Perempuan Mendobrak Bias Rumah Suci : Pengalaman Indah di Wuppertal, Jerman

Oleh Musdah Mulia

SUDAH lebih sepuluh kali ke Jerman dan sudah dua kali ke Wuppertal, namun pengalaman tahun 2017 lalu sungguh berkesan. Saya diundang menghadiri konferensi internasional tentang perdamaian bertema : ”Peace among the People : Interreligious Action for Peace and Inclusive Communities” di Wuppertal, Jerman, diadakan oleh United Evangelical Mission (UEM). Lokasi kegiatan di gedung UEM, berada di atas bukit, dikenal dengan nama The Holy Mount. Acara utama berlangsung tiga hari, 14-17 Juli 2017.


    
Panel pertama, saya tampil sebagai salah satu pembicara. Peserta konferensi lebih dari 100 orang mewakili beragam agama dan berasal dari berbagai belahan dunia. Dari Indonesia hadir tokoh-tokoh Kristen, Islam, Hindu dan Budha. Saya kali ini merasa gembira sekali karena semua pemuka agama yang hadir mewakili Indonesia adalah sahabat seperjuangan, jadi kami seperti reunian di sini.

Sebelum acara konferensi, kami para peserta dari berbagai agama dan kepercayaan diajak berkunjung ke rumah suci tiga agama Abrahamik, Yahudi, Kristen dan Islam yang berlokasi di wilayah itu. Rupanya kunjungan ini merupakan prolog konferensi.     Acara ini patut ditiru agar memberikan perspektif baru sehingga kami para peserta memiliki pengalaman langsung melihat realitas sosiologis agama pada masyarakat Jerman.

Perempuan Pemimpin Rumah Suci
    
Dalam semua agama, khususnya agama Abrahamik, rumah suci atau tempat ibadah sering tampil dalam wajah yang tidak bersahabat dengan perempuan. Masjid misalnya, kebanyakan tidak memberikan tempat yang nyaman bagi perempuan. Beberapa kali dalam perjalanan ke berbagai kota, saya mampir ke masjid untuk salat, umumnya tempat yang disediakan bagi jamaah perempuan berada di bagian paling belakang, lembab dan basah karena dekat area wudu. Biasanya ditutupi penyekat sehingga para perempuan tak dapat melihat wajah imam atau penceramah di mimbar masjid. Saya sering marah melihat perlakuan masyarakat yang diskriminatif terhadap permpuan, bukankah para perempuan itu juga penganut agama, bahkan sebagian mereka sangat loyal, lebih taat dari para lelaki ?
    
Pengalaman pahit lainnya, ketika saya mampir di sebuah masjid kampus di Yogya, ya Allah, tempat salat bagi perempuan berada di lantai dua, tanpa lift, Hanya ada tangga yang agak curam. Padahal, waktu itu lutut saya sedang bermasalah, nyeri dipakai naik tangga. Saya sudah coba mengiba kepada pengurus masjid agar diizinkan salat di lantai bawah, tapi dengan ketus dia menjawab, perempuan tempatnya di atas. Begitulah, akhirnya dengan tertatih-tatih saya merangkak ke atas. Demikian pula ketika turun lebih tersiksa lagi. Hati saya menjerit, mengapa masjid ini sangat tidak manusiawi! Lalu, bagaimana dengan para perempuan yang sering mengalami sakit lutut ? Umumnya perempuan mengalami problem dengan sakit lutut ketika sudah berumur, ada kaitan dengan menurunnya kesehatan reproduksi mereka.
    
Pernah juga saya mampir salat di sebuah masjid di daerah Banten, wilayah yang dikenal sangat religius. Saya terbelalak melihat tempat salat bagi perempuan, berada di emperan masjid, panas, pengap dan bising karena berada di pinggir jalan ramai. Tempat wudunya pun sangat sempit. Saya mencoba masuk ke ruang utama masjid, meski beberapa mata lelaki melotot melihat saya, ternyata tempat para lelaki sangat luas, dingin karena pakai AC dan tempat wuhunya pun banyak.
    
Kira-kira apa yang ada dalam benak orang-orang yang membangun dan mengelola masjid tersebut ? Apakah mereka masih pantas disebut orang-orang beriman yang punya nurani dan empati kemanusiaan ? Tidak salah jika disimpulkan, perempuan adalah kelompok paling bersahabat dengan agama, meski agama seringkali tidak ramah terhadap perempuan.
    
Saya juga pernah diundang diskusi di sebuah masjid di daerah Jakarta Utara. Sebelum berangkat, panitia menelpon dan menjelaskan sebagai berikut: “Karena acara ini berlangsung di masjid, mohon maaf jika tempat duduk Ibu nanti berada di bagian belakang, hanya pembicara laki-laki boleh duduk dekat mimbar di bagian depan”. Saya langsung protes, saya tidak mau diperlakukan diskriminatif, silakan cari pembicara lain! Beberapa menit kemudian, panitia menelpon ulang dan setuju saya duduk di depan bersama pembicara lelaki. Saya pikir, hal-hal kecil begini tak boleh dibiarkan, kita mesti berani protes terhadap semua bentuk perlakuan diskriminatif, sekecil apa pun !
    
Tentu tidak semua masjid mendiskriminasikan perempuan. Saya beberapa kali menjumpai masjid yang menempatkan jamaah perempuan di ruangan utama masjid, bukan di bagian belakang atau di emperan masjid. Tempat perempuan sejajar dengan laki-laki, hanya diberikan sekat kain tipis. Bahkan, Masjid Istiqlal Jakarta, sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara, pada masa Megawati Sukarno sebagai Presiden RI, jamaah perempuan ditempatkan di bagian utama masjid, letaknya sejajar dengan jemaah laki-laki. Jika ada upacara keagamaan, seperti Maulid, ibu Mega bisa salat dan duduk di bagian saf paling depan sejajar dengan para lelaki.
    
Hal seperti ini bisa dilakukan di semua masjid, tinggal bagaimana mengubah “mind set” para pengelolanya. Tidak sulit membagi dua bagian ruang utama masjid, tinggal sekat dengan kain atau semacamnya, sebelah kanan buat perempuan, di sebelah kiri buat lelaki, apa masalahnya ?
    
Namun, pengalaman saya mengunjungi tiga rumah suci di Wuppertal, Jerman, mengubah gambaran “miring” tentang rumah suci. Aktivitas penuh perempuan dalam gerakan keagamaan, terutama dalam program dialog agama menjadikan rumah ibadah yang biasanya sangat eksklusif menjadi rumah suci yang inklusif, ramah terhadap semua golongan dan fungsional bagi upaya-upaya kemanusiaan. Perempuan justru lebih mengkedepankan tujuan hakiki semua agama, yaitu memanusiakan manusia. Agama harus menjadikan umat manusia menjadi lebih damai, sejahtera, dan bahagia, bukan sebaliknya.
    
Rumah suci pertama yang kami kunjungi adalah sebuah Sinagog di HaKochaw, Unna. Berbeda dengan rumah ibadah Yahudi lainnya, Sinagog ini dipimpin oleh perempuan bernama Dr. Alexandra Khariakova, asal Ukraina, dulu negara bagian Uni Soviet. Selain itu, ritual keagamaan di sini dipimpin oleh beberapa orang Rabbi (istilah pemimpin agama dalam Yahudi), dua di antaranya adalah perempuan. Ini pertama kali saya bertemu Rabbi perempuan. Keduanya bernama Natalia Verzhbovska dan Irith Michelson. Menurut mereka, di seluruh Jerman telah ada tujuh perempuan ditahbiskan menjadi Rabbi Yahudi. Sebuah progres yang masih harus diperjuangkan oleh komunitas Yahudi di tempat lain, termasuk di tanah kelahiran Yahudi sendiri, Palestina. Perjuangan para perempuan menjadi Rabbi sangat panjang berliku dan penuh bahaya, tapi tidak mustahil kan ?
    
Tentu saja keberadaan Rabbi perempuan dalam Sinagog bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil sebuah jihad dan perjuangan penuh komitmen. Para perempuan Yahudi, seperti halnya perempuan dalam agama semitik atau Abrahamik, Islam, dan Nasrani, mereka mengalami perlakuan diskriminatif dari Sinagog. Pantaslah mereka bertekad mendirikan Sinagog sendiri yang inklusif, melayani semua manusia, bukan hanya kalangan Yahudi, mengkedepankan nilai-nilai persamaan, keterbukaan dan aktif melakukan dialog agama demi membangun perdamaian. Saya memerhatikan para Rabbi perempuan itu terlihat sangat energik, wawasannya luas dan sikapnya sangat toleran. Saya bangga bertemu mereka, dan berharap akan muncul lebih banyak lagi Rabbi perempuan di masa depan agar agama semitik ini menjadi lebih berkarakter feminin dan lebih mengutamakan perdamaian.
    
Di samping Sinagog tersebut terdapat monumen Stumbling Stones, sebuah tempat penyelamatan orang-orang Yahudi yang mengingatkan kita pada kekejaman Nazi terhadap kaum Yahudi selama Perang Dunia. Monumen itu mengingatkan kita terhadap kekejaman Yahudi di Auschwitz, Polandia. Menarik dicatat, di Jerman semua perilaku kekejaman Nazi didokumentasikan dengan baik agar menjadi peringatan bagi generasi mendatang agar tidak melakukan kesalahan yang sama. “Never again!” (tidak pernah lagi), bunyi tulisan di berbagai monumen kekejaman Nazi.
    
Monumen Stumbling Stones kini berubah menjadi tempat penampungan para lansia. Orang-orang jompo dari berbagai agama di Jerman dirawat dan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi di tempat ini. Rumah masa depan buat para manula, demikian komentar kami semua.
    
Setelah Sinagog, kami melanjutkan kunjungan ke Petershof, sebuah gereja Roman Katholik di Duisburg Marxloh. Seperti Sinagog tadi, gereja ini juga dipimpin oleh perempuan, Suster Ursula. Gereja ini pun sangat terbuka melayani sesama manusia tanpa sekat agama dan etnis, khususnya kelompok rentan, termasuk para pengungsi dan pencari kerja dari luar Jerman. Berbeda dengan gereja pada umumnya, aktivitas kemanusiaan gereja ini lebih menonjol, seperti kegiatan konseling, pembagian makanan, kursus ketrampilan, konsultasi kerja, dan layanan kesehatan. Berbagai kegiatan dialog agama diselenggarakan dalam gereja ini untuk memelihara keharmonisan dan perdamaian di antara sesama warga yang sangat hetrogen di wilayah itu. Masuk ke gereja ini serasa masuk ke dalam rumah sendiri, kami semua mendapatkan pelukan hangat dari para pemimpin gereja yang kebanyakannya adalah perempuan, sebuah pengalaman indah yang tak akan terlupakan sepanjang hayat.
    
Terakhir, kunjungan ke rumah suci umat Islam di wilayah Marxloh, bernama Merkez-Mosque, sebuah masjid terbesar yang dikelola oleh para pendatang asal Turki, lokasinya berdekatan dengan Gereja Petershof. Menarik dicatat, wilayah Marxloh ini dihuni 70% penduduk non-Jerman. Umumnya berasal dari Turki dan negara-negara Balkan (bekas Uni Soviet). Keunikan mesjid ini lagi-lagi karena dipimpin oleh perempuan, bernama Asma Pinar. Dia dibantu oleh sejumlah tenaga voluntir yang terdiri atas kaum muda, laki-laki dan perempuan. Mereka semua terlihat ramah dan santun. Seperti halnya dua rumah suci terdahulu, sinagog dan gereja, mesjid ini pun mengkedepankan karakter feminin, sangat terbuka dengan aktivitas “interfaith dialogue” yang menjadi basis gerakan perdamaian.
    
Kalau di masjid lain sulit menerima kunjungan non-Muslim, di sini semua orang diterima dengan ramah dan kapan pun mereka dapat masuk ke dalam masjid. Bahkan, para perempuan tidak harus berkerudung untuk dapat beraktivitas di dalamnya. Seperti halnya Sinagog dan Gereja tadi, masjid ini pun bukan diperuntukkan hanya untuk kegiatan ritual, seperti shalat, melainkan juga berbagai aktivitas sosial lain, seperti kegiatan pendidikan, layanan kesehatan, konseling dan pembagian makanan pada hari-hari tertentu.
    
Saya sangat setuju bahwa rumah suci jangan hanya dijadikan tempat ibadah ritual, sungguh mubazir! Mengapa ?, karena acara ritual tidak membutuhkan waktu lama. Sebaiknya, sebagian besar waktu di rumah suci dimanfaatkan untuk aktivitas kemanusiaan yang juga merupakan ajaran inti agama. Di antaranya, layanan kesehatan, kegiatan konseling, bantuan sosial, donor darah, bimbingan perkawinan, pendidikan bagi orang tua (parenting education), pendidikan anak-anak, dan sejumlah kegiatan advokasi HAM, khususnya bagi kelompok minoritas tertindas (yang dalam Islam disebut mustadh’afin), termasuk korban KDRT.
    
Kunjungan pada tiga rumah suci dalam agama Abrahamik tersebut menyimpulkan, perempuan dapat menjadi pemimpin rumah suci yang sukses, sekaligus aktor utama dalam gerakan keagamaan. Persepsi bahwa agama harus bersifat maskulin, sudah perlu dipikirkan ulang. Ada kesan yang kuat bahwa sebagai pemimpin rumah suci, perempuan lebih mengkedepankan sifat-sifat feminin mereka yang membuat suasana dan aktifivitas keagamaan terasa lebih sejuk, lebih damai, dan lebih menyentuh rasa kemanusiaan. Hakikat agama untuk memanusiakan manusia lebih terlihat dalam aktivitas rumah suci tersebut.
    
Para perempuan dengan sifat keibuan yang penuh welas-asih dan kasih-sayang menjadikan aktivitas dialog agama berjalan harmoni penuh kedamaian. Semua sekat perbedaan di antara penganut agama hilang melebur dalam satu komitmen suci agama, yakni menghormati sesama manusia sebagai bentuk penghormatan terhadap Sang Khalik, Pencipta semua manusia. Pendekatan feminin dalam kehidupan keagamaan mampu mengubah wajah maskulin agama sehingga terlihat lebih lembut dan penuh kasih sayang, wajah rumah sucipun tidak lagi kaku, sangar seperti biasanya, melainkan penuh aroma suka cita dan membahagiakan.
    
Tradisi agama yang beragam penuh toleransi sudah membudaya di kota Wuppertal. Di kota ini malah ada bagian kota yang berdiri karena komunitas sebuah agama mulai menghuni kawasan itu dan mengajak penganut agama lain untuk hidup bersama. Hidup berdampingan antar agama punya tradisi panjang. Jadi tidak sulit menemukan lahan untuk pekuburan Islam, di antara pekuburan Yahudi dan Kristen. Saya melewati sebuah kompleks pekuburan, meski pekuburan penganut agama terpisah oleh pagar namun pintu masuknya hanya satu. Ini adalah tanda kerukunan beragama di kota Wuppertal. Semua agama hidup dengan saling menghormati tradisi agama lain.
    
Bagi saya, pesan penting konferensi ini adalah damai bukan semata berarti ketiadaan perang atau tiadanya kekerasan fisik, tetapi juga menghilangkan semua kondisi yang potensial memicu kekerasan, seperti ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan intoleransi. Karena itu, damai haruslah dibangun dan diperjuangkan oleh semua elemen dalam masyarakat tanpa kecuali.
    
Dalam konferensi ini saya bertemu dan kemudian menjadi akrab dengan dua pemuka agama yang sangat gigih mengampanyekan toleransi dan pluralisme. Pertama, seorang pastor bernama Dr. Ven Madampagama berasal dari Srilanka, acapkali mengalami teror dan percobaan pembunuhan oleh kelompok radikal Hindu di Srilanka. Kedua, Syekh Fadhil Suleiman Soraga, ulama asal Tanzania. Wajah beliau rusak parah akibat pernah disiram air keras oleh kelompok radikal Islam. Namun, beliau bangga mempunyai wajah rusak sebagai tanda pengingat agar tidak berperilaku biadab seperti kelompok radikalisme Islam yang melakukan kebiadaban itu terhadapnya. Saya merasa amat kerdil di hadapan keduanya, yang begitu banyak berkorban untuk perdamaian agama-agama.
    
Damai yang menjadi tujuan semua agama adalah serangkaian nilai, sikap, moda perilaku dan pandangan hidup yang menghormati hak asasi manusia dan mempromosikan kesetaraan serta menolak semua bentuk kekerasan, termasuk di lingkungan rumah tangga. Karena itu, budaya damai mengusung prinsip keadilan, kesetaraan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kooperasi dan pluralisme. Para perempuan yang memimpin rumah suci dari ketiga agama Abrahamik tersebut menunjukkan kemampuannya untuk mengedepankan damai dalam agama.
    
Akhirnya, saya berkesimpulan, dalam aktivitas agama sangat perlu ditumbuhkan sebuah prinsip saling menghargai, saling menghormati dan saling melindungi. Prinsip itulah yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta Indonesia. Prinsip menghargai kemajemukan dan kebhinnekaan merupakan landasan penting bangunan demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Prinsip itulah yang diterapkan oleh para pendiri bangsa ini ketika merumuskan ideologi negara, Pancasila. (Penulis adalah Profesor Riset I Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – LIPI, tinggal di Jakarta)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN