Refleksi Hari Radio 2022, RRI Media Perangkai NKRI

 

Oleh M. Dahlan Abubakar
(Tokoh Pers versi Dewan Pers)

TUJUH puluh tujuh tahun silam, sebulan setelah Nippon Hoso Kyokai (NHK) – Radio Jepang ditutup, 11 September 1945, Radio Republik Indonesia (RRI) resmi berdiri. Puluhan tahun menapaki kehadirannya, radio milik pemerintah ini terlibat sebagai radio perjuangan ketika terjadi revolusi fisik (1945-1949).

Hampir tiga dasawarsa yang lalu, saat pemerintah membuka kran terhadap pendirian sejumlah stasion TV swasta, tampak kegalauan teman-teman angkasawan radio. Mereka khawatir siaran radio, khususnya Radio Republik Indonesia Makassar kehilangan pendengar.

Kegelisahan ini tidak begitu tampak di kalangan para reporter media berita lain yang masih menganggap diri sebagai pemain tunggal di sektor penyiaran tanah air. Pasalnya, mereka sudah memiliki puluhan stasion penyiaran daerah yang tidak akan mungkin dapat diimbangi pendatang baru yang bermunculan.

Puncak kegalauan teman-teman RRI Makassar khususnya, akhirnya diwujudkan dengan menyelenggarakan diskusi panel di salah satu aula RRI Makssar. Prof. Dr. A. Muis, SH, pakar komunikasi dan kolomnis surat kabar harian nasional terkemuka di Indonesia didapuk sebagai narasumber.

Saya termasuk narasumber kedua, yang dianggap mewakili wartawan media cetak yang juga ketika itu mengisi salah satu acara di RRI Makassar yang diharapkan melihat dan meneropong eksistensi RRI di era persaingan media penyiaran yang akan berlangsung.

Prof. Muis, almarhum, menyampaikan catatannya berdasarkan tataran teori komunikasi yang menjadi kompetensinya. Paparan beliau dapat menjadi rujukan ilmiah dan akademik bagi pengembangan wawasan para angkasawan RRI. Prof. Muis pada masa itu merupakan satu-satunya pakar hukum komunikasi di Indonesia.

Saya yang berlatar belakang pendidikan akademik sarjana sastra memang sejak usia sekolah dasar sudah menjadi pendengar setia RRI Nusantara IV Makassar. Bahkan setelah menjadi wartawan media cetak sekalipun saya masih selalu membawa radio ke mana pun melaksanakan tugas jurnalistik di Sulawesi Selatan maupun di beberapa daerah di Indonesia.

Saya katakan pada forum diskusi itu, RRI merupakan media yang sangat tepat untuk merangkai dan menghubungkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki wilayah yang tersebar, mulai dari Merauke di timur hingga Sabang di ujung barat. Dari Pulau Rote di bagian selatan hingga Miangas nun jauh di utara di dekat Filipina sana.

Melihat posisi Indonesia sebagai negara maritim yang sangat luas dan terisolasi, jelas RRI akan memainkan peran utama menyebarluaskan informasi ke seluruh negeri tanpa sekat geografis. Gelombang radio bahkan menembus batas wilayah negara, misalnya ke negara tetangga Malaysia dan Brunei Darussalam.

Kita masih ingat acara RRI Nusantara 4 Makassar yang sangat populer pada tahun 1960-an, “Dialog Ramadan” bersama Pak Kiai dan Daeng Naba” (K.H. Bakri Wahid dan Syamsu Marlin, BA, almarhum) yang terpantau sampai di negara tetangga.

Kemampuan RRI menembus batas inilah yang menempatkan posisi radio sebagai media yang paling tepat untuk mempersatukan wilayah dan penduduk Indonesia yang tersebar pada 17,000 pulau sesuai data pada tahun 2021 dan berjumlah 268 juta jiwa lebih. Pada posisi ini, media lain tidak dapat mengambil peran sebagaimana yang dimainkan RRI.

Saya juga ketika itu memberikan contoh bahwa radio merupakan piranti teknologi yang dapat mentransformasikan informasi dan dapat dimiliki dengan mudah oleh penduduk. Tidak hanya itu, pesawat radio dapat dibawa-bawa ke mana pun pemiliknya pergi. Ketika berkunjung ke Sorowako pada akhir 1980-an saya melihat almarhum Bapak Arsyad Subik, Kepala RRI Nusantara IV Ujungpandang ketika itu, membawa radio kecil untuk memantau siaran RRI 4 Ujungpandang dari jarak sekitar 600 km stasion.

Contoh praktis lain, para nelayan yang sedang melaut dan menunggu bagannya, dapat membawa pesawat radio ke tengah laut dan sambil mendengar siaran berita dan alunan musik di kala menunggu pancing dan bagan mereka diangkat. Peran pragmatis seperti ini mustahil dapat dimiliki oleh media berita dan media siar lainnya.

Jadi, saya menyimpulkan, teman-teman angkasawan RRI tidak perlu galau, apalagi berkecil hati dengan kehadiran pesaing-pesaing baru dari media lain. Kini, RRI sudah mengolaborasikan peran media konvergensi, yakni penyatuan media siaran, live streaming, laman berita, dan platforman media sosial.

Di kekinian, dengan perkembangan teknologi yang mengantar hampir dua pertiga penduduk Indonesia memiliki gawai, merupakan peluang bagi RRI memiliki mata dan mulut ke seluruh negeri. Mereka akan dapat berkomunikasi dengan RRI setiap saat, seperti yang diperankan RRI Pro3 Jakarta saat ini, yang setiap saat menerima laporan melalui telepon dari pendengar dari berbagai pelosok negeri.

Ketika mengantar mahasiswa KKN Unhas pada tahun 2013 ke Pulau Miangas, dari atas Bukit Keramat pulau itu, selama setengah jam saya melaporkan secara hidup dari pulau yang hanya sekitar 40 mil dari Filipina itu. Dan, ini hanya dapat diperankan oleh RRI. Bagi saya, itu luar biasa peran RRI ? Selamat Hari Radio, Sekali di Udara tetap di Udara. Jaya. (*)

Politik

Pendidikan

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN