Berkaca Kepada Konflik Golkar dan Prahara Demokrat

Oleh : Yarifai Mappeaty (Pemerhati masalah sosial politik, tinggal Makassar)

USAI Kemenkum HAM mengumumkan keputusan pemerintah menolak KLB Moeldoko, sontak beberapa rekan meminta saya berkomentar. “Bagaimana menurutmu ?”. “Dua jempol untuk Menteri Yasonna,” kataku singkat. Sebab, jika pemerintah bersikap sebaliknya, maka, saya tidak tahu lagi bagaimana menemukan diksi yang cocok untuk menyebut rezim ini.

Tetapi, lain halnya jika Moeldoko itu kader Demokrat, paling tidak, sudah pernah terlihat memakai kostum Demokrat dan disaksikan banyak orang, jauh-jauh hari sebelumnya, maka, tentu ceritanya akan menjadi berbeda, kalau kemudian Kemenkum HAM memenangkannya. Pada konteks ini, ada dalih yang dapat dipakai untuk menenangkan nalar kita, bahwa itu konflik internal. Sekalipun sebenarnya, kemenangan itu diperoleh karena rezim memang menghendakinya.

Masih ingat konflik Golkar yang berlarut-larut pada enam tahun silam ? Sedemikian berlarutnya konflik itu, sampai-sampai Partai Golkar tidak ikut Pilkada serentak 2015. Kala itu, Kemenkum HAM menolak mengakui hasil Munas IX Golkar 2014 di Bali (Munas Bali), lantaran muncul Munas Golkar tandingan di Ancol (Munas Ancol). Akibatnya, terjadi dualisme kepemimpinan di Partai Golkar pada tingkat nasional.

Secara normatif, dalih yang dipakai oleh Kemenkum HAM untuk menolak mengakui Munas Bali ketika itu, sudah benar : Dualisme kepemimpinan. Akan tetapi, konteks dan subtansi yang ditangkap publik, sangat berbeda, sehingga Kemenkum HAM pun tak luput dari macam-macam cibiran. Publik bahkan menyebut kalau Munas Ancol sebagai Munas abal-abal gegara legalitas peserta Munas Ancol kala itu, mungkin kurang lebih sama atau sedikit lebih baik dari pada KLB Demokrat Sibolangit.

Hanya saja, di antara Munas Ancol dan KLB Sibolangit, terdapat satu hal yang sangat berbeda. Munas Ancol memiliki Agung Laksono, tidak lain dan tidak bukan, adalah kader Golkar 24 karat. Sedangkan Moeldoko pada KLB Sibolangit, sama sekali bukan kader Demokrat. Baru terlihat mengenakan atribut Demokrat, kala KLB itu berlangsung. Sehingga benar-benar sangat kelewatan kalau sampai kubu Morldoko keluar sebagai pemenang.

Mengapa Kemenkum HAM menolak mengesahkan hasil Munas Bali 2014 ? Ada yang berpendapat bahwa rezim Jokowi-JK membutuhkan Partai Golkar untuk memperkuat pemerintahannya. Sementara itu, Aburizal Bakrie yang terpilih pada Munas Bali, cenderung beroposisi. Untuk menjinakkan Golkar, hambatan terbesarnya ada pada Aburizal Bakrie. Maklum, Aburizal Bakrie dan Golkar adalah pengusung Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014.

Di lain pihak, meski Aburizal Bakrie punya hasrat untuk membawa Golkar mendukung pemerintahan Jokowi-JK, namun tak bisa ujug-ujug, seperti membalik telapak tangan. Soalnya, apa kata dunia kalau sampai ia melakukannya ?

Di samping itu, Aburizal Bakrie juga terkesan enggan menanggung beban psikologis sebagai “penumpang gelap” dalam perahu koalisi Indonesia Hebat. Apa lagi, ia tentu tak rela melihat Golkar bakal selalu menjadi bahan olok oleh partai politik rivalnya. Kendati belakangan, Golkar tetap saja menjadi “penumpang gelap” di masa kepemimpinan Setya Novanto.

Apakah konflik Golkar kala itu diskenario oleh istana ? Ataukah istana hanya memanfaatkan konflik tersebut untuk mengontrol penuh Golkar ? Mungkin saja. Tetapi apapun itu, hasilnya tetap sama saja. Betapapun kerasnya perjuangan kubu Munas Bali untuk memenangkan konfliknya, tetap tak akan pernah berhasil.

Bayangkan, nyaris semua kantor pengadilan di Jakarta dipakai oleh kubu Munas Bali untuk mendapatkan keadilan, bahkan sampai pada tingkat kasasi. Namun, Kemenkum HAM tetap bergeming, menolak mengesahkan, sehingga membuat Aburizal Bakrie dan Kubu Munas Bali mengalami kelelahan, lalu memutuskan buang handuk. Akhirnya, Munaslub Golkar kompromi pun berlangsung di Bali pada 2016, atas restu istana, sekaligus mengantarkan Setya Novanto menjadi Ketua Umum.

Pada suatu kesempatan mengikuti sidang perkara Golkar di PN Jakarta Timur, 2015, penulis sempat berbincang ringan dengan Margarito Kamis, salah seorang saksi ahli dari kubu Munas Bali, saat sidang jedah.

“Kalau rezim ini mau, maka, semua Parpol rentan mengalami nasib seperti Golkar, kecuali, mungkin hanya PDIP, Gerindra, dan Demokrat, relatif bisa bertahan,” kataku. Saya masih ingat mata Margarito melotot menatapku beberapa saat, seperti berusaha menebak dengan mencoba mengubek-ubek isi kepalaku.

“Rasa-rasanya aku mengerti maksud abang. Ini soal figur sentral partai, bukan ?” timpalnya sejurus kemudian sembari mengangguk-angguk. Geli juga mendengar ia memanggilku abang, soalnya, saya lebih muda darinya, meski tidak terpaut jauh. Tetapi dari segi tampang, harus kuakui kalau ia sedikit lebih “bermutu” dari padaku.

Benar. Memang hanya ketiga partai itu yang memiliki figur sentral yang benar-benar sangat kuat. Megawati di PDIP, Prabowo di Gerindra, sedang di Demokrat ada SBY. Saat itu, penulis belum menghitung Surya Paloh di Nasdem, belum teruji. Sedangkan di Golkar, keadaannya justeru terbalik, terlalu banyak orang jago. Hal ini sebenarnya yang membuat Golkar menjadi rawan konflik.

Begitu kuatnya figur-figur tersebut di partainya masing-masing, membuat tak satupun di internal mereka yang punya nyali untuk mencoba berbeda. Bahkan, pada realitasnya, selain menjadi hukum di partainya, juga, menjadi benteng pertahanan bagi partainya dari rongrongan pihak luar dan dalam.

Rupanya, bincang-bincang saya dengan Margarito mengenai figur sentral ketika itu, kebenarannya sedang diuji pada prahara Partai Demokrat. Sekiranya SBY sudah tidak ada di sana saat, kira-kira apa yang terjadi ? Saya tidak terlalu yakin bahwa Demokrat bersama AHY, dapat memenangi konfliknya melawan Moeldoko.

Namun, keberadaan figur semacam itu di dalam partai, biasanya, faktor komunikasi struktural menjadi problem besar yang selalu dikeluhkan oleh kadernya sendiri, terlalu banyak sumbatan. Salah satu dampaknya, hubungan antara DPP dan struktur di bawahnya, relatif berjarak. Bahkan, DPD dan DPC terkesan hanya pelayan DPP, benar-benar sangat feodal.

Tetapi yang menarik adalah Partai Demokrat semenjak digawangi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kelihatan banyak mengalami perubahan. Di bawah kepemimpinan AHY, penampilan Partai Demokrat jauh berbeda dibandingkan dengan PDIP maupun Gerindra, yang masih terkesan “angker”, kalau tak disebut masih tetap feodal.

Gaya kepemimpinan AHY yang demikian milenial, membuat sumbatan komunikasi menjadi sirna. Hubungan DPP dan DPD pun tampak demikian rapat. Sejumlah pengurus Demoktrat, baik dari tingkat DPD maupun DPC yang sempat penulis temui, mengaku merasa sangat nyaman bersama AHY. Hal ini membuat Pengurus Demokrat di Seluruh Indonesia menjadi sangat solid. Lihat sikap dan reaksi mereka terhadap KLB Sibolangit.

Tak diragukan lagi, keberhasilan AHY membangun soliditas di internal Demoktrat dalam setahun terakhir, menjadi salah satu faktor determinan di dalam memenangi konfliknya, bukan hanya karena faktor SBY semata. (*)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN