SOROTMAKASSAR - JAKARTA.
Dalam kunjungan kerjanya ke wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, Gubernur Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Dr. H. Zainal Arifin Paliwang, SH, M.Hum mengalami sendiri sulitnya kondisi di sana, termasuk harus mengonsumsi nasi basi selama tiga hari.
Kisah pilu tersebut disampaikan Gubernur Zainal Arifin Paliwang di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat pertemuan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (28/4/2025).
Dengan nada penuh keprihatinan, mantan Wakapolda Kaltara itu mengungkapkan pengalamannya, "Saya sangat sedih, pimpinan. Saya tiga hari dua malam itu makan nasi basi di tengah hutan."
Ia juga menambahkan dengan rasa malu, namun menyadari keterbatasan anggaran daerah, "Malu sebenarnya, tapi mau diapakan, memang kondisi keuangan kita ini belum mampu untuk menjangkau."
Lebih lanjut, gubernur kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan itu tidak hanya menceritakan pengalamannya sendiri, tetapi juga menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat di perbatasan. "Bagaimana kehidupan masyarakat saya ? Kalau saya putarkan video-videonya, mungkin pimpinan bisa menangis melihat suasana masyarakat kita di Kalimantan Utara," ujarnya dengan nada haru.
Selain masalah pangan, alumni SMA Negeri 1 Makassar angkatan 1982 itu, juga menyoroti minimnya infrastruktur dasar, termasuk kondisi jalan yang memprihatinkan, hingga menyebabkan masyarakat sangat bergantung pada negara tetangga, Malaysia, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Suasana di kawasan perbatasan, Indonesia merdeka sudah mau 100 tahun tetapi kondisi jalan begini, Bapak pimpinan," ungkap Zainal.
Ia memberikan perbandingan yang mencolok, "Saya pernah tempuh 60 km itu selama enam jam. Jakarta-Bogor di sini tidak sampai satu jam, tetapi di sana 60 km sampai enam jam."
Kondisi infrastruktur yang buruk diperparah dengan banyaknya jembatan yang putus, memaksa masyarakat untuk membangun jembatan darurat dari batang kayu seadanya. Meskipun demikian, Pemerintah Provinsi Kaltara berupaya membantu warganya dengan memberikan subsidi transportasi orang dan barang.
"Setiap tahun kami anggarkan Rp 15 miliar, tetapi mungkin tahun ini menyusut karena efisiensi," jelas Zainal di hadapan para anggota dewan.
Ironisnya, Zainal juga mengungkapkan bahwa sebagian besar kendaraan bermotor, termasuk mobil, yang beroperasi di Kaltara menggunakan pelat nomor Malaysia. Selain itu, harga material bangunan juga sangat tinggi di wilayah tersebut.
"Di sana itu mobil-mobil tidak ada pelat Indonesia, semua berpelat Malaysia," kata Ketua IKA SMANSA 82 itu. Ia berharap dapat berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait status kendaraan-kendaraan tersebut, terutama jika akses darat nantinya telah terbuka.
Lebih lanjut, Zainal menjelaskan bahwa akses darat di beberapa wilayah perbatasan masih belum memadai, sehingga masyarakat sangat bergantung pada transportasi udara atau sungai untuk beraktivitas.
Di tengah segala keterbatasan dan kesulitan tersebut, Zainal выразил rasa syukurnya atas kecintaan masyarakat Kalimantan Utara terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Untung mereka masih NKRI, tapi perutnya Malaysia, pimpinan. Kita ini negara besar, negara Republik Indonesia, kita malu ketergantungan semuanya selalu dari Malaysia," pungkasnya dengan nada prihatin. (*)