Oleh Yohan C. Tinungki
DUNIA musik di era globalisasi menggeliat manja di pori-pori aspek kehidupan manusia. Musim tentu mengalami perkembangan dalam ragam kebutuhan manusia.
Kebutuhan manusia akan musik tidak akan pernah hilang. Musik ada untuk manusia. Musik membutuhkan manusia, begitu pun sebaliknya manusia membutuhkan musik.
Musik tidak akan hilang dan akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Salah satu elemen musik yang cukup “trend” saat ini adalah seni memadukan dan memainkan suara yaitu seni paduan suara, baik yang bergenre jadul (beberapa abad yang lalu), pop, jazz, dan nyanyian rakyat (folklore) serta inovasi lainnya dalam paduan suara.
Paduan suara berperan sebagai pengantar atau penyalur ide-ide komponis atau arranger yang ditransfer dalam partitur dan dibunyikan oleh suara manusia.
Makassar sebagai pintu gerbang Indonesia timur menjadi daya tarik bagi para penyelenggara even lomba paduan suara yang mengemasnya dengan label “tingkat internasional” dengan juri yang juga berlabel “tingkat dunia” dan peserta yang diharapkan ikut juga datang dari berbagai “penjuru dunia”.
Dua even lomba paduan suara akan diselenggarakan di Makassar pada tahun 2020, yaitu “Choral Orchestra Folklore Festival” pada 23-26 Juli 2020 yang diselenggarakan Festive Indonesia. Selanjutnya, Bandung Choral Society menyelenggarakan “Makassar World Choir Festival 2020” pada 28 September-1 Oktober 2020.
Melihat judul acaranya memang sangat mendunia dengan judul berbahasa Inggris yang tentunya membuat kemasan yang sangat bergengsi, indahnya bila ada sisipan kearifan lokal--bahasa Makassar.
Makassar sangat bersyukur dihiasi dua even tersebut karena tentunya Kota Makassar akan dikenal para praktisi, penyelenggara, dan yang berkecimpung dalam dunia paduan suara lokal maupun level tingkat dunia.
Untuk mengikuti ke-2 even tersebut peserta harus mempersiapkan anggaran yang tidak sedikit. Puluhan sampai ratusan juta. Dana yang cukup besar untuk menjadi peserta tentunya bukan kendala bagi kelompok paduan suara yang memang ingin menambah jam terbang ataupun mengetahui tingkat keberhasilan selama berbulan-bulan melakukan latihan.
Bisa juga menjadi momen tersebut untuk jalan-jalan ke Makassar. Atau melalui momen ini mendapat kolega baru dalam dunia paduan suara, punya track record pernah mengikuti even tingkat dunia, euforia dan kebanggan.
(jika menang/jika tidak menang jangan sedih) dan punya koleksi foto dan video di pantai Losari atau tempat wisata lainnya di Makassar. Bagi penyelenggara tentunya ini merupakan “bisnis” yang menantang dan bisa “menghasilkan” karena baru tahun 2020 ini ada even lomba paduan suara yang “bergengsi tingkat dunia” di kota Makassar yang nota bene adalah kota yang sangat mengagungkan seni lokal masyarakat Makassar.
Muncul petanyaan lomba paduan suara ini selain orientasinya ke wilayah bisnis, apa yang bisa diberikan ke Kota Makassar? Dari segi pariwisata terlihat even ini tidak mengedepankan sisi-sisi promosi pariwisata di Kota Makassar ataupun ikut mengangkat seni budaya Makassar.
Bandingkan dengan even tahunan di Makassar “Jazz Fort Rotterdam” yang mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Makassar. Tujuan penyelenggaraannya, mempromosikan objek wisata Kota Makassar, salah satunya Benteng Fort Rotterdam.
Mungkin penyelenggara berdalih bahwa ada kategori lomba nyanyian rakyat (folklore), tetapi itu bagian dari kategori lomba. Tak bertujuan ikut mempromosilan pariwisata Kota Makassar.
Semoga even ini tidak sekadar memasukkan musik-musik urban (termasuk musik jadul beberapa abad lalu) ke dalam pikiran masyarakat Makassar sebagai musik yang agung. Makassar sendiri mempunyai seni musik yang sudah mendunia dan harus menjadi tuan rumah di Kota Makassar. Terlepas dari semua itu tentunya Makassar berterima kasih sudah mendapat kepercayaan untuk menjadi tempat lomba paduan suara tingkat dunia.***