Oleh : M. Dahlan Abubakar
MENGISI waktu sebelum mempersiapkan bahan kuliah hari Senin, Ahad (10/05/2020) malam iseng-iseng saya mengontak eks mahasiswa di Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia (ASMI) Publik Makassar pada tahun 1994-1995. Dia menikah dengan pria Turki dan berdomisili di Negeri Recep Tayyip Erdoğan tersebut dan kini sudah dikaruniai dua orang anak.
Ija, begitu biasa kami sapa, perempuan berkulit hitam manis dengan tinggi semampai, tinggal di Samsun, jaraknya sekitar 9 jam berkendaraan bus dari ibu kota Turki, Istambul. Dia tinggal di sebuah apartemen dengan latar belakang pemandangan laut bersama suami yang sudah pensiun tetapi masih bekerja.
Sudah sering kali saya melakukan video call (VC) dengan Ija. Pernah sekali waktu saya wawancarai mengenai tradisi menghadapi bulan Ramadan di Turki setahun silam. Dia katakan, hampir saban waktu, Endorgan, Presiden Turki, membagikan bahan-bahan buka puasa kepada warganya. Namun seiring dengan merebaknya wabah “Corona Virus Disease” (Covid)-19, pembagian bahan berbuka puasa tidak lagi bisa dilaksanakan sejak Januari.
Dalam perbincangan yang berlangsung sekitar satu jam dan sampai-sampai baterei ponsel saya soak sendiri, Ijah bercerita, di Turki larangan keluar rumah sudah berlangsung sejak Januari 2020. Itu bermula setelah Menteri Kesehatan berhasil mendeteksi salah seorang warga Irak yang mampir di Turki setelah kembali menunaikan ibadah umrah.
Setelah diketahui ada yang terpapar Covid-19, Menteri Kesehatan langsung memutuskan menutup sekolah selama sebulan. Lantaran selama sebulan itu jumlah yang terpapar Covid-19 meningkat, masa penutupan sekolah pun diperpanjang.
“Terakhir kemarin, Menteri Kesehatan menginformasikan, jika situasi sudah aman, sekolah akan dibuka September,” ujar Ija.
Turki memang tidak menerapkan “lockdown” seperti negara-negara Italia, Perancis, dan negara Eropa lainnya, Hanya saja, pada hari Sabtu dan Ahad warga tidak boleh keluar rumah atau berada di jalan. Senin sampai Jumat masih bisa berada di jalan.
Kantor-kantor yang masih boleh buka adalah supermarket (mal), bank, apotek, dan rumah sakit. Rumah sakit juga terpisah melayani pasien Covid-19 dan umum. Toko-toko pakaian dan cafe sejak Februari sudah tutup.
Di Turki, sekolah memasuki libur panjang mulai pertengahan Juni hingga September. Namun dengan adanya pandemi ini, sekolah sudah diliburkan lebih awal sejak Februari 2020. Pembelajaran pun dilakukan dengan sistem daring (online). Menteri Kesehatan pun menyediakan laman khusus untuk pembelajaran ini melalui “EBA.net”. “Kini kita tidak lagi mencari tanggal merah (hari libur) karena almanak sudah “merah” beberapa bulan,” Ija bercanda.
Enhanced Business Applications (EBA), Aplikasi Bisnis yang Disempurnakan, menurut “Wikipedia” didirikan pada tahun 1988 dan beroperasi di Amerika Serikat, Kanada, dan lokasi internasional lainnya. Fokus awal perusahaan adalah pengembangan perangkat lunak khusus sebelum menjadi reseller perangkat keras dan perangkat lunak komputer.
Pada bulan April, guru tempat putra Ija belajar membuat grup “Whatsapp” (WA) sendiri. Melalui media sosial guru dapat berkomunikasi langsung dengan para muridnya, seperti VC. Setiap hari, guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada murid selama “di rumah” dan dikirim melalui grup WA tersebut.
Menyikapi menularnya wabah Covid-19, Erdogan, Presiden yang dilahirkan di Istanbul Turki 26 Februari 1954, memberikan bantuan sebesar 1.000 Lira atau sekitar Rp 2,089 juta (1 Lira = Rp 2.089,48) per bulan hingga Juli 2020 atau pandemi ini belum berakhir kepada warganya.
Dalam satu dua hari ke depan, sebut Ija, mal dan salon-salon sudah dibuka, tetapi dengan syarat tidak boleh berkerumun. Maksimal 2 orang di dalam satu ruangan dan harus mengenakan masker.
“Apakah Ijah sekeluarga juga diperiksa berkaitan dengan Covid-19?,” tanya saya. “Saya sekeluarga tidak diperiksa, tetapi Presiden memberikan lima masker per orang. Jadi saya dapat 10 dengan suami,” ujarnya.
Anak-anaknya yang belum berusia 20 tahun tidak boleh meninggalkan rumah. Mereka juga tidak mendapat masker gratis dari Presiden Endorgan. Mereka yang sudah berumur 65 tahun ke atas juga tidak boleh keluar rumah. Jika ketahuan akan didenda.
"Kalau Bapak ke Turki, pasti langsung dikurung di rumah,” kelakar Ija.
Orang-orang tua di Turki, meski sudah memiliki anak, tidak mau tinggal bersama anaknya. Oleh karena itu, pemerintah membantu mereka layaknya orang memperoleh pensiun.
Polisi atau petugas mendatangi kediaman mereka dan mengambilkan bantuan/uang pensiunnya di bank. Begitu pun jika mau belanja di mal, petugas itu juga yang bantu membelanjakannya dan membawa belanjaannya ke rumah.
“Ya, begitulah situasinya, karena mereka tidak boleh keluar rumah. Mereka kan rentan terhadap penyakit. Baguslah di sini (Turki). Endorgan itu baguslah, warga dilarang keluar, tetapi dikasih bantuan. Kasihan mereka disuruh tinggal di rumah jika tidak dikasih bantuan,” tambah Ija.
“Kalau kita di Indonesia, boro-boro dibantu, malah kita yang harus menyumbang,” nyeletuk Muli Ambar yang berdomisili di Bekasi Jawa Barat didampingi Hanny Joardin, suaminya, yang ikut bergabung dalam percakapan ‘‘tripartit” tersebut.
Muli pun menjelaskan kalau dirinya sudah 1 bulan “lockdown” di Bekasi. Seorang (tertua) dari dua anaknya kuliah di Politeknik Negeri Ujungpandang dan enggan bergabung dengan orang tuanya yang berdomisili di episentrum Covid-19.
Namun dia “anak rumahan”, tidak pernah keluar rumah. Berbeda dengan cucu saya yang pertama yang selalu “diancam “ karena selalu begadang di luar rumah.
“Sama ‘ji’ dengan anakku Muli, dia anak ‘rumahan” juga,” Ija dari Samsun Turki menimpali.
Percakapan VC segitiga Turki-Bekasi-Makassar tersebut terputus karena ponsel saya “kehabisan stamina”. (*)