Gubernur dan Wakil Gubernur, Anda Merusak Sulsel !

Oleh : Mulawarman (Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat dan Harian Surya)

Hilangnya komitmen di antara 2 orang individu pemimpin (pemegang kekuasaan), akan melahirkan konflik tidak berkesudahan. Karena keduanya, dipastikan tidak tahu kalau politik itu bermoral, kata pemikir John Locke dan Jeremy Bentham (1789).

Konflik yang selama 3 bulan terakhir hanya samar-samar kedengaran di publik, antara Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah dan wakilnya Andi Sudirman Sulaiman telah tak sejalan atau sudah pecah kongsi dan telah berkonflik. Sejak 2 pekan lalu, konflik mereka tidak lagi samar-samar. Rakyat Sulsel malah menonton konflik mereka dengan mata telanjang di hampir semua media.

Konflik itu terlihat sangat jelas. Seluruh rakyat Indonesia malah bisa melihat konflik itu lewat media massa, bagaimana Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman menerbitkan SK pengangkatan 198 pejabat Pemprov Sulsel dan dilantiknya langsung, tanpa sepengetahuan Gubernur Sulsel dan saat sang Gubernur tidak ada di tempat. 

Kemudian, tidak perlu waktu yang lama, hanya 2 pekan setelah SK diterbitkan, langsung SK Wagub itu dibatalkan oleh Gubernur. Dan Wagub pun, diperiksa oleh 4 kementerian yang masing-masing mengirim wakilnya ke Makassar untuk mengadili Andi Sudirman Sulaiman Wakil Gubernur Sulsel.

Sebelumnya, konflik itu terlihat samar, dengan tidak ditetapkannya pejabat Sekprov sejak sepekan setelah Gubernur Nurdin Abdullah dan Wakil Gubernur dilantik, sampai hari ini tak jelas kabarnya. Disinyalir karena adanya konflik kepentingan di antara Gubernur dan Wakil Gubernur. 

Disusul penentuan pejabat Walikota oleh Gubernur, juga tak lepas aksi tarik menarik atau aksi rebutan jabatan itu. Gubernur menginginkan Deny Irawan yang staf ahlinya, sementara Wakil Gubernur menginginkan Sulkaf Latief, Kadis Perikanan dan kakak dari Sukriansyah Latief, staf ahli Amran Sulaiman.

Tetapi kemudian Mendagri Tjahyo Kumolo mengambil jalan tengahnya dan tepat, kata publik Mendagri memilih Iqbal Suaib. “Atas saran dan masukan Pak JK (Jusuf Kalla), saya mengambil jalan tengahnya,” kata Tjahyo Kumolo, Senin kemarin kepada penulis.

Konflik juga terlihat pada ketidak mampuan Gubernur menegur kakak Wakil Gubernur yang baru saja dilantiknya jadi Kadispenda Pemprov Sulsel yang seenaknya mengambil bawahannya dari Dinas Perdagangan Bone, jabatan yang ditinggalkannya, menjadi stafnya di Kadispenda Pemprov Sulsel.

Begitu pula dengan Wakil Gubernur, tidak bisa melaksanakan fungsi pengawasannya, ketika Gubernur seenaknya memberi hak istimewa kepada Asri, tangan kanan Gubernur yang kini jadi Kepala BKD Pemprov Sulsel menempati rumah dinas dan memakai 2 mobil dinas mewah sejak Gubernur dilantik, jauh sebelum Asri dilantik jadi Kepala BKD Pemprov Sulsel.

Wakil Gubernur juga tak mampu mengawasi atau memberitahu Gubernur, yang seenaknya memberikan gedung Dinas Pendidikan Pemprov Sulsel bekas Dinas Parawisata di sebelah kiri Gubernuran, kepada Perusda Sulsel yang dipimpin adik ipar Gubernur, tanpa sepengetahuan Kadis Pendidikan dan Wagub. 

Selain itu, nepotisme yang merupakan bibit dari tindak pidana korupsi,  Gubernur dan Wakil Gubernur mulai membangunnya. Dalam waktu singkat, keduanya mengangkat saudara dan kerabat dekat seperti adik ipar dan kakak ipar mengisi jabatan basah dan strategis di Pemprov Sulsel.

Tidak ketinggalan ego kadaerahan juga diikut sertakan dalam nepotisme ala Nurdin Abdullah dan wakilnya Andi Sudirman ini, sehingga di publik muncul ungkapan  Bantaeng telah pindah ke Makassar, Sulsel kini menjadi provinsi rasa kabupaten. 

Dan banyak kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur yang bertentangan dan menunjukkan nyatanya ada konflik di antara mereka. Tetapi itu terlalu panjang untuk diungkapkan di tulisan pendek ini.  Namun yang pasti, konflik Gubernur dengan Wakil Gubernur ini, akan menjadi pertarungan panjang tak berkesudahan bagi keduanya. 

Konflik orang nomor satu dan dua di Sulsel itu, pasti akan merusak jalannya pemerintahan mereka berdua. Karena mereka berdua adalah elit penguasa yang berkonflik di tengah masyarakat Sulsel yang sudah menjadi masyarakat terbuka sejak pasca reformasi, seiring semakin terbukanya masyarakat Indonesia.

Konflik elit penguasa itu, akan merusak semua tatanan bermasyarakat, bernegara, berdemokrasi dan berideologi (berpancasila). Karena konflik elit penguasa itu, berlangsung di tengah masyarakat (Sulsel) yang (sudah) terbuka, kata Karl Popper di The Open Society and Its Enemies.

Padahal di Pilkada Sulsel 2018 kemarin, beberapa lembaga survei, menyatakan antara 17 sampe 18 persen dari 43 persen rakyat yang memilih Nurdin Abdullah-Andi Sudirman, karena keduanya dianggap mawakili kaum terpelajar, kaum ilmuwan atau kaum intelektual.

Nurdin Abdullah dianggap memiliki kecakapan dalam memimpin dan menggerakkan pemerintahan dengan efektif dan berkualitas, seperti yg ditunjukkan Nurdin Abdullah ketika 10 tahun memimpin Kabupaten Bantaeng. 

Sementara  Andi Sudirman, dianggap mewakili anak muda yang enerjik dan terpelajar. Itu terbaca pula di beberapa hasil survei sejumlah lembaga survei di Makassar.

Plato yang menempatkan kaum terpelajar atau intelektual di kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial mayarakat. Mengatakan, kaum intelektual itu yang paling cocok menjadi pemimpin sesungguh-sungguhnya pemimpin. Dalil Plato, mereka memiliki pengetahuan yang benar tentang kebajikan-kebajikan.

Paulo Freire (1961), yang mendukung Plato, mengatakan kaum intelektual selalu membawa kesadaran baru untuk perbaikan tatanan kebijakan-kebijakan sosial politik untuk masyarakat.

Jurgen Habermas, di buku - Teori Tindakan Komunikatif Rasio dan Rasionalitas Masyarakat (terjemahan Nurhadi) Kreasi 2006 mengingatkan, kaum intelektual adalah pribadi rasional yang selalu dikuasai oleh ilmu pengetahuan dalam bertindak. Pribadi rasional yang senantiasa memikirkan kualitas tindakan dan berdasarkan kebenaran. Pribadi yang  terbuka, terbuka pada kritik.

Sementara Paul M Sniderman di karyanya - Personality and Democratic Politics (1976) - kaum terpelajar adalah pribadi rasional, dewasa dan mampu melenyapkan eksklusivitas, kepicikan berpikir, dan superioritas-inferioritas yang bisa menjadi bibit konflik.

Tetapi kenapa Prof Dr  Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman yang menurut rakyat pemilih mereka, mewakili kaum terpelajar dan pribadi yang rasional, menjadi tidak rasional sehingga berkonflik yang dampaknya mengancam rusaknya seluruh tatanan rasional sosial politik, ekonomi dan budaya rakyat Sulsel.

Apakah konflik membuktikan opini publik selama ini, bahwa  Nurdin Abdullah hanya bermodalkan pencitraan menjadi Gubernur Sulsel ? Sementara Andi Sudirman hanya bermodalkan kakandanya Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, sehingga Nurdin Abdullah mau bertransaksi politik, menerima Andi Sudirman untuk berpasangan di Pilkada 2018 kemarin ?

Bukan karena Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman yang mantan Ketua Osis di SMA di Bone, adalah 2 orang dari ratusan ribu kaum terpelajar di Sulsel dan mewakili kaum terpelajar Sulsel itu.

Jika demikian, Sulsel benar-benar berada di ambang kerusakan, karena dua pemimpinnya adalah hasil dari sebuah transaksi. Karena laiknya sebuah transaksi, seperti kata Adam Smith, Karl Marx, Keynes, Warner Sombart atau Milton Friedman, motivasi sesungguhnya sebuah transaksi, adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan untuk keuntungan orang banyak atau masyarakat. 

Sebenarnya, publik atau masyarakat memiliki secerca harapan, Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman bisa memimpin Sulsel tanpa konflik dan membawa Sulsel lebih baik ke depan. Ketika masyarakat melihat adanya sederetan  ilmuwan dan pakar atau kaum intelektual dengan gelar Professor dan Doktor di sekeliling Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman. Tetapi ternyata, mereka-mereka yang menjadi staf ahli dan penasehat Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel itu, hanyalah ilmuwan atau kaum intelektual rendahan, rendahan karena mereka tidak mampu menggunakan ilmunya (Jeremy Jenning, 1995). Kaum intelektual tak ada guna itu, hanya menjadi laskar-laskar tak berguna yang pasti dan sepasti-pastinya ikut serta merusak Sulsel. (*)