Bangsal Covid

Oleh : Nurul Awaliah Syamsuri (Mahasiswa Peserta Penulisan Kreatif FIB Unhas)

Pengantar : Tulisan ini merupakan pengalaman penulis selama beberapa hari dirawat sebagai pasien Covid-19. Kisah ini dipilih dapat dimuat di media agar pembaca dapat memahami dan mengetahui “sepak terjang” pandemi ini dan sadar menghindari atau mencegahnya. Catatan ini merupakan tugas midtes para mahasiswa peserta Penulisan Kreatif Fakultas Ilmu Budaya Unhas semester genap 2021. (MDA)

Kasus Covid pertama di Indonesia, diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020. Untuk menekan laju penularan virus Corona, pemerintah meliburkan anak sekolah serta pekerja selama 14 hari. Bukannya semakin landai, kasus di Indonesia justru semakin banyak tiap harinya. Itu dikarenakan masih banyak warga negara Indonesia yang tidak memercayai adanya corona ini.

Mereka pikir ini hanyalah akal-akalan pemerintah meraup untung dari wabah yang menyebar ke seluruh dunia ini. Saat itu, keluarga saya juga masih percaya-tidak percaya dengan adanya Covid ini. Walaupun belum sepenuhnya percaya, keluarga saya tetap mengikuti imbauan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah dan hanya keluar saat ada sesuatu yang penting.

Sampai akhirnya bulan Desember 2020, saya sudah merasa bosan karena tidak pernah keluar untuk jalan-jalan ke tempat rekreasi. Saya juga sempat berpikir, “Apa yang akan saya lakukan saat libur semester nanti ? Masa hanya tinggal di rumah saja, pasti akan sangat bosan".

Saya pun berencana berangkat ke Bandung bersama tante saat libur semester nanti. Rencananya kami akan berangkat setelah tahun baru, tetapi takdir berkata lain. Saat itu saya sekeluarga dinyatakan positif Covid-19. Saya sendiri kurang tahu kapan tepatnya terkena virus ini. Tetapi saya pertama kali merasakan gejalanya itu pada tanggal 2 Januari 2021, sehari setelah pulang dari rumah nenek.

Pagi itu saya bangun dengan rasa sakit di seluruh badan. Rasanya pegal sekali, seperti habis berlari mengelilingi Unhas sebanyak delapan kali. Kepala saya juga rasanya sangat sakit, seperti ada batu yang mengganjal di ubun-ubun. Saya pun berinisiatif meminum paracetamol, agar rasa sakit ini bisa sedikit hilang. Tetapi teringat bahwa saya belum makan apapun sejak kemarin malam. Saya pun memutuskan makan terlebih dahulu sebelum meminum obat itu.

Saat berjalan ke dapur, perasaan saya tiba-tiba tidak enak. Rasa pusing luar biasa yang tiba-tiba menyerang membuat jalan saya sempoyongan dan harus berpegangan pada lemari buku yang ada di dekat pintu kamar. Saya pun berbalik arah dan langsung merebahkan diri di kasur. Memejamkan mata dengan sangat erat dan berharap rasa sakit ini bisa pergi.

Karena rasa sakit di kepala dan badan yang dirasakan semakin menjadi-jadi, saya mencoba meraba-raba kasur di sebelah untuk mencari handphone. “Ummi, saya belum makan. Tidak bisa ke dapur karena sakit sekali kepalaku,” begitu bunyi pesan yang saya kirimkan ke ibu.

Tidak lama, terdengar bunyi pintu yang dibuka dan langkah kaki yang berjalan ke arah kamar tempat saya terbaring. Dan, akhirnya ada kepala muncul bersamaan dengan terbukanya pintu kamar.

“Kenapa ?,” tanya Ummi dengan raut wajah yang sedikit cemas.

“Pusing sekali saya, ndak tahu juga kenapa begini. Sakit semua badanku,” jawab saya dengan suara bergetar.

“Tunggu pale saya ambilkan nasi, baru minum obat,” tidak lama setelah mengucapkan itu, ibu kembali dengan piring yang berisi nasi dan lauk di tangannya.

“Jangan-jangan Corona ka Ummi, kenapa bisa sakit sekali badan sama kepalaku. Ndak saya rasa sekali juga ini lombok, ndak ada pedis-pedisnya,” ucap saya dengan mulut yang penuh makanan dan mata yang masih tertutup.

“Berdoa mi saja semoga tidak. Itu juga Abba sakit di sebelah, adekmu juga demam semua. Stresska sedding,” ucap ibu.

Setelah mendengar itu, saya mencoba membuka mata. Tetapi rasa pusing luar biasa kembali menyerang.

Setelah tiga hari merasakan gejala itu, ayah berinisiatif agar kami sekeluarga melakukan tes swab. Ayah pun menghubungi kenalannya yang bekerja di laboratorium RS Pelamonia datang melakukan tes terhadap keluarga kami.

Menjelang sore hari, kenalan ayah itu datang bersama seorang temannya yang membawa satu tas yang berisikan alat-alat swab. Saat kenalannya datang, kondisi ayah saat itu sudah sangat lemah. Ayah jadi orang yang pertama di-swab, dan hasilnya positif.

Setelah itu ibu di-swab, lalu saya, dan berlanjut ke adik-adik. Dan hasilnya semua positif. Kami pun berencana melakukan isolasi mandiri saja, mengingat di mana-mana rumah sakit semua penuh. Tetapi kembali lagi, rencana tinggal rencana. Kondisi ayah semakin parah, kesulitan bernapas dan batuknya semakin menjadi-jadi. Saat itu kami juga kebingungan membawa ayah ke mana karena semua rumah sakit yang menangani covid penuh.

Akhirnya, saya pun hanya bisa pasrah. Saya langsung mengambil air wudu dan salat sunat dua rakaat. Saat salat, airmata saya tidak berhenti menetes. Saat itu saya hanya memasrahkan semuanya kepada Allah. Saya berdoa semoga Allah tidak mengambil ayah terlebih dahulu. Selama ini saya belum bisa membahagiakan kedua orang tua.

Keesokan harinya, menjelang waktu asar, ibu mendapat panggilan telepon dari tetangga yang bekerja di RSUD Haji Makassar. Tetangga itu menelpon karena sudah satu minggu tidak melihat ayah ikut berjamaah di masjid. Awalnya, ibu saya hanya ingin menyembunyikan fakta bahwa kami sekeluarga positif Covid-19. Tetapi akhirnya ibu memberitahu semuanya ke tetangga itu.

Tetangga itu kerap saya sapa dengan panggilan Ummi Alif (karena anaknya bernama Alif). Ummi Alif tentu saja kaget mendengar berita itu, mengingat keluarga saya yang selalu disiplin menaati protokol kesehatan. Tapi yang namanya musibah, tidak ada yang tahu siapa yang akan terkena.

Ummi Alif pun menyarankan membawa ayah ke RSUD Haji Makassar saja, tempat beliau bekerja. Saat itu saya sangat bersyukur kepada Allah karena memberi kami kemudahan dalam musibah yang dihadapi.

Sampai di rumah sakit, ayah yang kondisinya memang sudah sangat lemah langsung tidak sadarkan diri sesaat setelah dipasangkan bantuan pernapasan. Ayah dirawat di IGD selama satu hari karena kondisi rumah sakit yang penuh. Jadi kami harus mengantre agar mendapat kamar. Saat di IGD, kondisi ayah saya berangsur-angsur membaik, karena ayah sudah mendapat bantuan pernapasan.

“Ternyata itu oksigen yang kita hirup sehari-hari salah satu nikmat yang luar biasa di ?,” ujar ayah dan saya hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.
Bukan karena tidak ingin membalas ucapan ayah, saya hanya takut saat berbicara akan menangis dan membuat beliau semakin kepikiran.

“Betul-betul itu nikmat kesehatan luar biasa sekali,” sambungnya.
Saya kembali hanya mengangguk dan langsung berinisiatif membalurkan minyak kayu putih ke dada dan punggung ayah.

Keesokan hari, saya mendapat kabar bahwa ayah sudah bisa dipindahkan ke ruang filter. Hal itu membuat saya sangat bersyukur, karena setidaknya di ruang filter nanti bisa berbaring. Mengingat selama ayah di IGD, saya belum tidur sekali pun.

Ruang filter RSUD Haji Makassar sebenarnya hanya bangsal biasa yang ditempati oleh pasien. Tetapi fungsinya diganti menjadi ruang filter bagi pasien Covid yang belum mendapat ranjang di ICU. Ruang filter ini juga tidak terlalu luas, terdapat 1 WC, 1 lemari tempat penyimpnan baju, dan 2 ranjang pasien dengan masing-masing tabung oksigen di sampingnya.

“Kamar Abba sempit, panas juga,” ucap saya dengan nada mengeluh dan langsung mendapat teguran dari ayah.

“Ndak boleh begitu, Nak ! Ini saja sudah bersyukur sekali ki karena masih ada yang mau terima Abba,” ucap ayah sambil membenarkan letak selang oksigennya yang melorot.

Sudah dua hari ayah dirawat di ruang filter ini. Saya pikir saat ayah sudah dirawat di ruang filter setidaknya saya sudah bisa sedikit bernapas dengan lega. Nyatanya tidak, malam kedua ayah saat ayah dirawat di ruang filter, kondisinya kembali memburuk.

Ayah kembali kehilangan kesadaran, Matanya tetap terbuka, tetapi saat diajak berbicara jawaban yang diberikan sudah tidak nyambung. Saya hanya bisa menangis melihat kondisi ayah yang seperti itu. Pikiran-pikiran negatif sudah mulai membayang-bayangi saya.

“Bagaimana kalau ayah saya meninggal ? Dan hanya ada saya sendiri di sini yang menjaganya,” tanya saya.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 02.30 WITA, saya mengambil handphone untuk menghubungi ibu, tetapi langsung dicegah oleh ayah.

“Jangan mi telpon Ummi, Nak ! Kasian juga itu Ummimu sakit, harus juga istirahat,” ucap ayah.
“Bagaimana hiks, meka hiks, pale ? Ndak kutau hikss,, mauka hikss bagaimana Abba,” ucap saya dengan nada yang tersendat-sendat karena menangis.

“Pergi, coba cari perawat Nak. Bilang, tolong abba-ku,” ucapnya dengan nada yang sangat lemah dan mata yang sudah hampir terpejam.

Saya langsung berlari keluar menyusuri lorong rumah sakit yang lampunya remang-remang. Sebenarnya saya adalah orang yang sangat penakut, bahkan tidak berani mengunci pagar rumah sendiri. Tetapi saat ini rasa takut saya hilang entah ke mana.

Saya terus bolak balik di lorong rumah sakit berusaha menemukan perawat. Tetapi nihil, tidak ada satu pun perawat yang berjaga malam itu. Saya kembali ke kamar tempat ayah dirawat dengan tangisan yang semakin deras.

”Ndak ada orang Ba hikss, mau meka apa ini hikss,” ucap saya dengan nada yang putus asa.

Abba tidak menjawab pertanyaan saya. Ayah terus-terusan membaca ayat-ayat Alquran yang saya ketahui bahwa itu adalah ayat-ayat kematian. Dengan napas yang tersengal-sengal (padahal ayah sudah dipasangkan selang oksigen dengan tekanan yang paling tinggi) ayah tersenyum, padahal matanya sudah tertutup.

“Senangku lihat gerombolan orang saleh,” ayah kembali mengigau. Saya yang saat itu sudah sangat putus asa, langsung mengambil air wudu dan salat tahajjud. Di sujud terakhir, saya berdoa supaya Allah tidak mengambil ayah terlebih dahulu dengan airmata yang semakin deras mengalir.

Sampai terdengar bunyi azan saya tidak henti-hentinya menangis dan terus memijit kaki ayah yang sudah dingin. Ayah bangun saat mendengar bunyi azan dan meminta saya mengambilkan sarung salatnya.

Ayah melaksanakan salat subuh dengan kondisi berbaring. Setelah menunaikan salat subuh, masih dengan napas yang tersengal-sengal, ayah memberi tahu bahwa saya tidak boleh menangis. Ayah juga berkata bahwa dia sangat bahagia mempunyai istri dan anak-anak yang salehah. Bukannya berhenti, airmata saya justru semakin deras mengalir.

Saat waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 WITA, handphone ayah berbunyi. Kakak ayah yang menelpon,
“Halo". Saya ingin sekali mengucapkan kata halo, tetapi hanya isakan yang keluar.

“Kenapa mi abba Nak ?,” terdengar suara di seberang sana. “.....” lagi-lagi saya tidak dapat mengucapkan sepatah kata dan hanya terus terisak.

“Oh sudah mi pale Nak, tunggumi Puang Abba ke situ,” setelah mengucapkan itu sambungan telepon pun berakhir.

Saat waktu menunjukkan pukul 06.15 WITA, ibu bersama Ummi Alif datang ke rumah sakit dan langsung menenangkan saya. Kepala saya rasanya sakit sekali. Semalaman menangis dan belum tidurlah penyebabnya. Saya yang langsung terduduk di ranjang satunya hanya bisa diam saat melihat Ummi Alif memarahi perawat yang mengurus ayah.

Saya terbangun pukul 10.30, dan melihat kondisi ayah yang semakin melemah. Saya juga melihat ibu yang matanya tidak kalah bengkak dari mata saya, masuk sambil membawa sebuah kertas di tangannya.

“Tadi saya dipanggil sama tim Gugus Covid...Abba positif, terus harus segera masuk ICU. Tapi ICU di sini penuh. Jadi bagaimana mi Ba ?,” ujar ibu dengan suara yang bergetar.

Saya tahu sekali, ibu pasti mati-matian menahan air matanya agar tidak menetes. Tidak ada jawaban dari ayah, hanya gumaman tidak jelas yang muncul.

Setelah mengucapkan itu, ibu langsung menarik saya dan adik yang umurnya setahun lebih muda dari saya ke teras kamar itu.
“Tadi tim Gugus Covid bilang, kalau kemungkinan terburuk terjadi,” ada jeda sebentar karena ibu saya mulai meneteskan air matanya kembali.

“Di mana mau dikubur abba ?,” lanjutnya. Saya yang mendengar itu langsung bergetar hebat, telinga tiba-tiba mendenging, dan penglihatan pun tiba-tiba kabur. Saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Saya langsung terduduk dan melamun. Saya tidak menyangka liburan semester yang sudah direncanakan sedemikian rupa harus sesedih ini.

Saya pun mengambil tangan ibu dan menggenggamnya,
“Itu kalau kemungkinan terburuk terjadi. Kenapa langsung mikir begitu ? Dirawat saja dulu Abba kan bisa,” ujar saya dengan suara yang bergetar dan ibu hanya membalas dengan anggukan.

Seperti keajaiban, kami mendapat kabar ada satu ventilator yang kosong di ICU. Orang yang menempatinya baru saja meninggal. Saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Itu merupakan kabar gembira bagi keluarga saya. Tetapi saya juga sedih karena baru saja ada lagi korban dari wabah Covid-19 ini. Dan... ventilator itu ternyata menyelamatkan Ayah... (*)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN