Kartini 4.0: Empowerment atau Eksploitasi?

Oleh : Prof. Dr. Ir. Naidah Naing, ST., MS., IAI., IPU
(Dosen Prodi Arsitektur Universitas Muslim Indonesia)

"Habis gelap, terbitlah terang." Kutipan legendaris Kartini ini menjadi mantra perjuangan perempuan Indonesia sejak awal abad ke-20. Perkembangan perempuan di abad ke-21, tepatnya di era digital 4.0, perempuan tampak begitu dominan: mereka tampil sebagai influencer, content creator, pemilik bisnis daring, hingga penggerak sosial. Teknologi memberi ruang baru yang dahulu mungkin hanya bisa dibayangkan Kartini. Namun, apakah semangat Kartini masih relevan dalam era digital, saat perempuan mengambil peran besar di berbagai platform media sosial? Ataukah perjuangan emansipasi kini dibayangi bentuk baru dari eksploitasi?

Perempuan dan Panggung Digital

Di era digital 4.0, muncul gelombang besar perempuan muda, di kota dan di desa, yang menjadikan media sosial sebagai panggung utama. Instagram, TikTok, Facebook dan YouTube kini bukan hanya ruang hiburan, melainkan ladang kerja dan ekspresi. Mereka membagikan tips kecantikan, edukasi keuangan, parenting, kesehatan mental, daily activity di rumah, tempat kerja bahkan aktivisme gender.

Profesi sebagai content creator memang membuka peluang ekonomi dan ruang ekspresi baru bagi perempuan di era AI ini. Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa 53,8% pengguna aktif media sosial di Indonesia adalah perempuan, dengan kelompok usia terbanyak antara 18–34 tahun. Ini adalah kelompok usia produktif yang juga dominan dalam ekosistem kreator digital. Namun, menjadi content creator perempuan tidak selalu berarti merdeka. Banyak di antaranya terjebak dalam tuntutan algoritma dan ekspektasi pasar yang menuntut tampilan ideal, konsistensi produksi konten, dan respons cepat terhadap tren—semuanya sering kali berbasis pada estetika dan performativitas.

Dilema Representasi: Empowerment atau Eksploitasi?

Di permukaan, menjadi content creator terlihat sebagai bentuk pemberdayaan bagi perempuan. Namun jika dicermati lebih dalam, sering kali konten yang dihasilkan perempuan harus mengikuti selera pasar yang patriarkis. Perempuan kerap dihadapkan pada narasi-narasi "self-love", "boss babe", atau "perempuan mandiri" yang pada kenyataannya dijadikan kemasan komersial oleh industri kecantikan, fashion, dan gaya hidup.

Sarah Banet-Weiser, dalam bukunya Empowered: Popular Feminism and Popular Misogyny (2018), menyebut fenomena ini sebagai “brand feminism” yaitu feminisme yang telah dijinakkan dan dikomodifikasi. Dalam konteks ini, empowerment bagi perempuan menjadi label yang menguntungkan brand, tetapi belum tentu membebaskan perempuan dari tekanan performatif. Perempuan yang berani bicara soal isu-isu kritis seperti kekerasan seksual, pelecehan di ruang publik, atau kesehatan mental sering kali mengalami backlash di komentar, kehilangan follower, bahkan di-report. Ironisnya, semakin perempuan berani bersuara di ruang digital, semakin besar pula risiko diserang secara personal.

Data dari SAFEnet (2024) menunjukkan lonjakan drastis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam triwulan pertama 2024 saja, tercatat 480 kasus KBGO, dengan mayoritas korban adalah perempuan muda usia 18–25 tahun. Banyak dari mereka adalah content creator yang kerap menerima DM ancaman, komentar seksual, bahkan ancaman penyebaran konten palsu berbasis deepfake. Jenis kekerasan yang dilaporkan mencakup penyebaran konten intim tanpa izin (73 kasus), pemerasan seksual (90 kasus), dan ancaman berbasis gambar atau video hasil manipulasi (deepfake). Modus ini banyak menyasar perempuan yang memiliki audiens besar dan ironisnya, justru mereka yang dianggap paling “berdaya” adalah yang paling rentan.

Perlindungan Masih Lemah, Literasi Masih Rendah

Meski Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 tahun 2022 yang secara khusus mengatur tentang pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, namun perlindungan korban KBGO masih belum maksimal. Banyak korban merasa takut melapor, khawatir dicap “lebay” atau malah disalahkan karena penampilannya di media sosial.

Di sisi lain, literasi digital dan gender masih belum menjadi bagian kuat dari pendidikan formal maupun pelatihan komunitas kreator. Padahal, memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana data personal dapat dimanipulasi, dan bagaimana mengelola komunitas yang aman adalah bagian integral dari pemberdayaan di era digital 4.0 bagi perempuan Indonesia.

Kartini 4.0: Kritis, Kreatif, dan Kolektif

Perempuan yang berprofesi sebagai content creator bukan hanya representasi Kartini masa kini, tetapi juga pewaris tantangan baru. Mereka bukan hanya pencipta konten, tetapi juga pencipta narasi tentang perempuan, suara, dan peran sosial. Kartini 4.0 adalah perempuan yang tidak sekadar ikut tren, tetapi kritis terhadap sistem yang membentuknya. Di balik kemudahan mengekspresikan diri di media sosial, perempuan menyadari bahwa platform digital tidak sepenuhnya netral. Mereka harus peka terhadap bagaimana perempuan diposisikan dalam ruang digital yang sering kali sebagai objek visual, bukan subjek yang berpikir. Contoh Awkarin, salah satu content creator terkenal di Indonesia, sempat menuai kontroversi karena gaya hidup glamor dan ekspresi bebasnya. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ia mengubah citra dan mulai menggunakan platform-nya untuk isu-isu sosial: dari advokasi kesehatan mental, bantuan bencana alam, hingga membuka lowongan kerja untuk tim produksi yang ramah gender.Sikap ini mencerminkan bagaimana seorang content creator bisa mengubah cara berpikir publik, dari sekadar konsumsi visual menjadi refleksi kritis.

Selain itu, Kartini 4.0 tidak hanya kritis, tetapi juga kreatif dalam membangun narasi tandingan. Kreator perempuan berdaya menciptakan konten yang memperlihatkan sisi lain: edukasi, inspirasi, dan transformasi. Mereka menulis buku, membuat podcast, mengadakan webinar, dan membuat konten serial edukatif di TikTok, Instagram, facebook, thread atau YouTube. Contoh Nadira Azzahra, content creator asal Makassar, secara konsisten membahas tentang kesehatan reproduksi, menstruasi, dan seksualitas perempuan dengan cara yang ringan dan edukatif di TikTok. Kontennya menjadi jembatan informasi yang selama ini tabu, khususnya bagi perempuan muda di daerah.

Secara kolektif dalam konteks lokal Makassar, muncul berbagai komunitas perempuan kreatif yang patut diapresiasi, seperti forum kreator lokal, kelas literasi digital, dan gerakan kampus yang mengangkat isu KBGO. Juga ada Komunitas seperti Perempuan Berkisah Sulsel, Komunitas Bersuara, dan beberapa kreator lokal yang menggunakan platform mereka untuk mengangkat isu-isu perempuan Sulsel: dari pernikahan anak, akses pendidikan, hingga kesehatan reproduksi di daerah pinggiran. Namun sinergi dengan pemerintah daerah, media, dan institusi pendidikan masih perlu ditingkatkan agar gerakan ini tidak hanya sesaat.

Penutup : Kartini Ada Di Sekitar Kita

Kartini tidak lagi berselendang dan berkebaya, tapi mungkin mengenakan hoodie sambil mengetik naskah konten, menyusun video edukasi, atau menyuarakan keadilan gender lewat Twitter, Instagram, Facebook, thread, TikTok dan youtube. Mereka adalah Kartini 4.0 yang kritis terhadap struktur yang menindas, kreatif dalam menyampaikan pesan, dan kolektif dalam memperjuangkan ruang aman. Kartini modern bukan hanya mereka yang viral. Kartini adalah perempuan yang berani berbicara di ruang keluarga, mengadvokasi teman yang jadi korban pelecehan, atau mengedukasi satu orang lewat satu konten kecil. Satu suara bisa menyulut ribuan perubahan.

Hari Kartini seharusnya menjadi pengingat bahwa ruang digital yang tampak bebas sebenarnya juga penuh jebakan. Ruang digital harus diupayakan agar menjadi ruang aman dan setara. Tanpa itu, “pemberdayaan” hanya akan jadi topeng dari “eksploitasi” baru yang membungkus tekanan lama dalam bentuk baru: lebih canggih, lebih halus, tapi tetap menindas.

Selamat Hari Kartini. Perjuangan belum selesai, tapi semakin banyak yang ikut serta. (*)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN