Catatan M. Dahlan Abubakar
TIDAK terasa, tepat 52 tahun silam, saya pertama kali ‘terdampar’ di Kota Makassar. Pada hari keenam pelayaran, malam hari, kakak-kakak mahasiswa Bima yang sudah bertahun-tahun di Makassar, mulai sedikit bisa menghibur saya mengalami mabuk laut payah tujuh hari tujuh malam. Di kejauhan, di horizon laut, tampak ada cahaya di batas langit.
“Itu adalah cahaya Kota Ujungpandang (kini Makassar) yang menjadi tujuan,” kata kakak-kakak itu pada malam hari sebelum siang keesokan hari, bertepatan dengan 16 November 1971, ‘Masyalihul Ahyar”, perahu Lambo Bugis itu akan merapat di Pelabuhan Hasanuddin Mahassar (lokasi Pelabuhan Peti Kemas Makassar sekarang).
Dengan pergantian nama itu, Makassar yang semula hanya memiliki luas 21 km2, '‘membengkak’’ menjadi 175,77 km2 dengan nama baru, Ujungpandang. Konon, tiga daerah kabupaten (Maros, Gowa, dan Pangkep) yang sebagian wilayahnya ‘’dicaplok’’ demi perluasan kota yang digagas Patompo, tidak rela melepaskan sejengkal pun tanahnya jika tetap menggunakan nama Makassar.
Masalahnya, Kota Makassar tidak hanya dihuni oleh orang dari etnis Makassar saja, tetapi juga dari etnis lain seperti Bugis, Mandar, dan Toraja. Belum termasuk pendatang yang sudah lama ada di kota ini, seperti Arab, Tionghoa, Melayu, maupun Jawa pascakemerdekaan. Maka, tidak ada pilihan, Makassar harus berganti nama menjadi Ujungpandang.
Ujungpandang diambil dari satu lokasi di sekitar Benteng Fort Rotterdam yang ditumbuhi pandan. Saya masih sempat melihat satu rumpun pohon pandan di bagian atas, agak ke selatan benteng pada tahun 1980-an. Jadi, nama Makassar sebenarnya berganti menjadi “Ujungpandan’’, yakni ujung yang ditumbuhi pohon pandan. Namun orang Bugis-Makassar selalu menambahkan konsonan /g/ pada kata yang berakhir dengan konsonan /n/, sehingga lahir huruf sengau /ng/ pada kata /pandang/.
Sebutan yang kelebihan /ng/ ini tidak saja pada kata /pandan/g/ tetapi juga terdengar pada kata-kata yang berakhir dengan konsonan /n/ lainnya, misalnya /ikan/, /makan/, /turun/ hingga terdengar berbunyi /makang/, /ikang/, dan /turung/.
Makassar, kota yang pada tanggal 1 September 1971 berganti nama menjadi Ujungpandang ketika dipimpin Haji Muhammad Daeng Patompo (1965-1978) karena alasan perluasan wilayah semata. Nama Ujungpandang ini sempat juga membingungkan saya ketika masih di Bima. Pasalnya, tiba-tiba saja RRI Nusantara IV Makassar hilang di udara, berganti dengan nama baru yang sama sekali asing bagi kuping saya.
Sempat juga saya berpikir, ke mana gerangan RRI Nusantara IV Makassar yang saban hari saya dengar siarannya ini ‘’pergi’’. Meskipun frekuensi tempat saya selalu standby atau stationare (menyetel) memantau siarannya tidak berubah. Bekerja di frekuensi 63 pada pagi dan malam hari, di short wave (SW) – gelombang pendek -- 1. Pada siang hari, waktu itu, RRI Nusantara IV Makassar dapat didengar pada gelombang pendek 31.
Kebingungan saya kemudian teratasi ketika suatu pagi, seperti biasa, saya mendengar siaran melalui gelombang 63 itu lagi. Tiba-tiba terdengar suara Kak Roswati Abas yang akan membacakan berita pagi pada pukul 06.30 Wita.
‘’Inilah Radio Republik Indonesia Nusantara IV Ujungpandang-Makassar dengan siaran berita. Dibacakan oleh Roswati Abas,’’ begitu terdengar suara Kak Ros – panggilan akrabnya – meng-call stasion RRI Nusantara IV waktu itu.
‘’Oh.. rupanya nama Ujungpandang pengganti nama Makassar,’’ gumam saya setelah maklum akan perubahan nama ini.
Perubahan nama ini mendapat protes keras dari tiga sejarawan Sulawesi Selatan (Prof. Dr. Mr. Andi Zainal Abidin Farid, SH, Prof. Dr. Mattulada, Drs. Hamzah Daeng (HD) Mangemba, (ketiganya almarhum) dan beberapa seniman dan budayawan. Secara yuridis kata mereka, pembentukan Kota Makassar lebih tinggi tingkatan, karena melalui undang-undang (UU), sementara pergantian nama dari Makassar ke Ujungpandang melalui peraturan pemerintah (PP).
Ternyata desakan para sejarawan tersebut membuahkan hasil. Pada tanggal 13 Oktober 1999, nama Makassar kembali digunakan untuk kota ini, yakni pada saat dipimpin Drs (Dr.) H.B. Amiruddin Maula, SH, M.Si, almarhum. Satu sejarah aneh dalam hal kota yang ‘’gonta-ganti’’ nama.
Kota ini juga memiliki dua nama julukan. Pertama, ‘’Anging Mammiri’’ yang bermakna angin bertiup. Mungkin ini ada kaitannya dengan angin bertiup sepoi-sepoi di Pantai (Anjungan) Losari. Dari nama ini kemudian lahir pula lagu ‘’Anging Mammiri’’ yang cukup melegenda di tanah air. Lagu ini sangat disukai mendiang Ir.Soekarno, Presiden I Republik Indonesia yang berkunjung ke Makassar 5 Januari 1962.
Kedua, Makassar juga disebut ‘’Kota Daeng’’. Kata ‘’Daeng’’ merupakan gelar dalam strata masyarakat Makassar. Dalam pengertian sehari-hari kata itu bermakna ‘’kakak’’. Tetapi, ‘’Kota Daeng’’, tidak dapat disebut ‘’Kota Kakak’’, tetapi tetap dengan sebutan ‘’Kota Daeng’’, yang mengindikasikan, kota yang ditinggali oleh penduduk beretnis dengan sapaan atau strata "Daeng’’ (Makassar) yang kini terdiri atas multi-etnis.
Ternyata, pelayaran malam hari itu hingga ke dekat cahaya itu, lama juga. Masih ada penderitaan yang tersisa lagi. Hujan deras turun pada malam hari, membuat cerita perih ini belum juga berakhir. Beruntung, perahu kian laju saja menuju arah cahaya di horizon itu, hingga pagi hari menjelang.
Pagi hari 15 November 1971, cuaca cerah muncul setelah hujan deras berlalu. Gelombang laut di Tanakeke, Takalar, sudah kami lewati pada malam harinya. Arus air di kawasan ini terkenal kencang. Bila kita sedang tidur dan kapal (setelah KM Kelimutu beroperasi 1986 dan diresmikan di Kupang oleh Menteri Perhubungan Roesmin Noeryadin. Saya satu-satunya wartawan Makassar yang meliput peresmian itu di Pelabuhan Tenau Kupang) terasa goyang keras beberapa jam setelah meninggalkan Pelabuhan Makassar, maka itu tanda daerah Tanakeke sedang dilintasi.
Saya melihat banyak perahu nelayan naik turun diayun gelombang. Ini juga pertanda tujuan kian dekat. Gedung-gedung kota mulai terlihat kian jelas. Waktu itu, pabrik terigu sedang dibangun di dekat Pelabuhan Makassar. Gedung yang sudah berdiri tersebut merupakan satu-satunya bangunan tertinggi di kawasan Pelabuhan Soekarno Makassar saat itu. Ketika pinisi “Masalihul Achyar” melintas antara Tanjung Bunga dan Pulau Laelae, kendaraan yang lalu lalang di Pantai Losari semakin jelas terlihat. Oh.. tujuan sudah di depan mata.
Sekitar pukul 11.00 tanggal 15 November 1971, lembaran sejarah baru hidup saya berubah drastis. Itulah saat pertama saya mendarat di pulau dan kota yang lain. Saya ’terdampar’’ di Makassar. Memulai hidup dan membuka lembaran sejarah baru dalam menganyam kisah dan cerita kehidupan ini. Sejarah perantauan panjang tak berujung dalam hidup ini.
Kami diturunkan di antara Pulau Laelae dengan Hotel Pantai Gapura sekarang, karena perahu ’’haram’’ memuat penumpang, hanya boleh membawa barang. Tentu tidak termasuk awaknya. Jika ditemukan oleh Syahbandar, pasti terkena denda. Tentu duit akan bermain supaya bisa 86.
Begitulah beberapa tahun kemudian setelah saya sudah menjadi wartawan suatu kali perahu motor yang kami tumpangi ditangkap di antara Pulau Laelae dengan Pantai Losari. Syahbandar langsung melompat naik, memeriksa muatan perahu. Kebetulan ada beberapa orang penumpang, ya, termasuk saya. Perahu itu sebenarnya boleh membawa penumpang karena bermotor. Tetapi namanya juga petugas, menjalankan tugas. Pemilik perahu yang tidak mau repot dan yang memeriksa juga mau, akhirnya “86” saja. Maksudnya, sama-sama tahu. Keesokan harinya, pemandangan di depan mata itu saya muat di harian “Pedoman Rakyat” (PR). Ya, tentu saja viral, karena PR waktu itu menjadi panggung informasi di Sulawesi Selatan.
Hujan turun dengan lebatnya, seolah menyambut kedatangan saya secara tidak bersahabat dan penuh tantangan, Tetapi sarat rezeki menurut anggapan banyak orang Tionghoa. Meskipun hujan turun tanpa henti, di kota Makassar tidak ada sungai besar yang membuat kota ini bisa kebanjiran. Rawa-rawa yang ditumbuhi kangkung yang menjadi komoditas bisnis pedagang kecil tumbuh di mana-mana. Termasuk di kampus almamater – kemudian -- di Baraya, Universitas Hasanuddin.
Perahu yang kami tumpangi membuang sauh di antara Pulau Lae-Lae dengan Kantor Polsekta Ujungpandang sekarang. Kami menyewa sampan kecil ke darat, ketika hujan sudah mulai rintik-rintik. Di darat, ternyata hujan turun lagi dengan lebatnya. Waktu itu, saya naik becak – untuk pertama kali – bersama dengan salah seorang mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Kak Manar Ibrahim. Dialah orang yang mengajak saya kuliah di Fakultas Sastra Unhas kemudian, memupus impian saya melanjutkan pendidikan ke Akademi Pajak Indonesia (API) Ujungpandang yang sudah disertai surat dispensasi.
Di tengah hujan deras, becak meluncur ke Jalan Sunu, tempat tinggal Kak Manar Ibrahim. Waktu itu, saya hanya sempat membawa tempat pakaian yang memang dibuat khusus. Koper itu terbuat dari kayu jati produksi desa sendiri. Koper kayu ini hanya berisi beberapa lembar baju dan celana serta sarung. Dokumen penting untuk kelanjutan pendidikan saya di dalam koper ini.
Keesokan hari baru saya kembali ke Pelabuhan Hasanuddin, pelabuhan perahu-perahu besar ukuran pinisi dan lambo sandar, untuk menjemput barang yang tersisa. Pinisi dan sejenisnya selalu sandar di pelabuhan perahu ini, tepat di belakang Kantor Syahbandar (dulu). Kini lokasi pelabuhan perahu itu sudah berubah sebagai pelabuhan peti kemas Makassar.
Barang yang masih tersisa hanyalah beras dan satu jerigen air madu yang isinya sekitar 20 liter. Air madu produksi kampung sendiri inilah yang diminum saban hari satu canteng besar untuk mengantisipasi kedinginan bila pelaksanaan Masa Perkenalan Mahasiswa (Maperma) berlangsung. Teman-teman se-pemondokan pun saya berikan bila mereka ingin minum. Saya juga tidak tahu mau dihadiahkan kepada siapa air madu sebanyak ini.
Pada saat saya tiba, kota Ujungpandang sedang diguyur hujan 40 hari 40 malam. Matahari tidak pernah kelihatan. Pesawat yang melintas di atas kota Makassar hanya terdengar deru suaranya. Tak pernah terlihat sosoknya yang tertutup awan. Rawa-rawa di Kampus Unhas Baraya penuh dengan air hingga memasuki areal ruang di dalam gedung kampus. Saya dengar banyak dosen Unhas yang ke kampus terpaksa menyingsingkan celana dan menjinjing sepatunya.
Meskipun hujan turun nonstop sebulan lebih 10 hari, tetapi tidak terjadi air tergenang yang parah seperti pada tahun 1990-an ini. Masalahnya, waktu itu masih banyak tanah kosong yang menjadi daerah resapan air dan perumahan belum seberkembang seperti sekarang ini. Air yang tergenang mengisi tanah-tanah kosong yang belum terbanguni perumahan. Andaikan saja hujan yang turun pada tahun 1971 itu mengguyur kota Makassar saat ini, saya tidak tahu seberapa tinggi air di rumah-rumah warga di kompleks-kompleks perumahan yang baru dibangun itu. (*)