Obituari Verdy Rahman Baso : Sosok Sastrawan, Penyanyi, dan Wartawan

Oleh : M. Dahlan Abubakar

SEKEMBALI dari masjid menunaikan salat magrib, saya membaca WA di Grup “Pedoman Rakyat” (PR) tertulis berita duka. Wartawan senior Sulawesi Selatan Verdy Rahman (R) Baso berpulang ke rakhmatullah, magrib, Jumat (2/5/2025). Rumah duka di Jl.Tidung Perumnas Tamalate, Makassar. Almarhum sudah lama menderita sakit dan setiap hari ulang tahun PR, Pak Verdy yang menjalani usia 88 tahun kerap diziarahi.

Dalam percakapan dengan saya lima belas tahun silam, Pak Verdy mengisahkan ABC perjalanannya menjadi wartawan. Sekitar Agustus 1959, Pak Verdy membaca satu iklan lowongan kerja pada sebuah surat kabar harian terkemuka di Makassar, Marhaen. Iklan itu menawarkan jatah kerja untuk dua orang wartawan dan seorang tenaga administrasi. Syaratnya, berijazah SMA dan memiliki pengalaman jurnalistik minimal dua tahun untuk kategori wartawan.

‘’Kata teman-teman, saya sebenarnya cocok jadi wartawan, karena sering menulis cerpen di majalah yang terbit di Jakarta,’’ kenang Pak Verdy puluhan tahun kemudian (2010) kepada saya.

Pria kelahiran Bantaeng 14 Maret 1937 ini memang sudah sering menulis cerita pendek di Majalah Roman dan Mesra yang dikelola oleh kelompok mahasiswa.

‘’Berita itu kan cerita dari sebuah peristiwa,’’ kata mereka memberi semangat kepada Verdy.

Mungkin mereka benar, tetapi Verdy hanya berbekal ijazah SMA saja. Pengalaman jurnalistik yang jadi syarat – sesuai bunyi iklan – masih nol besar. Namun tuntutan untuk bekerja sulit dikendalikan. Apalagi, Verdy baru saja dua bulan mengakhiri masa lajangnya. Jadi harus bekerja untuk menghidupi pasangannya. Dia akhirnya memutuskan melamar posisi sebagai tenaga administrasi.

‘’Syaratnya lebih ringan, minimal berijazah SMP dan ijazah mengetik sistem sepuluh jari,’’ guman Verdy.

Soal ijazah mengetik, Verdy memilikinya dua kategori, A dan B.

Bahkan, dalam urusan mengetik, dia bisa lakukan tanpa menengok tuts mesin ketik. Ia pernah mendapat pujian dari Pimpinan Balai Kursus Mengetik ‘Mekar’, Sani Saleh dalam urusan yang satu ini. Kecepatan mengetiknya melampaui kemampuan gurunya. Verdy pernah mendapat hadiah sebuah pulpen ‘Parker’, alat tulis termahal waktu itu.

Dua hari setelah mengirim lamaran, seorang lelaki setengah baya, berperawakan tinggi besar dengan potongan rambut “crew cut” datang ke rumah pamannya, tempat Verdy tinggal. Masih di atas sepeda motor Vespa-nya, Verdy menghampirinya.

‘’Saudara Verdy tinggal di mana?,’’ belum sempat Verdy menyapa, dia sudah bertanya lebih dulu.

‘’Tinggal di sini, Pak. Saya orangnya,’’ sahut Verdy cepat.

‘’Selamat, ya,’’ katanya sembari mengulurkan tangan. Ia minta Verdy ke kantor Harian Marhaen di Jl. Elang (kini Jl. H. A. Mappanyukki) pukul 08.00 besok pagi.

Pukul 07.00 pada keesokan hari Verdy sudah menunggu di kantor harian itu sembari mengepit berkas-berkas yang mungkin dibutuhkan. Sekitar pukul 09.00 dia dipanggil menghadap pimpinan umum koran itu. Namanya, Ahmad Siala.
‘’Silakan duduk anak muda,’’ sapanya dengan santun.

Ahmad Siala kemudian bertanya macam-macam. Dia juga menerangkan jenis pekerjaan yang harus Verdy tangani.

‘’Ini berita yang dikirim kantor berita “Antara” lewat kantor telegram. Saudara harus menyempurnakannya dengan mengetiknya kembali, sehingga hasilnya seperti ini,’’ katanya sambil memperlihatkan lembaran kertas telegram dari Koran Marhaen yang memuat berita itu.

‘’Di telegram ini tanda-tanda baca ditulis dengan huruf,’’ jelasnya, kemudian memberi contoh titik ditulis ‘para’, koma ditulis ‘kma’ .

‘’Yang sulit,’’ imbuhnya lagi, ‘’Jika cuaca buruk. Biasanya berita telegram tidak sempurna, banyak titiknya. Jika menjumpai yang demikian, tanyakan saja,’’ tegasnya.

‘’Baik, Pak,’’ jawab Verdy pendek.
‘’Apakah Saudara siap bekerja mulai hari ini?,’’ tanyanya serius.
‘’Siap, Pak!,’’ sahut Verdy lagi.
‘’Kamu naik apa ke sini?’’
‘’Naik sepeda, Pak!’’
‘’Tahu kantor telegraf?’’.

Sebelum Verdy menjawab, Ahmad Siala menggambar lokasi kantor telegraf di antara kantor polisi dan gereja di Jl. Balai Kota, Makassar.

‘’Ini surat untuk petugas kantor telegraf. Selamat bekerja,’’ ucapnya sambil menyodorkan surat yang menyebutkan bahwa Verdy setiap hari harus menjemput berita-berita Antara untuk Marhaen.

Hari itu, Verdy resmi menjadi karyawan Marhaen. Dia bahkan tersanjung, karena satu ruangan dengan Pemimpin Umum-nya. Sesekali, Verdy melihat Pak Siala, demikian dia akrab disapa, memperhatikan Verdy mengetik. Minggu pertama, Verdy bekerja, rasanya tidak ada hambatan berarti. Hasil ketikannya dibaca dan dipilah-pilah Pak Siala. Dia kemudian menyuruh bawa hasil ketikan itu ke bagian belakang percetakan untuk di-set (maksudnya diketik ulang dengan menggunakan timah).

Suatu hari Verdy tertegun melihat banyak bagian telegram terputus dan berisi titik-titik. Dia mencoba baca ulang dan bisa mereka-reka kata yang terputus-putus itu. Tetapi, dia tidak berani menuliskannya. Akhirnya, Verdy bertanya kepada Pak Siala seperti yang pernah dianjurkannya.

Ternyata penyempurnaannya sama seperti yang Verdy perkirakan.

Sejak saat itu, Verdy tak pernah bertanya lagi jika ada telegram bermasalah. Apalagi dia rajin mendengar warta berita RRI, sehingga hampir semua peristiwa nasional dan internasional yang penting-penting sudah dia ketahui.

Pria yang senang memelihara ikan ini, mengisahkan, pernyataan politik pemerintah, terutama Presiden Soekarno, selalu menjadi perhatian Pak Siala. Berita-berita seperti itu porsinya di halaman depan.

Suatu pagi, Pak Siala mampir di kantor. ‘’Verdy, saya ke Takalar. Siang baru kembali. Bung Karno akan berpidato di Bandung pagi ini. Kalau sudah disempurnakan, beritanya simpan di meja saya,’’ katanya sembari menyodorkan sebungkus rokok Escort.

Sepeninggal Pak Siala, Verdy memutar radio. Berita Bung Karno di Bandung menguasai siaran. Dengan saksama Verdy ikuti seluruh berita menyangkut sang Pemimpin Besar Revolusi itu.

Berita telegram Antara yang Verdy jemput siang itu memang dimonopoli Bung Karno. Kebetulan telegramnya banyak yang rusak, putus-putus. Mungkin cuaca tidak mendukung. Tetapi, tidak sulit menyempurnakannya. Verdy sudah mengetahuinya lebih dulu setelah mendengar melalui radio.

Begitu Pak Siala tiba di kantor siang itu, perhatian utamanya adalah berita yang Verdy sempurnakan. Beliau serius membacanya sampai habis dua folio. Ia kemudian menoleh ke Verdy.
‘’Mana kawatnya?,’’ tanya Pak Siala.
Verdy bangkit dari kursi dan membawakan telegram Antara. Pak Siala membacanya berulang-ulang.

‘’Duduk,’’ kata Pak Siala.
Verdy duduk. Hatinya galau. Pasti ada yang tidak beres dengan berita yang sudah dia buat.

‘’Apakah saya membuat kesalahan’’ guman Verdy gelisah.
‘’Siapa yang bantu Verdy menyempurnakan kawat rusak ini?,’’ tanya dia dengan serius. Retinanya memandang tajam.
‘’Tidak ada, Pak. Kebetulan saya dengar siaran RRI tadi,’’ jawab Verdy dengan suara rendah.

Pak Siala menatap Verdy lagi. Lalu, bersandar di kursi putarnya. Tiba-tiba ia mengeluarkan kalimat yang membuat Verdy terpana.

‘’Verdy, mau jadi wartawan?’’
Verdy tak mampu segera menjawab. Batinnya mencoba menyaring makna pertanyaan itu. Apakah benar atau serius. Verdy seperti tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Masa sih, orang yang hanya punya pengetahuan jurnalistik nol besar ditawari menjadi wartawan? Apakah Pak Siala tidak keliru dan tidak salah pilih?

‘’Apakah saya dianggap sok tahu, atau memang saya akan diarahkan jadi wartawan,’’ Verdy membatin.
Dia hanya mampu tersenyum kecut dan tak kuasa menatap wajah Pak Siala.
‘’Panggil Tandak,’’ kata Pak Siala memecah suasana sepi sambil menyodorkan dua bungkus rokok Escort lagi.

Tandak yang dimaksud adalah karyawan yang khusus mengantar naskah siap-muat untuk di-set di percetakan. Verdy memanggil dia untuk menghadap pimpinan.

Tiga bulan setelah bertugas menyempurnakan berita-berita Antara, Pak Siala memanggil Verdy lagi.

‘’Verdy, hari ini masa percobaanmu sudah habis. Kamu akan saya arahkan jadi wartawan. Panggil Dg Ngunjung,’’ katanya tegas.

Yang dimaksud dengan Dg Ngunjung adalah Pak Jubhar Bachtiar, wartawan senior Marhaen yang tiga bulan sebelumnya memanggil Verdy untuk menghadap Pimpinan Marhaen.

‘’Dg Ngunjung, mulai hari ini bawa Saudara Verdy mencari berita. Arahkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan sumber berita. Bagaimana mencatatnya. Dan, bagaimana membuat beritanya,’’ titah Pak Siala.

Begitulah, mulai hari itu, Desember 1959, Verdy lupa tanggal pastinya, dia dibawa Yubhar Bachtiar naik Vespa. Keliling kota Makassar menjumpai sumber-sumber berita. Pak Jubhar Bachtiar belum memperkenankan Verdy membuat berita. Tetapi, diharuskan membaca suratkabar yang memuat berita yang dia buat.
Seminggu kemudian, Pak Siala memanggil Verdy lagi.

‘’Hari ini Saudara coba membuat berita hasil liputan bersama Pak Jubhar dan serahkan kepada saya,’’ pintanya.

Lantaran pertama kali membuat berita, Verdy agak ragu. Dia ingat kata-kata teman yang sebelum bergabung dengan Marhaen bahwa berita itu adalah kisah atau cerita sebuah peristiwa. Verdy merangkai kata-kata yang dicatatnya dalam wawancara dengan sumber berita dengan gayanya sendiri. Setelah selesai, dia serahkan kepada pimpinan.

‘’Ambil naskah berita Pak Jubhar di belakang,’’ perintah Pak Siala.
Setelah membaca berita yang dibuat Jubhar Bachtiar, Pak Siala menjabat tangan Verdy erat-erat.

‘’Kau resmi jadi wartawan hari ini,’’ ujarnya sambil menyodorkan berita yang dibuat Verdy untuk di-set di percetakan. Berita yang dibuat Jubhar Bachtiar ditarik.

Itulah lika-liku awal kisah perjalanan Verdy Rahman Baso menjadi wartawan. Dia menjadi wartawan Marhaen hingga tahun 1966, karena pindah ke Suratkabar Warta Nasional. Di koran ini pun, Verdy hanya bertahan dua tahun. Sebab, setelah itu dia pindah ke Harian Tegas. Ketika di harian ini, dia sempat dipercayakan meliput kejuaraan sepak bola internasional Pesta Sukan di Singapura pada tahun 1971.

Hanya enam tahun di Harian Tegas, tahun 1974 Verdy bergabung dengan harian Pedoman Rakyat. Selama di harian ini, Verdy dipercayakan menangani Desk Olahraga. Maka tak heran kalau dia sering terbang ke luar negeri. Misalnya, meliput Pesta Olahraga Negara-negara Asia Tenggara (SEA Games), mulai di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Singapura.
Ketika perebutan Piala Thomas dan Piala Uber dilaksanakan di Jakarta dan Kuala Lumpur, Verdy termasuk salah seorang yang diutus meliput. Pada tahun 1990, dia meliput Pesta Olahraga Asia (Asian Games) di Beijing, China.

Selain meliput kegiatan olahraga, Verdy secara terpisah bersama beberapa teman wartawan PR lainnya melakukan lawatan jurnalistik ke Singapura, Bangkok, Hong Kong, Taipei, dan Guangzhou (China).
Sedangkan lawatan jurnalistik di dalam negeri antara lain ke Kalimantan Timur atas kerja sama PWI-Deppen-Pemda Kaltim. Kegiatan olahraga nasional juga pernah diliputnya, seperti PON di Surabaya dan Jakarta, Pekan Olahraga Mahasiswa di Palembang.

Kalau urusan seminar dan lokakarya, juga sering dia ikuti. Misalnya, Penataran Nasional Wartawan Olahraga (SIWO PWI) di Jakarta, Bandung, Malang, Bali atas kerja sama KONI-PWI. Lalu mengikuti seminar nasional yang diselenggarakan PWI/Deppen di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Sukabumi.

Dalam berorganisasi, Verdy pernah dipercaya sebagai Ketua Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) PWI Sulsel 1972-1978 dan menjabat Ketua Bidang Organisasi PWI Cabang Sulsel 1988-1992.

Di Pedoman Rakyat, selain menjabat Redaktur Olahraga beberapa lama, Verdy pernah memangku jabatan puncak di media tertua itu sebagai pemimpin redaksi. Sebelum PR tidak terbit lagi, bersama beberapa orang wartawan senior PR yang lainnya dipercaya sebagai redaktur senior.

Wartawan senior Sulsel ini selain wartawan, sebenarnya juga dikenal sebagai sastrawan. Dia pernah menulis sebuah novel sejarah yang sangat memukau pembacanya, berjudul ’’Datu Museng dan Maepa Deapati’’. Kisah cinta sehidup semati pasangan lintas etnis yang menandai hubungan Bugis-Makassar dengan Sumbawa.

Dalam kapasitasnya sebagai penyanyi, Pak Verdy beberapa tahun silam kerap tayang di TVRI Sulsel membawa lagu-lagu daerah dengan grup musiknya. Iramanya keroncong, genre lagu yang tak pernah lekang oleh derasnya aliran lagu-lagu pop dan modern.

Mungkin gara-gara darah sastrawan mengalir di dalam dirinya, banyak pembaca terpesona dengan hasil liputan pertandingan sepak bola yang ditulisnya.

Pembaca seolah-olah ikut hadir di lapangan, menyaksikan pertandingan sepakbola dua kesebelasan melalui berita yang dtulis Pak Verdy. Deskripsi pertandingan betul-betul hidup dan seolah menghadirkan suasana pertandingan bola di lapangan ke rumah-rumah para pembacanya. Kemampuan menulis liputan pertandingan sepak bola secara deskriptif seperti itu, sudah tidak ditemukan lagi sekarang. Dan, salah seorang wartawan yang piawai mengemaskannya, telah tiada.

Selamat jalan senior, semoga mendapat tempat yang layak di alam sana. Amin. (*)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN