Penyair Taufiq Ismail Luncurkan Buku di Turki

*Ayahnya, Guru dari Qahar Mudzakkar

PENYAIR Indonesia Angkatan 66 Taufiq Ismail, akan meluncurkan bukunya di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Istanbul, Turki, Senin (05/04/2021) waktu setempat. Dalam pesan whatsapp-nya yang dikirim melalui Dr. Tammasse Balla, M.Hum, penyair kelahiran Bukittinggi 25 Juni 1935 tersebut akan meluncurkan buku puisi berjudul “Debu di Atas Debu” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.

Menurut Taufiq Ismail, puisi yang dialihbahasakan Cumhur Cil setebal 300 halaman tersebut merupakan karyanya dalam bahasa asing ke-13 yang lahir dari tangannya. Sebelumnya puisinya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Arab, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Parsi, Bosnia, Amerika, Korea, China, Jepang, dan yang terbaru dalam bahasa Turki yang dimulai pada tahun 2010.

Sementara puisi "Rerumputan Dedaunan” merupakan terjemahan karya b160 penyair Amerika yang meliputi masa 1850-1960. Putra pasangan A.Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu,Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek Tanah Datar Sumatera Barat ini berharap kumpulan puisinya yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Turki dapat mempererat persahabatan antara Turki dan Indonesia yang sudah berlangsung sejak lama.

Ayah Taufiq Ismail adalah seorang ulama dan pendiri PERMI yang menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Dalam bincang-bincang dengan saya di Kantor Redaksi Majalah Sastra Utan Kayu Jakarta Utara pada tahun 2015 Taufiq Ismail memiliki hubungan historis dengan Sulawesi Selatan.

“Dalam hal apa itu, Pak Taufiq,” tanya saya yang segera penasaran dengan kalimat sastrawan yang banyak karya puisinya itu dijadikan lirik lagu oleh sejumlah penyanyi Indonesia seperti Bimbo, Chrisye, dan lain-lain tersebut.

“Ayah saya guru dari Qahar Mudzakkar,” katanya dalam pertemuan suatu sore yang diiringi hidangan kolak pisang bersama Dr.Tammasse Balla, M.Hum.

Ayahnya, A.Gaffar Ismail, merupakan guru dari Abdul Qahar Mudzakkar ketika di Solo. Waktu itu, mengetahui Gaffar Ismail memiliki hubungan emosional dengan Qahar Mudzakkar (QM), petinggi TNI di Jakarta memutuskan mengirim ayah Taufiq Ismail membujuk QM agar turun dari hutan dan berhenti bergerilya.

Kisah Taufiq Ismail mengenai perjalanan ayahnya ke hutan Luwu ini termuat di dalam buku yang akan segera terbit berjudul “Qahar Mudzakkar Detik-Detik Terakhir” yang saya tulis bersama dengan L.E.Manuhua, mendiang Pemimpin Umum Harian “Pedoman Rakyat”.

Menurut catatan Wikipedia, Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat Fakultas Kedokteran Hewan Pertanian (FKHP)-UI Bogor (yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor) pada 1963 tetapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

Semasa kuliah Taufiq Ismail aktif sebagai Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).

Di Bogor dia pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor.

Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever.

Penerima beasiswa American Field Service (AFS) International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota “Board of Trustees” AFS di New York, 1974-1976.

Pengategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.

Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.

Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar.

Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, Tiongkok, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.

Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004).

Di deretan jejak langkah Taufiq yang panjang tersebut, penyair dan kritikus sastra Indonesia Saut Situmorang memberitakan dalam media sastra yang diempunya bersama Katrin Bandel, Boemipoetra, bahwa Taufiq melakukan aksi plagiarisme atas karya penyair Amerika bernama Douglas Malloch (1877 – 1938) berjudul Be the Best of Whatever You Are.

Taufiq Ismail memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Tahun 2003, Taufiq Ismail mendapat penghargaan doktor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta. (wikipedia-MDA)

Politik

Pendidikan

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN