“Kencan” dengan Nakhoda KM Tilongkabila (10-Habis) : Berguru pada Kiai di India

Oleh M. Dahlan Abubakar

SEBELUM menjadi orang kapal, Indar Bahadi pernah aktif dalam kegiatan berjamaah. Tidak saja daerah di tanah air yang disambanginya, tetapi juga sejumlah negara. Tersebutlah, Thailand, Bangladesh, dan India pernah ditandanginya. Pengalaman di India agaknya sangat membekas dalam dirinya.


Kepada penulis, Indar mengakui, pengetahuan agama yang dimilikinya kini, merupakan hasil berguru pada para kiai dan syekh sebelum dia bergabung dengan armada pelayaran. Dia bercerita, di India, sapi itu menjadi hewan suci yang disembah. Populasinya – karena tidak boleh disembelih dan dimakan dagingnya – jika tidak ada yang mengontrol bisa menimbulkan gejolak sosial. Hewan ini tidurnya di mana-mana. Kalau di jalan raya, tidak ada yang berani mengusirnya. Lalu lintas jadi macet sampai puluhan kilometer. Kereta tidak bisa jalan. Orang yang mau masuk kantor susah. Sapinya ditunggui saja bergerak sendiri, pindah dari jalan.

Akhirnya orang India memanggil orang Islam – yang memandang hewan itu sebagai makhluk biasa saja, bukan Dewa -- untuk mengeluarkan hewan bandel tersebut dari tempatnya. Sapi-sapi itu pun diusir. Karena orang Islam diperbolehkan makan daging sapi, kemudian dijadikan sebagai salah satu solusi mencegah ledakan populasi sapi. (Di India kita mengenal sapi jenis Benggala dan Brahma, yang rata-rata badannya besar dan gemuk).

Untuk menjaga tidak terjadi gejolak sosial, taman-taman dijaga oleh orang Islam agar terhindar sebagai mangsa sapi yang menghabiskan tanaman yang tumbuh di taman. Di pasar-pasar pun dijaga oleh orang Islam. Sebab, sapi itu jika datang akan melahap jualan di pasar, seperti sayur-sayuran dan sebagainya. Bayangkan kalau sapi masuk pasar, dagangan orang Hindu-Buddha itu digasaknya.

Oleh sebab itu, tidak ada orang Hindu yang menjadi anggota satuan pengamanan (satpam) pasar. Percuma saja kalau mereka ini ada. Kalau sapi masuk pasar, mereka tidak ada yang berani mengusirnya. Kalau mereka mengusirnya, dianggap berdosa.

Orang Islam di India itu boleh mengambil sapi. Biasanya pada malam hari. Satu kelompok sapi itu biasa terdiri atas sampai 20 ekor. Kalau disembelih bisa habis tiga bulan dimakan. Makanya, orang Islam di sana enak dan nikmat. Yang kandangin dan pelihara orang India, tinggal orang muslim yang menyembelihnya.

Daging sapi yang digulai atau dikari ini dinikmati dengan beras India terasa cukup enak. Beras India itu panjang-panjang. Mirip beras Thailand. Gurih pula. Berasnya lebih bagus dari beras Indonesia. Jepang seperti beras Indonesia karena biasa lengket disumpit. Kalau beras India, Thailand dan Vietnam ‘gede-gede’, biar disumpit tidak bisa lengket. Hanya saja beras ketiga negara itu enak kalau dimakan dengan kari dan gulai sapi.

“Kalau habis salat, di masjid orang makan pakai daging sapi. Pakai gulai dan nasi, makan bersama. Satu niru dikelilingi 4-5 orang. Gratis. Susu sapi juga diperah sehingga orang bisa minum susu sapi setiap saat,” kenang Indar yang sempat puluhan hari berada di negara itu.

Muslim di India minoritas, tetapi dalam hal makan mereka tidak merasa kurang. Orang Hindu Buddha justru masih banyak yang miskin. Orang Islam minumnya susu, makannya kari-gulai dan daging sapi. Orang muslim makannya begitu saja. Dari rumah ke rumah muslim sama. Kalah dengan di Indonesia Orang India memberikan kandang dan yang ternak sapi orang muslim. Satu kelompok sapi diambil seekor sampai dua ekor.

Pernah sekali waktu Indar lagi salat di salah satu masjid di India, tiba-tiba datang orang Hindu gedar-gedor. Indar pikir ada kerusuhan apa. Takmir masjid pun keluar dan ikut berlari ke pasar mengikuti si Hindu tadi. Ternyata sapi sedang mengobrak-abrik dagangan orang pasar. Begitu datang takmir, sapinya lari semua.

“Kalau sapi makan itu, remuk-remuk begitu sampai berantakan dagangan orang. Yang dimakan sayuran, buncis, kol, wortel, tomat, dan sawi,. Itu yang dihajar,” cerita Indar sambil tertawa,

“Wow..., makanannya bergizi semua,” penulis menimpali pada wawancara yang sudah menghabiskan 3 jam 24 menit 29 detik.

Setelah diusir, sapi-sapi itu lari. Akhirnya dibersihkan lagi oleh orang Hindu. Akibatnya, habis salat orang Islam menjaga di pasar. Sapinya kan berkelompok dan bergerombol. Kalau sapi yang bergerombol ini menyerbu pasar, habis dagangan penjual di pasar. Belum lagi kalau ‘teman-teman’ ini naik ke toko, kaca-kaca bisa pecah.

“Enak waktu di India itu. Makan daging dan minum susu sapi setiap hari,” ujar Indar Bahadi dalam wawancara yang menghabiskan waktu 3 jam 25 menit 27 detik tersebut.

Pada tanggal 12 Agustus 2022 penulis kembali ke Makassar dari Bima menggunakan KM Tilongkabila. Usai salat Jumat di musala kapal, Capt Indar Bahadi menggaet penulis menuju salon dek 5, tempat dia biasa makan dan minum kopi dan sebagainya. Di tempat ini ternyata sudah ada Pudji Asmoro, teman Capt Indar bersama Kepala Cabang Pelni Bima Putra Kencana. Perbincangan santai berlanjut hangat.

Selama pelayaran antara Bima-Labuan Bajo-Makassar, penulis selalu bertemu dengan Capt Indar Bahadi usai salat di Musala Al Muhaimin KM Tilongkabila. Ketika kapal sandar di Pelabuhan Makassar pukul 18.00 Wita, 13 Agustus 2022, penulis memutuskan menuntaskan salat magrib di musala kapal. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Nakhoda KM Tilongkabila yang telah memfasilitasi dalam pelayaran kembali ke Makassar.

“Capt, terima kasih atas layanannya selama di kapal. Selamat berlayar,” ucap penulis yang segera disambut Capt Indar Bahadi memegang tangan dengan penuh kehangatan. (Habis)