30 Maret 2023, Hari Film Nasional Ke-73, Momentum Berpikir Kritis Tentang Perfilman Indonesia

Oleh : Nasaruddin Siradz
Sekjen Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI)

HARI Film Nasional telah ditetapkan pada tanggal 30 Maret melalui Keputusan Presiden (Kepres Nomor : 25 Tahun 1999), sebagai bentuk apresiasi atas momen sejarah bahwa pada tanggal 30 Maret 1950 untuk pertama kalinya film cerita “Darah dan Do’a” diproduksi oleh orang Indonesia dan perusahaan Indonesia, yakni H. Usmar Ismail dengan perusahaan filmnya yang bernama Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini).

Setiap tahun Hari Film Nasional dijadikan momentum untuk berfikir kritis tentang perfilman nasional sebagai upaya penguatan dan pemajuan perfilman di Indonesia dalam bingkai ekosistem Perfilman Nasional.

Kebetulan Bulan maret merupakan bulan dimana hampir seluruh organisasi pemangku-kepentingan perfilman nasional sibuk berulang-tahun. Dan untuk tahun ini pada bulan Maret ini, PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) melaksanakan Kongres XXI dan BPI (Badan Perfilman Nasional) juga mengadakan kegiatan besar Konferensi Perfilman Nasional, Seminar, Diskusi terbatas, pemutaran film dan lain sebagainya.

Seluruh kegiatan ditujukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas film Indonesia guna menggapai cita-cita lama yang hingga kini belum tercapai, walaupun telah ada Undang-Undang Perfilman dan telah ada Amanah Undang-Undang kepada instansi yang menaungi kegiatan perfilman untuk memajukan perfilman nasional.

Meski di tahun 2022 ada 1 judul film nasional yang mampu meraih 10 juta-an penonton -- jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah perfilman nasional -- namun perlu dicatat pula bahwa film yang paling rendah perolehan penontonnya adalah 429 penonton.

Dan terdapat 41 film Indonesia atau 47,12% film yang beredar tahun 2022 hanya meraih kurang dari 100.000 (seratus ribu) penonton alias tidak mampu mencapai BEP. Bahkan konon cukup banyak film Indonesia yang telah selesai diproduksi, tidak kebagian kesempatan untuk diedarkan di bioskop.

Dari grafik jumlah penonton film Indonesia tersebut sedikitnya dapat ditarik 3 asumsi yang mendasar bahwa, Film Indonesia yang mendapatkan box office (di atas 1 juta penonton) dalam kurun waktu 4 tahun terakhir (2019–2022) antara 2,78%-16,1% (rata-rata hanya 9,44%) setiap tahunnya.

Mayoritas Film Indonesia mendapatkan raihan di bawah 100 ribu penonton, antara 43,41%-72,22%. (rata-rata 57,81%) setiap tahunnya.

Pendapatan produser film KKN (box office dengan 10 jutaan penonton) dengan asumsi perolehan Rp 17 ribu per penonton -- setelah dibagi dengan pihak Exhibitor/Bioskop dan dikurangi Pajak Tontonan/Hiburan yang dikenakan Pemprov/Pemkot/Pemkab bervariasi -- maka kira-kira perolehan produser film KKN berjumlah +/- Rp 170 milyar.

Sementara mayoritas film Indonesia (rata-rata 57,81%) setiap tahunnya hanya memperoleh dibawah 100 ribu penonton dengan potensi penghasilan Rp 17 ribu per penonton (+/- Rp. 1,7 Milyar).

Perbedaan pendapatan antara film Box Office dengan mayoritas film Indonesia tersebut berbeda 100 kali lipat.
Hal ini perlu dicarikan jalan keluarnya, karena meski UU Perfilman No. 33 tahun 2009 tidak sempurna dalam memperbaiki seluruh ekosistem perfilman nasional, namun UU tersebut memberikan Amanah agar film nasional diberikan kesempatan untuk berkembang dan maju dengan alokasi 60% layar untuk film Indonesia dan 40% layar untuk film impor.

Kabar gembira dari Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dengan terpilihnya kembali H, Deddy Mizwar secara aklamasi pada Kongres XXI sebagai Ketua Umum periode 2023–2028 tanggal 28 Februari 2023.

Diharapkan pada periode 5 tahun kepengurusannya ke depan yang lebih panjang 2 tahun dari sebelumnya, banyak kesempatan atau peluang PPFI untuk turut-serta memperbaiki ekosistem perfilman nasional.

Pada sambutan pengukuhannya, kembali sebagai Ketua Umum PPFI, Deddy Mizwar telah menyatakan bahwa setiap judul film nasional mempunyai hak untuk diputar di bioskop, maka beliau berjanji akan mengusahakan agar tidak ada lagi film Indonesia yang tidak diputar di bioskop.

Sebagaimana diketahui ruang lingkup pengembangan perfilman nasional tidak hanya mencakup tata-edar yang fair, melainkan juga perlu peningkatan kualitas produksi, termasuk didalamnya peningkatan kualitas SDM (karyawan dan artis) dan kualitas lokasi shooting serta Jasa Teknik / teknologi perfilman, agar film nasional yang dihasilkan dan diedarkan makin mampu menarik penonton untuk berbondong-bondong datang ke bioskop.

Hal tersebut mustahil jika penanganannya hanya diserahkan kepada insan film saja tanpa dukungan dari Pemerintah. Walaupun saat ini dukungan dari pemerintah telah ada kepastian karena merupakan amanat UU Perfilman, sehingga saat ini ada 2 (dua) instansi Pemerintah yang menangani perfilman, yaitu Kemendikbud. Karena kementerian ini menangani kebudayaan dimana film merupakan produk budaya.

Sementara Kemenparekraf, karena Kementerian ini menangani ekonomi kreatif dimana film sebagai salah satu unsur dari 14 unsur di dalamnya, namun disayangkan pejabat yang khusus menangani perfilman justru hanya pejabat setingkat eselon III, dibawah Direktur Film, Musik dan Media Baru (Pejabat Eselon II), Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud ristek.

Suatu kemunduran dibandingkan ketika belum ada UU Perfilman (sebelum tahun 1992), yaitu Perfilman ditangani oleh Departemen Penerangan dan yang menangani adalah pejabat Eselon II yaitu Direktur Pembinaan Perfilman. Pada saat Departemen Penerangan dibubarkan, urusan film kemudian dilanjutkan oleh Direktur Film di KemenBudpar.

Mengingat dari sisi fiskal, hasil pajak dari pemutaran film nasional di 420-an unit Bioskop (dengan lebih kurang seribu lima ratusan layar) yang terdapat di 60-an kota dari 514 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia, dimana masing-masing daerah menerapkan aturan fiskal/pajak dalam bentuk Pajak Tontonan/Hiburan dengan tarif yang berbeda-beda, tentu akan meningkat jumlahnya secara significant apabila film nasional tsb dapat meraih jumlah penonton yang lebih banyak.

Maka sudah selayaknya pemerintah lebih serius mengupayakan pengembangan film nasional yang lebih baik.
Dari sisi budaya film akan mampu menjadi benteng budaya, sekaligus sebagai media sosialisasi budaya antar daerah. Sedangkan saat ini dari sekian ratus kabupaten/kota atau daerah tersebut, ada sekian banyak unsur budaya yang belum terungkapkan ke permukaan dalam bentuk film atau tontonan yang menarik sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Sehingga sudah sepatutnya pemerintah menggelontorkan dana dan menyiapkan SDM yang banyak dan mumpuni guna mampu mensosialisasikan UU Perfilman di seluruh daerah (514 Pemkot/Pemkab) sehingga mereka tertarik untuk mendukung perfilman nasional, baik dari sisi pengurangan Pajak Tontonan/Hiburan maupun menyiapkan lokasi dan alokasi dana untuk membantu produksi film daerah.

Ditambah lagi dengan diterapkannya keterbukaan dan kebebasan usaha di dunia perfilman telah membuat film Indonesia harus bersaing secara Head to Head dengan film Impor yang biaya produksinya dapat mencapai 5 Triliun Rupiah per produksi. Sudah selayaknya pemerintah perlu memfasilitasi peningkatan kualitas SDM perfilman agar mampu membuat film yang tidak kalah menariknya dibandingkan film impor.

Karena itu, penanganan masalah perfilman nasional seharusnya ditingkatkan penanganannya ke tingkat Direktorat Jenderal atau Wakil Menteri yang khusus membidangi masalah film.

Sebagai ilustrasi, di Thailand, penanganan/koordinasi perfilman nasionalnya dibawah Prime Minister Office, sehingga terdapat cukup waktu, tenaga/staf dan sumber daya yang mumpuni untuk meningkatkan tidak hanya kuantitas dan kualitas produksi film-nya, akan tetapi juga peningkatan daya tarik film yang akan bermuara pada peningkatan pendapatan negara dari sisi fiskal/pajak di sektor film.

Peningkatan hasil edar film nasional yang akan meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk Pajak Tontonan/Hiburan dan Pajak Penghasilan yang meningkat, hal mana akan membuat Bantuan Pemerintah dalam bentuk pengalokasian dana dan SDM di sektor perfilman, tidak akan mubazir. (*)