Menyambangi Makam Karaeng Galesong (2-Habis) : Penjaga Alami Ujian Mistik

Catatan Fawwas Roihan Fuad

Pada tembok yang tegak berdiri kokoh mulai dari paling atas, terdapat surah Al-Baqarah ayat 154. Arti dari surah itu adalah “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”



Kemudian tepat di bawah surah tersebut, ada sebuah teks. “Di sini makam pejuang agung yang pantang menyerah menentang VOC dan kezaliman di abad ke-17, putra Sultan Hasanuddin Raja Goa XVI menantu Raden Trunojoyo, murid Panembahan Giri, Panglima Perang Lasykar Makasssar di Jawa Timur”.

Di bawahnya lagi terdapat sebuah kutipan tertulis dengan huruf besar. “KARAENG GALESONG TUMENANGA RI TAPPA NA”. Kutipan tersebut merupakan nama lain dari Karaeng Galesong. Di makam hanya ada tumpukan batu sebagai satu-satunya petanda dari makam yang lainnya. Yang menjadi petanda lain adalah ada payung kuning setinggi sekitar 2 meter dengan tiang warna cokelat di sebelah kiri. Daun payung itu kira-kira lebar jari-jari 50 cm. Bagian atas dari dua pucuk payung sedikit miring. Payung ini terletak di belakang kiri makam.

Di sebelah kanan makam agak ke belakang terdapat bendera merah putih. Bendera tersebut berdiri di atas balok beton kecil segi empat yang tampaknya cukup kokoh.

Sejarah singkat mengenai Karaeng Galesong. Beliau memiliki nama lengkap, yaitu “I Maninrori I Kare Tojeng Karaeng Galesong”. Lahir pada tanggal 29 Maret 1655 di Bontomajannang Pabbineang, Bontolebang Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Dan merupakan putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya yang bernama I Hatijah I L'omo Tobo.

Pada tahun 1667, Kerajaan Gowa-Tallo tunduk kepada Belanda setelah Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya. Dalam Perjanjian Bongaya, berisi pengakuan monopoli VOC, mempersempit wilayah Makassar, pembayaran ganti rugi peperangan, pengakuan Arung Palakka sebagai Raja Bone, serta Gowa tertutup bagi orang asing selain VOC.

Empat tahun pun berlalu setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya. Karaeng Galesong beserta bangsawan Gowa lainnya sudah tidak tahan. Mereka mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tanah leluhur. Mereka berlayar ke barat Gowa dengan tujuan penyusunan strategi dan melanjutkan perlawanan.

Mereka pun mendarat di pelabuhan Banten pada bulan Oktober 1671 dengan maksud untuk membantu Sultan Ageng Tirtayasa atau bisa disebut Pangeran Surya. Karaeng Galesong dan kelompoknya ikut andil dalam perlawanan terhadap VOC di tanah Jawa Barat.

Setelah itu, Raden Kejoran meminta bantuan kepada Karaeng Galesong dalam melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama Raden Trunojoyo. Mereka akhirnya memenangkan pertempuran serta berhasil merebut sebagian besar kota di pesisir Jawa dan Pasuruan.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada Mei 1676. Belanda kembali menyerang dan merebut sebagian wilayah di Jawa Timur. Serta menyudutkan Karaeng Galesong agar lari ke Madura. Karaeng Galesong pun membalasnya dengan menyerang pasukan Belanda di Jawa Timur dengan 9.000 pasukan gabungan. Pasukannya terdiri atas pasukan Madura, Makassar, dan Surabaya. Pada bulan Oktober 1676, Belanda berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Gegodog.

Di sebelah kiri Makam Karaeng Galesong terdapat makam Mbah Sebojoyo dan di sebelah kanan merupakan makam Mbah Slamet. Mereka adalah sahabat seperjuangan Karaeng Galesong. Tidak diketahui siapa nama lengkap kedua sahabat itu, sebab tak terukir nama di batu nisan mereka.

Ada satu makam lagi yang berada di pojok dinding kanan. Makam tersebut lebih kecil dari makam lainnya, layaknya makam seorang bayi. Namun itu bukan makam bayi, melainkan makam pendamping Karaeng Galesong yang bernama Raden Suratna.

“Apakah ada buku tamunya, pak ?,” saya bertanya kepada Pak Rasyid.

Dia segera pergi mengambil buku tamu yang ada di gubuk dekat makam ini. Saat dia sibuk mengambil buku tamu, datang Bu Teti yang merupakan istrinya. Bu Teti asli warga Ngantang, tapi cara bicaranya mirip orang Makassar. Setiap dia bicara selalu lantang dan keras.

Sayangnya Bu Teti tidak suka dibilang mirip orang Makassar hanya karena suara kerasnya saja. Walau suaranya keras, namun dia adalah orang yang baik, pengertian, dan bersahabat. Bahkan kami sempat diajak ngopi di gubuk mereka.

Semenit kemudian, Pak Rasyid kembali datang dengan membawa buku tamu berwarna hijau. Saat dibuka, dapat diketahui kalau buku tamu tersebut masih baru. Sebab di halaman awal sudah tercatat “tahun 2022”. “Sebentar lagi ini juga mau ganti lagi buku tamunya,” kata Pak Rasyid.

Dari perkataannya, bisa dipahami kalau buku tamu akan diganti setiap tahunnya. Walau tidak sampai buku terisi penuh, tetap harus diganti yang baru.

Setelah tiga menit membalik-balikkan halaman, saya cukup terkejut. Saya mengira bakal sedikit sekali orang yang berkunjung dari Makassar. Ternyata lebih banyak dari dugaan saya. Kalau dipresentasekan, pengunjung Makassar ada 40%, pengunjung Jawa ada 40%, dan pengunjung daerah lain ada 20%.

Sayangnya total pengunjung tahun 2022 tidak terlalu banyak. Pada buku tamu juga tidak tercatat sampai setengah buku. Memang tidak ramai, tapi jumlah pengunjung tetap konsisten walau saat masa pandemi Covid-19.

Ujian Mistis

Saya dan Abim mulai menulis nama, alamat, nomor telpon, dan tanda tangan masing-masing di buku tamu. Kami berbincang-bincang dengan Pak Rasyid dan Bu Teti terkait Makam Karaeng Galesong dan kehidupan mereka, diiringi hujan yang tak terlalu deras.

Ternyata kehidupan mereka cukup berat sebagai penjaga Makam Karaeng Galesong. Bukan berat sebagai penjaga, melainkan berat dengan berbagai ujian. Seharusnya ada tempat teduh yang dikhususkan untuk tamu yang agak jauh di belakang makam. Namun tempat itu sudah diambil alih oleh pemerintah pada tanggal 26 Maret 2019.

Tidak jelas apa alasan tempat teduh tamu diambil alih. Kini tempat tersebut telah diubah menjadi tempat penimbangan sampah yang sempat kami lewati dan tanyakan sebelumnya. Ironisnya, Pak Rasyid dan Bu Teti tidak menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di penimbangan sampah tersebut.

Ujian lainnya, pasangan suami istri itu banyak menerima hujatan dan makian dari orang sekitar maupun para pengunjung yang tidak tahu apa-apa. Mereka sering dituduh sebagai pengemis dan pemalak uang. Padahal niat mereka baik-baik. Orang-orang saja yang sembarang menimpulkan dan berujung prasangka buruk.

Selain ujian, Bu Teti pernah mengalami hal mistis saat menjaga Makam Karaeng Galesong di malam hari. Dia pernah digoda diajak bercanda oleh arwah kedua sahabat Karaeng Galesong. Namun mereka hanya menggoda, tidak berniat buruk sama sekali. Jadi Bu Teti tidak merasa terganggu.

Dia juga pernah diberi sendok yang berbentuk seperti kecapi khas Bugis tepat di depan Makam Karaeng Galesong.

“Untuk apa sendok ini ?,” tanya Bu Teti.

“Di sini panganmu,” jawab ‘orang’ itu.

Entah yang menjawab itu arwah Karaeng Galesong atau arwah lainnya. Yang penting maksud dari kalimat itu adalah “Hidup matiku di sini”.

Sekitar 50 menit berbincang, kami mengakhiri perbincangan dengan berdoa untuk Karaeng Galesong. Setelah berdoa, kami berpamitan kepada pasangan suami istri tersebut dan mendoakan kelancaran mereka.

Hujan juga sudah berhenti, saya dan Abim mulai berjalan keluar dari makam. Kemudian kembali menaiki sepeda motor yang basah kuyup terkena hujan. Sekitar pukul 15.40 WIB kami pun meninggalkan Makam Karaeng Galesong. Waktunya pulang ke Malang.

Kami sampai di Malang tepat pada pukul 19.10 WIB. Lebih lama daripada saat berangkat. Itu karena kami makan siang dulu di Pujon. Lalu, istirahat 20 menit di Alfamart Kota Batu. Barulah sampai di Malang.

Pangeran Gowa di Ngantang

Karaeng Galesong merupakan pangeran dari kerajaan Gowa yang menjadikan Ngantang sebagai daerah pertahanannya dan gugur di san tulis Rizky Wahyu Permana dari Merdeka.com 13 Desember 2016

Memiliki kontur yang penuh gunung dan terkurung gunung-gunung ternyata tidak membuat wilayah Malang menjadi tempat yang betul-betul terpencil dan sepi dari manusia. Tercatat sejak masa lalu, bahkan daerah yang cukup bergunung dan jauh seperti Ngantang telah dihuni oleh seorang pangeran dari Gowa yaitu Karaeng Galesong.

Bahkan karena terjal dan cukup sulitnya akses ke daerah Ngantang ini, wilayah tersebut malah dijadikan Karaeng Galesong bersama Trunojoyo penguasa asal Madura sebagai benteng terakhir pertahanan mereka. Kedua bangsawan dari wilayah yang berbeda ini saling bekerjasama dalam melawan kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Karaeng Galesong sendiri diketahui merupakan menantu dari Trunojoyo.

Karaeng Galesong sendiri merupakan salah satu putra dari Pangeran Hasanudin. Perjalanan jauh yang dilakukannya ke Jawa Timur merupakan akibat dari jatuhnya kerajaan Gowa ke kekuasaan Belanda pada tahun 1669. Karena kondisi itu dia memilih untuk mencari perlindungan ke wilayah lain dan akhirnya dia mendarat ke sebelah timur Pulau Jawa.

Di Jawa sendiri, Trunojoyo dan Karaeng Galesong sebenarnya memiliki wilayah pertahanan di Kediri dan Bangil. Namun desakan dari Kerajaan Mataram yang dibantu oleh VOC membuat mereka terus tertekan hingga akhirnya terdesak sampai wilayah Blitar kemudian ke Malang dan pada akhirnya tertekan hingga sampai di Ngantang.

Dengan keterbatasan prajurit yang mereka miliki, wilayah Ngantang yang cukup terpencil dan tertutup diyakini dapat cukup menahan serangan dari lawan. Karaeng Galesong sendiri juga mundur dari daerah pertahanannya hingga akhirnya bergabung dengan Trunojoyo di Ngantang.

Namun sayangnya pada 21 November 1679, perlawanan yang sengit dari Karaeng Galesong harus berakhir bukan karena hunusan pedang lawan namun karena penyakit yang dideritanya. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di wilayah pertahanannya di Ngantang dan makamnya hingga sekarang masih terawat.

Meninggalnya Karaeng Galesong menimbulkan sedikit fraksi di barisan pasukan Makassar yang berada di barisan Trunojoyo. Sebagian memilih untuk kembali ke Makassar namun lebih banyak lagi yang tetap bergabung dengan Trunojoyo untuk melawan Mataram yabg dibantu oleh VOC. Walau begitu karena pasukan yang terus berkurang dan melemah, perjuangan Trunojoyo akhirnya juga harus berakhir pada tahun 1680.

Menurut “malangkab-pusat-opd Senin & Budaya” yang terbit 21 Januari 2020, Ngantang, sebuah daerah di Kabupaten Malang, tidak jauh dari Kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang Karaeng Galesong, seorang pejuang dari Makassar. Daerah ini sejuk dan asri, dan di sinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.

Suasana pemakaman tampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong. Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampaknya belum begitu lama dipasang. Di sinilah makam Karaeng Galesong berada. Kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Di antara nisan dan kuburan, berdiri tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera terdapat tulisan kata “pejuang”.

Pada prasasti marmer di kuburan itu, terukir tulisan berwarna emas menggunakan bahasa Arab, yang terjemahan bebasnya berarti, “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah.” Di bawah prasasti ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.

Masyarakat Bugis Makassar memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Karaeng Galesong pun menjadi kebanggaan. Ziarah ke makam sang karaeng merupakan rutinitas. Dua tahun lalu, misalnya, masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Malang Raya dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI Sulsel) Cabang Malang mengadakan acara memperingati hari korban 40.000 Jiwa, yang salah satu kegiatannya adalah berziarah ke makam Karaeng Galesong. (Mahasiswa Fakultas Sastra UMI, tinggal di Malang)