Penderitaan Rosmiati Memprihatinkan, Baznas Kota Makassar Tak Tinggal Diam dan Rutin Berikan Bantuan

SOROTMAKASSAR -- Makassar.

Rosmiati kian hari makin kurus. Bahkan, kini tubuh perempuan empat orang anak ini nyaris tinggal tulang dan kulit. Sepanjang hari. Siang dan malam, dalam dua tahunan belakangan, perempuan yang kini ditinggal pergi suaminya itu hanya terbaring di atas kasur. Kakinyapun tak bisa lurus. Penderitaannya cukup memprihatinkan.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Makassar pun tak tinggal diam. Setiap bulan, lembaga pemerintah nonstruktural yang dipimpin H. Ashar Tamanggong ini secara rutin menyerahkan bantuan bulanan, berupa uang, beras, dan kebutuhan makan lainnya.

Pada Sabtu (18/12/2021), selain bantuan rutin bulanan, Ashar Tamanggong didampingi Wakil Ketua II, H. Jurlan Em Sahoas, Wakil Ketua III Waspada Santing, Kepala Bidang I H. Arifuddin, dan Kepala Bidang II Ahmad Gunawan, serta sejumlah staff, juga menyerahkan dana untuk keperluan membeli obat.

“Bantuan dana ini baru tahap pertama. Baznas Makassar akan selalu mendampingi ibu Rosmiati. Kami juga akan mengawal Aisyah – anak Rosmiati untuk mencapai cita-citanya menjadi dokter,” ujar H. Ashar Tamanggong di kediaman Rosmiati.

Ketua Lembaga Dakwah NU Kota Makassar ini mengemukakan, sekalipun menderita dan ditinggal suami, namun harapan Rosmiati untuk sembuh sangat besar. Hanya saja, dia kekurangan biaya.

“Dapat dibayangkan, untuk kebutuhan sehari-hari saja, tidak cukup. Untung saja, anak perempuan dari Rosmiati ini, Aisyah yang masih duduk di bangku kelas V SD bisa membantu kebutuhan dengan cara menjual kue donat. Anak ini sangat luar biasa,” tuturnya.

Karena itu, ATM — sapaan akrab pria Makassar, kelahiran Takalar ini mengharapkan para donatur, dan juga para dermawan untuk sama-sama menyisihkan sebagian hartanya buat kesembuhan Rosmiati.

“Dalam hadis nabi, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Karena itu, jika sudah ada donatur yang membantu, saya yakin Rosmiati bisa sembuh. Kesembuhan Rosmiati sangat diharapkan, untuk melihat masa depan anak-anaknya,” harap Ketua Senat Tarbiah UMI 1997 ini.

Pernyataan senada dikemukakan H. Jurlan Em Saho’as. Seniman ini mengaku, sebenarnya anak dari Rosmiati, yakni Aisyah adalah anak terhebat. Dia mampu melihat kondisi ibunya yang membutuhkan biaya pengobatan besar.

Seperti diketahui, Rosmiati adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Sebelum menderita sakit, Rosmiati bekerja di gudang roti di Jalan Gunung Bawakaraeng. Tetapi, entah mengapa, dia menderita seperti ini.Di gudang roti itu, setiap hari Rosmiati memperoleh upah lebih Rp 100.000, namun setiap minggu baru didapatnya. Dia bekerja di gudang roti itu sekitar tiga tahun. Tetapi, kini sudah lebih dua tahun dia tidak bisa bangun.
Rosmiati hanya bisa terbaring.

Tangannya tidak bisa goyang, badannya menghitam, kakinya tidak bisa lurus. Kini berat badannya pun lebih ringan dari sekitar 50 kilo saat masih sehat, dan kini hanya tinggal beberapa kilo saja.

“Pertamanya sakit memang di gudang. Awalnya panas, kemudian dibawa ke rumah sakit. Dia bilang sakit di kepalanya. Lama kelamaan, seluruh badannya sakit, hingga tidak bisa bangun.

"Saat itu, anak saya ini bertanya, bagaimana bisa begini badanku. Saya tidak bisa bangun,” tutur ibunya menirukan ucapan Rosmiati.

Lalu mengapa keluarga Rosmiati tidak membawanya ke rumah sakit untuk berobat ? Tidak lain karena, keterbatasan dana. “Kami berharap Rosmiati bisa berobat di rumah sakit, supaya bisa cepat sembuh. Tapi, masalah yang timbul, tidak ada uang,” tambah ibunya.

Sementara rumah yang ditempati, Rosmiati mengaku bukan rumah pribadinya, melainkan rumah keluarganya dari ibunya.

Pemilik rumah petak petak berlantai dua yang terbuat dari papan yang sudah termakan usia itu memberinya salah satu kamar yang tersambung dengan dapur di lantai II. Hanya saja, untuk ke lantai II harus berhati-hati. Selain papan menuju kamar yang ditempat Rosmiati bersama ibu dan kedua anaknnya sudah rapuh. Sudah berlubang. Mudah patah, sehingga kalau tidak hati-hati bisa jatuh. Pengukuran untuk calon bedah rumah. Atapnya juga sedikit bocor, sehingga kalau hujan basah.

“Kami hanya bisa mengucapkan terima kasih. Karena, setiap bulan, Baznas ke rumah kami untuk memberi bantuan uang, beras, minyak kelapa, teh, dan mie. Uangnya, bisa membantu membeli obat buat kesembuhan ibu saya. Di saat ibu saya sakit, ayah pergi. Dia juga tidak memberi kami nafkah,” ujar Aisyah, murid kelas V SD Cokroaminoto saat didatangi Tim Baznas.

Mungkinkah dalam diri Aisyah telah tertanam “Birrul Walidain”, yakni, bagian dalam etika Islam yang menunjukan sikap bakti seorang anak kepada orangtua. Berbuat baik kepada orang tua juga disebutkan dalam QS. An Nisa: 36. Berbakti kepada orangtua dapat ditunjukkan dengan cara tidak menyakiti hatinya, serta senantiasa mematuhi perintahnya.

Itulah mengapa, tatkala melihat ibunya yang terbaring, akibat penyakit yang menderanya, lantas tergerak hati untuk mencari jalan keluar. Itu dilakukan Aisyah, lantaran tidak ada biaya hidup, karena Firman yang tidak lain adalah ayah kandungnya memilih meninggalkan rumah.

Selain meninggalkan rumah, ayahnya juga tidak mengirimkan biaya untuk keperluan sehari-hari, termasuk biaya pengobatan ibunya. Ayahnya itu pergi. Dia lari dari tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Dia pergi meninggalkan ibunya, Aisyah dan adik laki-lakinya.

“Ayah tidak cerai. Tetapi, dia pergi meninggalkan ibu, saya dan adik saya sejak dua tahun lalu, sambil membawa adik yang satu,” demikian Aisyah. (*)