Pernah Diusir, 20 KK Warga Desa Saloya Tempati Huntap

*Rencana Dibangunkan Sekolah Lagi

SOROTMAKASSAR -- Donggala.

Sebanyak 20 kepala keluarga atau hampir 100 jiwa warga di Dusun Balaroa, Desa Saloya, Kecamatan Sindue Tombusabora, Kabupaten Donggala, kini sudah menempati hunian tetap (huntap). Sebanyak 20 unit huntap itu dibangun atas bantuan Yayasan Buddhayana Dharmawira Centre (BDC) Surabaya.

“Sudah memasuki minggu kedua kami pindah tinggal di sini. Airnya bagus, lancar. Lampu listrik pakai genset mulai menyala pukul 18.00 sampai dengan pukul 24.00,” kata beberapa ibu yang ditemui media ini, Selasa (19/5/2020) pagi.

Meski hanya 20 unit huntap, namun ditata dengan apik. Kompleks perumahan itu cukup jauh masuk dari ruas jalan utama di Pantai Barat. Namun jalannya sudah teraspal, kecuali memasuki perumahan itu jalan belum teraspal semuanya.

“Dulu kami tinggal di Gunung Bora, tetapi saat gempa 28 September 2018, di sana terjadi longsor sehingga kami pindah ke sini. Itu masih ada bekas pondok-pondok yang kami bangun sebelum dibangun hunian tetap ini,” kata sejumlah warga.

Mereka punya cerita sedih setelah pindah dari tempat awalnya yang mengalami longsor. Usai gempa, mereka pindah dari Gunung Bora ke bawah. Namun, sempat beberapa kali diusir oleh pemilik lahan yang ditumbuhi kelapa.

Mereka tak punya lahan selain di Gunung Bora. Sebagai pengungsi, mereka kemudian dibina Yayasan Bagi Terang Indonesia (BTI).

“Yayasan inilah yang kemudian membeli lahan yang mereka tempati,” kata Suryawati Hosari, pengurus yayasan itu. Di lahan itulah mereka mendirikan pondok.

Menurut Suryawati yang akrab dipanggil Meme, warga ini dibina yayasannya agar mereka dapat hidup layak, baik dari pendidikan, kesehatan, kebersihan. Hanya saja saat ini ia kesulitan mencari tenaga pendidik. “Sekarang baru empat orang yang kami sekolahkan,” kata Meme.

Disebutkan, bila kelompok ini sudah dapat mandiri, pihaknya akan mencari kelompok masyarakat lain untuk dibina. “Makanya kami sangat berterima kasih jika ada yang ikut terlibat mensuport masyarakat di sini tanpa ada kepentingan yang lainnya,” kata Meme.

Sebagai korban gempa, mereka juga menjadi sasaran untuk para pendonor. Dolof Tirayo termasuk yang datang memberikan bantuan. Mendengar keluhan mereka, Dolof kemudian mengusulkan ke Yayasan BDC untuk membantu warga korban gempa itu.

Bagaikan gayung bersambut, yayasan yang bermarkas di Surabaya itu menyetujui untuk membantu. Bahkan, sebelum membangun huntap, yayasan juga membeli lahan yang akan dijadikan lokasi pembangunan  huntap tadi. Sementara lahan yang dibeli Yayasan BTI dijadikan untuk kebun warga.

Tidak heranlah, warga di dusun itu sangat berterima kasih kepada Suryawati Hosari yang juga Ketua Perempuan Indonesia Tionghoa (PINTI) asal Sindue. Juga berterima kasih ke Dolof yang juga Sekretaris INTI Sulteng. Dialah yang mendapatkan donator untuk membangun huntap itu.       

Anak-anak di perumahan baru itu masih bersekolah di tenda,sebab sekolah yang di tempat awal mereka di Gunung Bora tak dapat dipakai lagi. Tenda tempat sekolah itu sekaligus dijadikan tempat ibadah warga di situ.

Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Sulawesi Tengah bersama pengurus, Willem Chandra, juga meninjau tempat itu. Ada pula Surayawati Hosari yang lebih akrab dengan panggilan Meme. Mereka berencana ingin membangun sekolah dan tempat ibadah.

“Tolong dicarikan lahan dekat kompleks perumahan ini untuk kita bangun sekolah dan tempat ibadah. Kalau perlu tanahnya kita beli asal jangan jauh dari sini. Tanaman kelapa di sekitarnya jangan ditebang supaya teduh dan alami,” kata Rudy kepada tokoh-tokoh warga setempat. Dan, mereka sangat antusias dengan tawaran Rudy itu.

Kemudian ia menjelaskan, bila anak-anak dapat bersekolah sungguh luar biasa. Tamat Sekolah Dasar mereka dapat melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang sekolah tingkat pertama, dan lanjutan atas. Malahan, dapat menuntut ilmu sampai ke perguruan tinggi.

“Anak-anak bersekolah itu yang utama. Kemiskinan hanya dapat dilawan oleh orang-orang yang berpendidikan. Tidak ada gunanya hidup banyak uang tetapi tidak berpendidikan,” kata Rudy.   

Warga di dusun yang terbilang jauh dari keramaian itu hidup dengan bercocok tanam. Mereka menanam jagung, ubi kayu, pisang, kelapa, dan lainnya. Sekarang tanaman jagung siap untuk dipanen. Sementara ubi kayu sudah dapat dipanen.

Seorang warga kemudian pergi beberapa saat. Ketika kembali ia sudah membayar beberapa ubi kayu. “Ini oleh-oleh untuk dibawa pulang,” katanya lalu memberikan ubi kayu itu ke Rudy Wijaya.(TB)