Oleh M. Dahlan Abubakar
MENARIK dicatat tentang kisah sanksi yang dijatuhkan Komdis PSSI terhadap Yuran Fernandes, pemain PSM. Salah seorang wartawan Portugal yang menelepon pelatih PSM Bernardo Tavares mengungkapkan, sanksi kepada Yuran itu sangat lucu lantaran seorang pemain mengkritik melalui media sosial. Di Eropa tidak dikenal sanksi terhadap seorang pemain gara-gara mengunggah kritikannya di media sosial. Seorang pemain diberi sanksi jika melakukan kesalahan di lapangan.
Membaca berita ini, tiba-tiba saya teringat wawancara dengan Ahmad Karim, wasit FIFA pertama yang berasal dari Sulawesi Selatan. Wawancara yang berlangsung di kediamannya 19 April 2013 suatu sore sebenarnya berkaitan dengan penulisan biografinya yang hingga kini belum juga diterbitkan lantaran belum ada sponsor. Wawancara pertama dilakukan dua tahun sebelumnya untuk kepentingan penulisan buku “Ramang Macan Bola”.
Setiap pertandingan olahraga mutlak harus selalu ada pengadil atau wasit. Sulit dibayangkan kalau satu pertandingan, apalagi sepak bola, digelar tanpa wasit. Jangankan tanpa wasit, ada wasit saja, para pemain yang berlaga kerap saja kacau. Bahkan ujung-ujungnya adu tinju di tengah lapangan.
Bagi Ahmad Karim, untuk membuat bobot pertandingan antara suka dan dukanya, merupakan hal yang sangat relatif. Tetapi yang jelas, aspek sukanya ada. Demikian pun dukanya. Kedua aspek ini munculnya bersifat momentum dan situasional. Juga bersifat individual. Dia memberikan contoh pengalaman salah seorang temannya, wasit FIFA juga, asal Sulawesi Selatan, Syamsuddin Haddade.
Suatu waktu, Syamsuddin Haddade, memimpin pertandingan PSM berhadapan dengan Persebaya dalam Turnamen Piala Jusuf (Jusuf Cup) 1972. Waktu itu yang berdiri di bawah mistar PSM adalah Harry Tjong, kiper PSM yang jika menangkap bola melayang bagaikan harimau yang menerkam musuhnya.
“Saya ketika itu menjadi inspektur pertandingan. Tiba-tiba saja Syamsuddin Haddade menghadiahkan Surabaya dengan tendangan penalti di daerah PSM. Ya, tentu saja PSM pun kalah, padahal kedudukan sebelumnya masih imbang tanpa gol,” kenang Ahmad Karim.
Kekalahan PSM ini pun membuat H.M.Dg Patompo -- Wali Kota Ujungpandang merangkap Ketua Umum PSM -- naik pitam. Marah. Sehari kemudian, akibat kejadian itu, sampai-sampai Patompo mengirim karangan bunga duka cita, karena menganggap Syamsuddin Haddade sudah meninggal dunia atas ulahnya itu.
Setelah selesai pertandingan, Syamsuddin Haddade terus dikerumuni penonton yang marah atas kekalahan tim kebanggaannya. “Saya pegang lehernya Syamsuddin Haddade sambil meminta semuanya ‘minggir’. Sahabat itu pun saya bawa lari masuk ke ruang wasit,” kata Ahmad Karim.
Di belakang hari, Ahmad Karim bercerita dengan Syamsuddin Haddade.
‘’Saya bilang, Jujur ko, kenapa sampai peristiwa itu terjadi?,’’ tanya Ahmad Karim.
"Saya betul-betul khilaf. Waktu itu, saya mau berpihak pada PSM,’’ katanya.
Dia mau berpihak-pihak sedikit pada PSM. PSM pada babak pertama, berdiri di sebelah utara, pada babak kedua tentu sudah berpindah ke sebelah selatan. Dia kira PSM masih di sebelah utara. Pelanggaran di depan gawangnya, tahu-tahu Surabaya yang menembak.
Jadi, kalau dalam memimpin pertandingan, jangan pernah ada sedikit pun dalam hati mau berpihak kepada suatu kesebelasan. Sebab, secara tidak sadar bisa terjadi. Dalam kasus itu, mestinya dia mau menguntungkan PSM, ternyata justru pelanggaran terjadi merugikan PSM.
Itulah termasuk aspek individual yang kadang-kadang muncul pada diri seorang wasit. Sebab, pertandingan sepak bola adalah pertarungan dua pihak untuk memperebutkan kemenangan. Wasit berada di tengah-tengah untuk menegakkan aturan.
Tidak (sering) jarang terjadi, pihak yang kalah menuding wasit kurang becus. Tudingan seperti itu mungkin juga ada yang benar. Tetapi, tidak berarti bahwa setiap kali ada pihak yang kalah, penyebabnya selalu wasit jadi sasaran tumpahan kesalahan. Karena tidak becusnya sang wasit.
Ahmad Karim masih ingat satu peristiwa yang terkait dengan rasa tidak puas penonton dan penggemar suatu kesebelasan terhadap kepemimpinan seorang wasit, meskipun mungkin dia sudah memimpin jalannya pertandingan dengan baik.
Suatu ketika kesebelasan Pasuruan bertandang ke Maros. Salah seorang pemainnya adalah Risdianto yang juga pernah memperkuat kesebelasan nasional. Waktu itu pertandingan antarwilayah, Pasuruan akan melawan Persim Maros.
‘’Ku balukangngi jambatannga puna nu beta (Saya jual itu jembatan kalau timku (Persim) kalah,’’ kata orang-orang Maros.
Kebetulan yang memimpin pertandingan ketika itu adalah Van Loy, seorang wasit berkebangsaan Belanda. Kalau tidak salah pertandingan tersebut berlangsung antara tahun 1966 atau1967.
Maros kalah akibat serangan balik Pasuruan. Tiba-tiba ada seorang pemain Pasuruan melaju sendiri. Itu dianggap offside (oleh penonton), padahal memang belum karena masih di daerah lapangannya. Persim kebobolan 0-1.
Eeee.. gawat.. Itu jembatan Maros (yang lama) ditutup oleh rakyat. Orang tidak bisa pulang. Tim Pasuruan terkurung di sebelah jembatan. Nanti pukul 22.00 baru dilepas, setelah panser dari Makassar segera campur tangan. Itu gara-gara Van Loy.
Menurut Ahmad Karim, belum ditemukan suatu cara untuk melaksanakan suatu pertandingan tanpa kehadiran dan peran seorang wasit di lapangan hijau. Namun kehadiran dan peran itu bukan hanya sekadar ada, melainkan diperlukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran tertentu dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sebagai wasit. Bahkan lebih spesifik lagi, ukuran-ukuran itu melekat pada seseorang sebagai corak kepribadian.
Ragu-ragu, tidak tegas, kurang percaya diri, kurang tegar, bahkan penakut, merupakan sifat-sifat yang menjadi titik lemah bagi seorang wasit. Bagi seorang wasit, betapa pun mahirnya pemahaman atas aturan-aturan permainan, kalau sifat-sifat itu ada pada dirinya, akan sangat sulit bagi dia melakukan tugas memimpin pertandingan.
Godaan yang dihadapi wasit selalu saja ada. Baik langsung atau pun tidak langsung. Sering juga dalam bentuk candaan dan main-main. Ahmad Karim masih ingat ketika berhadapan dengan Wali Kota Makassar yang sangat fenomenal, H.M. Dg. Patompo. Suatu saat bertemu, dia berkata.
‘’Pak Karim, sudah banyak wasit saya lihat, namun belum ada saya (maksudnya, wasit lain setegas saya memimpin, maksudnya) punya. Tetapi kalau Bapak memimpin, begini,’’ kata Patompo sambil memperlihatkan jempolnya.
‘’Cuma ada kelemahannya,’’ kata Patompo itu.
‘’Apa itu?,’’ potong Ahmad Karim bertanya balik.
"Kalau kesebelasan kita, ambil-ambilkan tooooo… mi….!!,’’ balas Patompo.
‘’Tidak bisa ka.. tidak bisa ka…,’’ jawab Ahmad Karim.
‘’Itu seperti waktu PSM melawan Jayapura. Itu Jayapura orang lain. Jangan mako Jayapura,’’ sergah Patompo.
Seperti yang Ahmad Karim rasakan secara pribadi selama melakoni tugas sebagai wasit aman adalah ketika memimpin pertandingan dan meniup pluit panjang tanda pertandingan usai 2 x 45 menit atau ada perpanjangan dan tidak ada kemelut apa pun. (*)