Pelayaran Peradaban I Welenreng, Pupus Harapan Sawerigading Melamar I We Cudaiq

* Oleh : Rachim Kallo (Bagian III)

Kisah drama Pelayaran Peradaban I Welenreng yang bakal dipentaskan oleh Sinerji Teater di panggung kolosal Trans Studio Makassar pada April mendatang, di bagian ketiga ini, mengulas tentang kegagalan Sawerigading membuat perahu besar Phinisi dan memupuskan harapannya melawar I We Cudaiq di Cina.

Untuk mewujudkan keinginan Sawerigading melamar I We Cudaiq, dilakukanlah persiapan pelayaran ke negeri Cina. Karena pelayaran ke Cina memerlukan perahu besar, sementara persediaan perahu yang ada tidak memungkinkan untuk di pakai, maka direncanakan membuat perahu besar yang baru.

Sebuah pohon raksasa Welenreng yang tegak berdiri di Possi Tana, batangnya dianjurkan jadi bahan membuat perahu besar dan sempurna. Lingkaran batangnya tujuh ribu depa, tingginya tiga ribu depa, puncaknya dapat dilihat hingga di tanah Jawa.

Dengan gembiranya Sawerigading bersama rombongannya bergegas menuju hutan Mangkuttu tempat tumbuhnya pohon Welenreng. Sesampainya, upacara adatpun dilakukan sebelum memulai penebangan. Dukun dari Luwu dan Ware, serta dukun dari Latimojong dan Coppo Meru bergantian mulai beraksi. Air suci daun passili dipercikkan, obor dinyalakan, sirih dan benih dihamburkan, aneka ragam bunyi-bunyian ditalu dan para dukun pun merapalkan doa dan mantra, tarian ritualpun dimulai. Orang buleng meniup serulingnya bersenandung dengan lagu keramatnya.

Perintah penebangan pun segera dimulai. Dengan bersemangat para tukang tebang melingkari batang pohon Welenreng sambil serentak mengayun kapak tajamnya. Tetapi tak terkira, kulit Welenreng sama sekali tidak terkelupas oleh kapak. Tergores sedikitpun tidak, bahkan mata kapak para tukang tebang pecah berantakan bagaikan piring, gagang tangkainya pun patah, hingga tangan para penebangpun kesakitan.

We Tenriabeng yang mencermati kegiatan itu, segera mengirim kapak manurung yang diturunkan langsung dari Boting Langiq, dengan pesan agar yang mempergunakan kapak itu haruslah keturunan Boting Langi' atau peretiwi.

Setelah kapak manurung tiba, kembali diadakan upacara adat sebagaimana mestinya. La Pananrang dan La Pangoriseng yang memegang kapak dan memulai penebangan kemudian menyusul raja-raja lainnya. Ajaib, bagaikan batang pisang saja batang pohon raksasa Welenreng retas dibelah kapak. Tiga hari lamanya penebangan dilakukan maka tumbanglah Welenreng nan perkasa itu.

Demikian besarnya batang pohon itu, mengakibatkan gunung terpotong dua tertimpa beban beratnya, bahkan beberapa kampung tenggelam akibat banyaknya telur burung yang pecah. Burung-burung berebut, panik beterbangan, binatang melata berlarian menjauh dalam ketakutan. Gemuruh tumbangnya hingga terdengar di Boting Langiq-Peretiwi. Dahannya yang patah beterbangan sampai dipinggir langiq.

Bahkan salah satu dahannya yang tumbang, jatuh menerobos masuk ke Istana Raja Cina, hingga mengejutkan penghuni Istana. Raja Cina segera memanggil dukun menerka makna kejadian itu. Dukun pun meramalkan kepada We Tenriabang (Raja Cina-Latanete) bahwa dahan itu asalnya dari pohon raksasa I Welenreng yang sekarang sudah ditebang untuk dijadikan perahu guna dipakai berlayar pergi melamar I We Cudaiq. Dalam pelayarannya nanti ke Cina dia akan dapat mengalahkan Settiya Bonga yang tak lain tunangan I We Cudaiq dalam pertempuran seru di tengah laut.

Sebagian lagi dari batang pohon Welenreng yang telah ditebang itu meluncur menyusup masuk ke dasar laut. Orang yang menyaksikan kejadian tersebut dibuat heran dan takjub. Sawerigadingpun hampir pingsan dibuatnya, bahkan beliau nyaris bunuh diri karena pupus harapan akan mendapatkan perahu tumpangan besar guna berlayar melamar I We Cudaiq. Tidak ada lagi harapan buatnya !!!