Oleh : Rachim Kallo.
Secara terpisah empat nara sumber dihubungi awak media ini. Tiga diantaranya wawancara langsung dan satu wawancara via whatshapp. Keempatnya dari kalangan seniman dan praktisi.
Patta Nasrah menekankan seniman di Makassar belum ada konstribusi terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah) Gedung Kesenian. Keseniannya pun belum ada yang spektakuler, biasa-biasa saja, katanya.
Lain halnya dengan tanggapan Aco Sulsapri, fasilitas yang diadakan oleh pengelola salah satu dinas tidak sesuai dengan standar pertunjukan.
Lain lagi Karsin Kati, mantan praktisi yang menekankan opsi, sebaiknya pemerintah membangun gedung baru untuk Gedung Kesenian.
Sementara Yudhistira Sukatanya mencoba menawarkan solusi. Sebaiknya ada dialog antara pemerintah dan stakeholder sebagai pengguna utama.
Patta Nasrah salah satu pencetus dan pemikir organisasi Sanggar Merah Putih Makassar yang kini bermukim di Kota Kendari menanggapi wacana Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk renovasi gedung kesenian. Media ini menemuinya di area parkir gedung kesenian, sore menjelang magrib, kami berbincang dengan santai.
Menurutnya standar kota itu harus ada Gedung Kesenian, Museum, dan Galeri untuk seni rupa. Di kota Makassar ini belum ada yang representatif.
Mencontohkan Kota Singapura, itu kota sangat kecil mungkin bisa disamakan Kota Takalar, tapi di kota itu dibuat museum sedemikian rupa sehingga ketika kita masuk kita dibuat takjub.
Dan dengan tekhnologi IT yang mutakhir, mampu mengejutkan, memukau para pengunjung museum. Kedua, happiness dalam sebuah kota. Sejauh mana oraņg happiness di Kota ini (Makassar). Happiness diukur dari keamanan, kemacetan dan Gedung Kesenian.
"Kalau ada rencana GKSDH, asal niat itu tulus dan ikhlas. Karena kalau ada sesuatu dibalik itu, hanya untuk reportnews generation atau income generation dari sebuah gedung atau PAD dalam bahasa keseharian kita, ini mengakali seniman," sambung Patta menambahkan, seniman juga harus punya konstribusi terhadap kota.
Seperti mencontohkan opininya ke salah satu pengelola GKSĎH beberapa waktu lalu. Katanya berapa subsidi pemerintah dalam satu tahun dari subsidi, hitung berapa pendapatan untuk mengembalikan modal.
Misalkan sektor pariwisata. Touris berapa dollar dia habiskan di kota ini untuk makan, transportasi dan lainnya. Itulah feedback yang harus kita bayar. Pemda mensubsidi juga uang rakyat yang berasal dari PAD. Dan kita júga harus mengembalikan PAD itu ke kas.
Sambil mengutip ucapan WS Rendra, katanya, seniman itu butuh investor. Salah satu investor ialah pemerintah. Tapi berapa kostribusi seniman dan berapa PAD yang bisa dihasilkan ke pemerintah. Sehingga tidak seperti membùang garam di laut.
Ketika ditanya soal feedback khususnya señiman itu sendiri, Patta Nasrah spontan menjawab, biása-biasa saja tidak ada peningkatan. Sejak dulu sampai sekarang begitu saja (awak media menekankan ke Patta, komentar ini saya tulis ya. Spontan jawabannya tulis saja, saya berani pertanggung jawabkan kalimat itu).
Mana karya kesenian yang spektakuler dari Makassar, yang mana ? Tolong tunjukkan. Jadi jangan sertamerta menyalahkan pemerintah, mana konstribusi seniman ?
Saat menyinggung idealnya seperti apa GKSDH kedepannya dan bagaimana mengatasi masalah ini, Patta menepis desakan pertanyaan awak media soal mencari solusi, katanya itu hal lain nantilah kita bicarakan atau diskusikan.
Dibagian kedua, akan dibahas tanggapan dari Aco Sulsapri salah seorang pentolan pejuang pengembalian GKSDH beberapa tahun lalu, apa dan bagaimana opininya terhadap renovasi itu. Begitu pun Karsin Kati dan Yudhistira Sukatanya. (bersambung)