DI tengah kebun ada sebuah rumah panggung yang sudah reot. Atapnya sudah bolong-bolong. Bila hujan turun, ya sudah pasti basah di dalam rumah. Maklum, itu dulu bangunan kandang ayam.
Di dalam rumah cukup lapang. Tak ada lemari. Tidak ada meja atau kursi. Juga tak ada ranjang. Yang ada hanyalah susunan kardus yang sudah usang dijadikan pengalas untuk tidur.
Beberapa bantal yang sudah hitam tanpa sarung, tergeletak di susunan kardus tadi. Di dalam rumah juga ada bentangan tali yang dijadikan tempat menggantung pakaian.
Saya pun tak melihat ada alat masak di dalam rumah yang berlantaikan serpihan bambu itu. Juga, saya tak melihat ada karung atau kantong plastik yang berisikan beras. Saya hanya mendapatkan di dalam baskom ada sejumlah bawang putih yang direndam air.
Bangunan itulah yang dijadikan tempat tinggal suami-istri, Ateng dan Ati di Lorong Umarsyarif II, Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga. Sehari-hari Ateng adalah tukang becak. Tetapi sudah sebulan sempat hari lamanya, ia tak menarik becak karena kaki kirinya terluka akibat tertindis kayu.
Pondok dan kebun yang ditinggalinya adalah milik orang lain. Tetapi menurut Ateng, sudah cukup lama mereka tinggal di situ. “Kalau pemiliknya sudah mau pakai ini lahannya, ya kami harus pindah. Saya sementara mendirikan pondok di sana,” kata Ateng lalu menunjuk ke arah pondok yang sedang dikerjakannya.
“Meski kondisi kami seperti ini, saya merasa malu untuk pergi meminta-minta. Saya sering diajak beberapa teman pergi meminta-minta ke rumah-rumah tetapi saya menolak. Lebih baik saya memulung plastik untuk dijual,” kata Ati dengan mimik wajah serius.
Mendengar ucapannya itu sangat menggugah perasaan. Saya kemudian menjanjikan pada Jumat pekan depan, Insya Allah saya antarkan satu paket sembako. Sebab, pada hari itu nanti, Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Sulawesi Tengah akan menggelar bakti sosial membagikan sembako kepada warga yang terdampak Covid-19.
Suami istri itu tampak sumringah mendengar janji saya. Keduanya kemudian mendoakan saya agar selalu sehat dan selalu dimudahkan rezeki. “Semoga Bapak selalu sehat dan dimudahkan rezekinya,” kata Ati.
Saya pun mengaminkan. Kemudian saya menjelaskan bahwa sebuah komunitas yang bernama Perhimpunan Indonesia Tionghoa Sulawesi Tengah yang akan membagikan sembako, bukan saya pribadi. Lembaga ini sangat peduli dengan orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan.
Dua buah kasur yang saya bawa bersama Tahir (dedengkot Paskibraka Sulteng), ini bantuan dari Ketua INTI Sulteng, Rudy Wijaya. Saya berdua hanya diperintah untuk mengantarkan ke bapak dan ibu. Jadi, nanti sembako juga saya mintakan sama mereka, begitu saya menjelaskan.
“Oh, terima kasih Pak, mudah-mudahan INTI selalu berkah dan orang-orangnya selalu sehat-sehat lalu dimudahkan rezekinya. Terima kasih bapak,” kata Ati.
Kasur yang diserahkan kemudian ia buka plastiknya. Lalu diletakkan di atas lapisan kardus usang. “Bagus sekali. Terima kasih INTI, mulai hari ini kami bisa tidur di atas kasur yang empuk. Sekali lagi terima kasih bapak atas bantuannya,” ucap Ateng.TASMAN BANTO