* Oleh : Rachim Kallo (Bagian II - Habis)
Tulisan edisi pertama, nyaris semua nara sumber menanggapi lembaga Taman Budaya (TB) Sulawesi Selatan, terkesan akan peran dan fungsinya berjalan baik. Ada sinergi yang terbangun antara lembaga ini dengan penggiat seni dan budaya. Berikut, kutipan wawancara nara sumber soal TB di era sekarang. Mereka adalah Yudhistira Sukatanya (Penulis, Dosen, Mantan Kepsta RRI), Dr. Arifin Manggau, S.Pd, M.Pd (Dosen Seni UNM dan Penggiat Seni), Arman Dewarti (Seniman), Bahar Merdhu (Sutradara Petta Puang) dan Abd. Karsin, SH (MPP Taman Budaya).
“Taman Budaya sekarang diibaratkan taman yang hilang ? Untuk kasus di Sulawesi Selatan ini, TB seakan sengaja dihilangkan ?”, ungkap Yudhistira Sukatanya.
"Apakah TB masih ada ? Apa kegiatannya sekarang sebagai dapur kreativitas seniman, sekarang kabur ? Karena fungsinya dipreteli sebab tidak dipahami lagi oleh pejabat kadisnya," sambung Yudhi lagi.
Lain lagi dengan komentar Sutradara Petta Puang, Bahar Merdhu, saat diminta tanggapan dan pandangannya tentang TB dulu dan sekarang. “Tidak adami to taman budaya, sekarang,” jawabnya enteng.
Siapa bilang TB Bubar ? Setahu saya TB gabung dengan museum di Benteng Fort Rotterdam, masih ada kan ? “Iya dilebur. Sangat disayangkan. Tidak diberi peran. Padahal peran taman budaya harus bisa distrategiskan untuk pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Sebagai laboratorium seni dan budaya,” kata bahar lagi.
Abd. Karsin, SH (MPP Taman Budaya) pun menanggapi tempatnya bernaung (TB), dia seperti air dengan minyak, seniman seolah tidak pusing lagi tentang keberadaan TB, dan TB pun seolah tidak lagi mau tahu tentang ada apa dan tidak ada lagi seniman di Sulsel. Jadi pantas saja kalo TB dan seniman jalan sendiri-sendiri.
Perlu ada solusi, bukan hanya sekadar membandingkan TB dulu dan sekarang. Walau pun TB disatukan dengan museum. Apa yang mesti dilakukan TB ke depannya agar fungsinya, dan marwah TB menjadi ekspektasi seniman. Dan bagaimana penganggarannya ?
“Kembalikan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, karena kalau di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan hanya dijadikan semacam sanggar kesenian,” tutur Bahar Merdhu.
Arifin Manggau selain dikenal sebagai dosen pun penggiat seni khususnya musik, juga menambahkan opininya. “Harusnya pemerintah tetap mengembalikan marwah TB seperti dahulu karena lembaga ini sangat efektif untuk dijadikan sebagai media filterisasi budaya asing yg masuk di negara kita sekaligus sebagai wadah anti terorisme dan radikalisme bahkan sebagai wadah penampung aset seni budaya yang tinggi dalam membangun bangsa yang berbudaya yg bernilai karakter tinggi,” bebernya.
Sementara TB diharapkan dikembalikan perannya, disisi lain terkendala masalah anggaran. Seperti anggapan Arman Dewarti, mungkin anggaran pengelolaan kesenian untuk seniman di daerah sangat kurang. Abd. Karsin menepis anggapan itu, anggaran seni budaya cukup besar digelontorkan untuk kesenian melalui APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara).
“Kalau kondisinya terus begini, sangat rugilah pemerintah menganggarkan dana kesenian yg seharusnya digunakan oleh seniman tetapi digunakan hanya untuk kegiatan seremonial (pengisi acara saja/hiburan pelengkap saja), bukan untuk apresiasi kesenian,” ungkap Karsin lalu menambahkan, saran saya kepada teman seniman, manfaatkanlah lembaga TB itu sebagai laboratorium seni utk segala aktifitas seni.
“Seharusnya seniman perlu memberi dukungan penuh terhadap eksistensinya TB sebagai wadah seni budaya bangsa dengan berbagai kegiatan dan gerakan moral,” lanjut Arifin.
Jadi apa perlu diadakan pertemuan para seniman utk bicarakan TB, pancing media ini. Arifin berucap, seharusnya, agar dari hasil pertemuan itu kita melahirkan konsideran atau sebuah sepakat mufakat untuk peninjauan kembali lembaga ini agar dapat eksis kembali.
Semoga TB kedepannya, di kembalikan perannya. Perlu ada diskusi antara TB dan seniman duduk bersama untuk membicarakan dan mencari solusinya. Kita tunggu nanti, seperti apa antara ekspektasi dan kenyataan yang akan terjadi ???