.
“Saya juga mengimbau kepada seluruh keluarga, sekolah, dan masyarakat bersama-sama mengembangkan dan menguatkan budaya literasi. Para orang tua perlu mengenalkan buku sejak dini. Sediakan waktu untuk membaca buku atau ceritera kepada anak-anak kita,” tandasnya.
Sekolah harus berperan aktif mengadakan berbagai kegiatan literasi siswa. Masyarakat dapat mengambil peran dengan ikut menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya bisa budaya literasi.
Sebelumnya, Dirjen PAUD dan Dikmas, Harris Iskandar melaporkan, berdasarkan data BPS tahun 2018, angka buta aksara di seluruh Indonesia tersisa 1,93 persen (3.290.490 orang). Jumlah angka buta aksara tersebut merupakan sasaran yang tidak mudah diselesaikan karena berada di kawasan terpencil dan notabene susah dijangkau. Namun kita harus bertekad untuk menurunkan buta aksara hingga 0 persen. (*)