Mengenang L.E. Manuhua : ‘Motret’ Kiri-Kanan, Lolos dari Tangkapan Polisi

Catatan M.Dahlan Abubakar

Pengantar :

MEMPERINGATI Hari Pers Nasional (HPN) dan juga meningkahi peluncuran “Pedomanrakyat.co.id” hari Rabu, 9 Februari 2022, redaksi menurunkan catatan kenangan tentang sosok Lazarus Eduard (L.E.) Manuhua.

Sosok yang pernah menerima Bintang Maha Putra Utama dari Pemerintah Republik Indonesia ini tidak dapat dipisahkan dari nama “Pedoman Rakyat” yang pernah diperjuangkan dan dipeliharanya hingga mencapai masa keemasan pada tahun 1970-1990-an.

Dia menjadi salah seorang tokoh pers nasional yang ikut berjasa membangun organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersama sejumlah nama lainnya.

Tulisan ini dikutip dari buku “Abdi Pers L.E. Manuhua 70 Tahun, dari Ambon ke Makassar untuk RI” yang diterbitkan PWI Cabang Sulawesi Selatan pada tahun 1996. (*)

LAZARUS EDUARD MANUHUA nama panjangnya. Tetapi biasa dipanggil Manuhua. Kalangan yang dekat dengannya lebih karib menyapanya dengan Tete.

Tete mengakui, menjadi wartawan secara kebetulan saja. Tidak pernah tebersit sedikit pun dalam cita-citanya ingin menjadi kuli tinta. Awalnya dia bekerja di kantor pemerintah setempat di Ambon, ketika Jepang masuk Indonesia tahun 1943. Tak jelas apa alasannya, dia kemudian dipindahkan ke sebuah kantor Jepang lainnya yang berkedok urusan keberatan rakyat. Hanya enam bulan dia bekerja di kantor itu.

Saat bekerja inilah dia rajin membuat tulisan di media massa. Tulisannya mengenai pemuda dan cenderung memicu semangat nasionalime. Menjelang tutup tahun 1943, dia tercatat sebagai salah seorang wartawan Mingguan “Sinar Matahari”, saat usianya baru 18 tahun.

Kisah awalnya menjadi jurnalis bermula dari sebuah kegelisahan. Kegusaran seorang pemuda terhadap penderitaan rakyat akibat penjajahan. Melawan dengan mengangkat senjata, tidak mungkin dapat dilakukan Tete. Dia pun melawan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pena. Kegelisahan itu pun dituangkannya melalui sebuah tulisan yang dimuat di mingguan “Sinar Matahari”, media tempat dia awal berkiprah.

Ketika Jepang bertekuk lutut atas sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom Agustus 1945, Tete mendirikan suratkabar “Pendidikan Rakyat”. Surat kabar baru ini dikelola manajemen “Sinar Matahari” juga. Media ini kemudian berganti nama menjadi “Masa” pada tahun 1946, mengusung suara Partai Indonesia Merdeka (PIM).

‘’Gerak-gerik’’ media ini ternyata menjadi tatapan perhatian Belanda. Buntutnya, Tete harus berurusan dengan oditur militer Belanda. Pasalnya, tulisannya di media itu yang menyorot korupsi bahan makanan membuat Belanda gerah. Sebenarnya, pemimpin redaksi “Masa” yang akan diperiksa, tetapi dia melimpahkannya ke Tete selaku penulis. Ancamannya, kehilangan hak memilih dan dipilih. Itu, identik dengan tidak mengenyam alam demokrasi.

Pada hari ketiga pemeriksaan, nada sang oditur militer kian merendah. Ia bahkan lebih banyak menasihati Tete. Bahkan, sang oditur minta dia ke rumahnya untuk berbincang. Namun, Tete menolaknya.

Tulisan ’’Apa Kewajiban Pemuda Indonesia’’, yang merupakan artikel pertama Tete di “Sinar Matahari” itulah jadi pemicu. Tulisan itu kemudian bernada mengobarkan semangat nasionalisme. Ini dianggap tak aman bagi Belanda. Tindakan penjajah berbuntut pada ditahannya Tete dengan status tahanan kota.

Tak tahan menjadi incaran Belanda, Tete memutuskan kabur dari Ambon. Tujuannya Makassar. Tete melarikan diri dengan cara menyelinap ke atas sebuah kapal Belanda yang akan berlayar ke Makassar pada tanggal 19 April 1947. Ketika itu Makassar menjadi ibu kota Indonesia Timur. Tak ada orang yang tahu, termasuk kedua orang tuanya, Tete lari ke Makassar. Hanya saja ketika itu dia berangkat dalam kapasitas sebagai salah seorang wartawan “Masa”.

Malam hari menjelang kapal berangkat, Tete naik ke kapal “Stoom Ship” (SS) Zwartenhondt”, kapal “Koninklijk Paketvaart Maatschappij” (KPM) – kini Pelni -- yang di Pelabuhan Ambon. Dia lalu menyelinap masuk ke kamar salah seorang anggota parlemen yang beraliran kabangsaan. Tak disangka, di kamar itu dia bertemu dengan ibu asuh dan juga gurunya, Ny. Pupela yang mendampingi suaminya yang lebih dulu berangkat menghadiri sidang parlemen NIT di Makassar. Dia pun merasa aman.

Ny. Pupela ini yang meminta Tete membelikan tiket di Kantor KPM. Dalam perjalanan pulang dari membeli tiket, pikiran Tete bergejolak. Dia berpikir juga mau lari dari Ambon lantaran tidak tahan diintimidasi oleh Belanda. Hanya saja, dia tidak memiliki uang sama sekali. Tatkala jari tangan kanannya menyentuh jari manis, dia pun sadar, Ada uang di situ. Seurat cincin pemberian ibu kandung di Allang. Tete langsung mengubah arah perjalanan. Bukan ke Kantor KPM, melainkan ke Toko Emas. Cincin pun Tete lepaskan. Di dalam hati memohon “ampun” pada ibu. Cincin laku 45 gulden.

Saat kapal memasuki perairan Makassar, Tete sempat gemetar dan khawatir. Dia gamang. Pasalnya, beberapa mil sebelum kapal Belanda itu merapat di Pelabuhan Makassar, keluar pengumuman.

“Semua penumpang dilarang turun. Polisi akan masuk ke kapal untuk mencari orang yang kabur dari Ambon,” begitu pengumuman yang didengar Tete.

Mendengar pengumuman itu, Tete sejenak sempat panik, tetapi kemudian dia mampu menguasai dirinya, hingga tetap tenang. Dia memasang strategi dan taktik. Ia mengeluarkan tustel, lalu masuk ke kamar nakhoda. Ia berpura-pura memotret kiri kanan, padahal kameranya tanpa film.

Saat kapal sandar, dia tetap melaksanakan aksinya. Wartawan yang bergaya dengan kamera. Hebatnya lagi, sebelum polisi naik ke kapal, Tete malah sudah ’mendarat’ di dermaga. Hebohnya pula, dia malah sempat menjepret polisi yang akan menggeledah kapal dan menangkapnya. Ketika memotret polisi, seperti layaknya aksi fotografer, dia bergerak mundur. Saat itulah dia bertemu dengan penjemput Ny. Pupela di dermaga. Tete pun segera masuk ke truk yang dipakai menjemput keluarga Pupela.

Tete sebenarnya berniat ke Yogyakarta, yang ketika itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Namun beberapa temannya yang menghadiri sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) menganjurkan agar dia memilih tetap tinggal di Makassar. Namun Soegardo yang memimpin Mingguan “Pedoman” ketika itu menyarankan Manuhua tetap di Makassar saja karena orang seperti dia cukup banyak di Makassar. Sosok seperti dia sangat dibutuhkan.

Tete lahir dengan nama lengkap Lazarus Eduard Manuhua, di Ambon 4 Juni 1925. Dalam jajaran wartawan Indonesia, dia dapat disebut sebagai tokoh pers nasional. Hanya saja, tempat bermainnya yang berbeda. Jika BM Diah, Rosihan Anwar dan lain-lain beredar di Jakarta, Tete justru tetap berkiprah nasional dengan mengendalikan media yang dipimpinnya – Pedoman Rakyat -- dari Tanah Makassar Sulawesi Selatan.

Tete bergabung dengan Mingguan Pedoman yang terbit 1 Maret 1947, bersama Soegardo dan Henk Rondonuwu. Media inilah yang kemudian menjelma menjadi Harian Pedoman Rakyat (PR) hingga ’’akhir hayat’’-nya tahun 2007.

Pertemuan Tete dengan Soegardo sebenarnya bermula di pembukaan Parlemen NIT. Saat itu Tete bertugas meliput. Selain berkenalan dengan Soegardo, Tete pun berkenalan dengan Ketua Parlemen NIT Mr. Tadjoeddin Noer, Sukrisno (Antara Jakarta), Siagam (Yogya), dan Wim Latumeten dari Kementerian Penerangan RI.

Setelah Soegardo diusir pemerintahan NIT karena Mingguan “Pedoman” yang dipimpinnya tidak disenangi Belanda. Pimpinan “Pedoman” pun beralih ke Henk Rondonuwu. Tokoh ini kemudian ditangkap Belanda lantaran media yang dipimpinnya dianggap menghina Ratu Belanda, Juliana. Rondonuwu pada tahun 1948 dipenjara tiga bulan.

Pada tanggal 17 Agustus 1948, selain Mingguan “Pedoman”, juga terbit media baru yang diberi nama “Pedoman Harian”. Kedua media ini dipimpin Rondonuwu. Gara-gara dia ditahan, Mingguan Pedoman yang semula tengah bulanan menjadi mingguan, mandek terbit. “Pedoman Harian” yang terus terbit. Tete pun mengambilalih kepemimpinan media tersebut setelah Rondonuwu mengundurkan diri.

Setahun kemudian (1949), di samping “Pedoman Harian”, juga diterbitkan Mingguan “Pedoman Nusantara”. Media terakhir ini merupakan kolaborasi dari tiga media, “Pedoman, Mingguan Nusantara”, dan Mingguan “Pedoman Wirawan”. Nama ini sebenarnya merupakan gabungan rubrik Pemuda (pada Mingguan “Pedoman”) dengan Majalah Pemuda “Wirawan”. Semua media ini diterbitkan Badan Penerbit Nasional “Pedoman”.

Harian “Pedoman Rakyat” mulai terbit dengan nama itu hingga ‘menemui ajal’-nya mulai November 1950 yang merupakan gabungan dari seluruh media yang ada. Tete pun bertindak sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi hingga akhir hayatnya, 25 November 2003.

Tete termasuk salah seorang yang membidani berdirinya organisasi wartawan Indonesia, PWI Cabang Sulawesi Selatan dan Tenggara tahun 1948. Tetapi sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tete baru tercatat tahun 1954. Nomor Kartu Pers/PWI 23. 0092. 54. P /23. 0168. 53. B.

Lelaki dengan hobi olahraga berburu ini menjalani pendidikan formal di Balai Pendidikan (Taman Siswa) di Ambon pada tahun 1933-1941. Setelah pindah ke Makassar, dia mencoba melanjutkan pendidikan di Fakultas Sosial Politik Universitas Hasanuddin pada tahun 1960. Namun pada tahun 1964, dia memutuskan berhenti kuliah dan memilih bergelut 100% di bidang pers.

Meskipun termasuk “drop out” pendidikan formal universitas, Tete tak pernah berhenti mengikuti berbagai pendidikan nonformal dan latihan. Misalnya saja, Diklat P4 Tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 1979, dan Orientasi Kewaspadaan Nasional (Orpadnas) Ujungpandang (1988), serta seabrek seminar, lokakarya, simposium, dan diskusi yang tentu saja beragendakan masalah pers dan penerbitan.

Suami Johanna Leonora Wacano (meninggal dunia tahun 1996) ini, telah menjalani pekerjaan di media pers dalam rentang waktu yang cukup panjang. Sebelum ke Makassar, antara tahun 1943-1947, dia menjabat sebagai Redaktur “Sinar Matahari” dan “Masa” di Ambon. Setelah hijrah ke Makassar, dia dipercaya sebagai Wakil Pimpinan “Antara” yang dipegangnya antara tahun 1947-1952. Kemudian, akhirnya menjadi Pimpinan “Antara” Makassar (1967-1970).

Walaupun di luar harian yang dipimpinnya dibebani tanggungjawab yang tak ringan, Tete tetap menjabat sebagai Redaktur/Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian “Pedoman Rakyat” (1947 hingga meninggal dunia 2003).

Selama di Makassar, tak terdengar kencang keaktifan Tete di bidang organisasi politik. Namanya selalu muncul dengan bendera PWI. Dia hanya pernah tercatat di Partai Kedaulatan Rakyat Makassar (anggota, 1947-1948), Ketua Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku Makassar (1947-1950), Sekretaris Gerakan Anak Muda Indonesia Makassar (1948-1950), Sekretaris Badan Penunjang Keluarga Tahanan (1948-1950), Ketua PWI Cabang Makassar (1948) dan Pengurus PWI Pusat (1988), Anggota Badan Pertimbangan PWI Pusat (1980-1988), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (1980 -2003).

Putra dari Esau Mateus Manuhua (meninggal di Ambon, 1945) dengan ibu Ruth Karnaty ini memiliki lima saudara kandung (Corlina, Maria, Elizabeth, Johanna, dan Naomi). Dari hasil perkawinannya dengan Johanna Leonora Wacanno, Tete dikaruniai delapan orang anak, masing-masing : Srikasih Nurani, Djajandy Putri, Mediana Farida, Ventje Satriabuana, Ruthiana Junita, Benny Indranusa, Liniaty Canceria, dan Johanna E. Monica.

Sebagai sesepuh pers Indonesia, Manuhua sudah mengantongi penghargaan sangat bergengsi dari negara dan organisasi profesi yang digelutinya. Penghargaan-penghargaan itu adalah : Penghargaan Penegak Pers Pancasila PWI (1989), Bintang Mahaputra Utama (1996), Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, dan menerima cincin penghargaan dari Pemda Sulsel sebagai warga Sulsel yang memperoleh Bintang Mahaputra Utama (1996).

Ketika masih aktif meliput, terutama pada saat berkecamuknya gerombolan Qahar Muzakkar, Tete sering ikut bersama tentara yang melaksanakan operasi saat Jenderal Jusuf menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin (sebelumnya Kodam VII Wirabuana dan kembali ke Kodam XIV Hasanuddin lagi). Dia sangat dekat dengan mendiang Jenderal M. Jusuf.

Selasa malam, 25 November 2003, pendiri harian “Pedoman Rakyat” itu meninggal dunia dalam usia 78 tahun, di Rumah Sakit Hikmah Makassar. Penyakit stroke yang telah dideritanya sejak tahun 1991 menjemputnya menuju kematian.

Jenazah wartawan senior ini dimakamkan di Pemakaman Kristen Antang pada Rabu (27-11-2003) dalam upacara militer (karena sebagai penerima Bintang Mahaputra Utama RI), berdampingan dengan pusara istrinya yang meninggal dunia tujuh tahun sebelumnya.

Laporan jurnalistiknya yang dimuat bersambung di Pedoman Rakyat, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk stensilan yang berjudul “Kisah Penyergapan Kamuz (Kahar Mudzakkar)” direvisi dan diperkaya. Catatan-catatan tersebut kemudian dikemas oleh salah seorang wartawannya, yang juga ikut menjadi penulis buku ini dengan memerkayanya dengan berbagai informasi pendukung lainnya dari beragam referensi dan wawancara. Buku itu dalam proses pencetakan dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas Jakarta dengan judul “Qahar Mudzakkar Detik-Detik Terakhir”. Buku setebal 181 halaman itu ditulis L.E. Manuhua dan M.Dahlan Abubakar. (*)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN