Zubair, dari Tilongkabila ke Tol Laut

SOROTMAKASSAR -- Makassar

Rabu (7/7/2021) saya berkomunikasi dengan Bapak Zubair, alumnus SMA Negeri 10 Makassar yang saya kenal di atas KM Tilongkabila yang berlayar dari Makassar-Labuan Bajo-Bima-Lembar-Benoa (Bali) pada tahun 2019.

Tetapi saya tidak lanjut hingga ke Bali, tetapi harus turun di Pelabuhan Bima karena memang mau mudik sebelum dilarang pada tahun 2019. Saat itu, bertepatan juga PT Semen Tonasa memfasilitasi mudik gratis untuk para penumpang trayek KM Tilong Kabila, khusus untuk Labuan Bajo, Bima, dan Lembar.

Pertemuan dengan Pak Zubair, yang ketika itu (2019) menjabat Mualim I KM Tilong Kabila sebenarnya berlangsung secara tidak terduga sama sekali. Saya sebenarnya ingin menemui nakhoda kapal buatan Jerman tersebut. Namun, yang dicari sedang istirahat, akhirnya Pak Zubair pun saya ajak berbincang-bincang seputar pengalamannya di atas laut.

Seperti biasa, ketika mewawancarai seseorang saya selalu berusaha tidak formal-formal amat. Maksudnya, tidak menerapkan format baku wawancara yang kaku, tetapi lebih mengajak lawan bicara bercerita secara lepas tanpa beban apa-apa. Artinya, kita biarkan dia menjawab dan bercerita tentang pertanyaan yang diajukan.

Jika ada jawabannya yang menarik, boleh disela, dipotong atau diinterupsi untuk mengajukan pertanyaan baru demi mempertajam lebih rinci apa yang sempat dia singgung atau ungkapkan. Model percakapan seperti inilah yang saya gunakan untuk menggali informasi saat mengumpulkan bahan untuk penulisan buku biografi seseorang. Ketika menemukan poin yang menarik (human interest) percakapan akan mengalir sendiri.

Perkenalan awal berkaitan dengan jati diri seseorang, merupakan pintu masuk yang menarik dalam menggali informasi. Bagian jati diri ini akan menggiring sang pewawancarai memiliki kedekatan dalam aspek-aspek tertentu. Boleh dalam bentuk kedekatan geografis karena tinggal di wilayah kota, kecamatan, atau kelurahan yang sama. Boleh kedekatan emosional karena ada hubungan tertentu yang mengaitkan pewawancara dengan narasumber.  Dan boleh karena persamaan pengalaman ketika pernah melakukan sesuatu.

Dua aspek yang berkaitan dengan jati diri ini juga secara tidak terduga sama sekali ketika bertemu Pak Zubair. Dari segi geografis, ternyata kami (saya dan Pak Zubair) tinggal di kecamatan yang sama, Manggala Kota Makassar. Kediaman saya di Kompleks Unhas dengan rumahnya di Jl. Rindu Alam (ke arah SMA Negeri 12 Makassar) tidak cukup satu kilometer, jika ditarik garis lurus. Jika saya naik sepeda motor dari dan ke titik yang kedua, tidak akan lebih dua menit jika tidak macet.

Mengetahui Pak Zubair memiliki rumah di sini, saya pun mengatakan bahwa hampir tiap minggu saya melintas di jalan pintas (dilalui) di dekat rumahnya ketika kondisi arus lalu lintas di Jl. Antang Raya sedang padat-padatnya. Biasanya, dari arah Pembangkis Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tello yang memiliki total kapasitas 197,7 MW, saya belok kiri di samping MISI Pasar Raya, mall kecil milik Pak H.M.Yasin Azis. Pria asal Barru yang termasuk pengusaha sukses setelah meninggalkan Timor Timur pascajajakpendapat tahun 1999.

Saya ternyata juga memiliki hubungan emosional dengan Pak Zubair. Istrinya yang alumni SMA Negeri 10, rupanya satu angkatan dengan anak pertama saya, Hery. Tentu saja Hery kenal baik dengan istrinya Pak Zubair. Satu sekolah, satu kelas dan satu kecamatan pula. Dan, Hery langsung menyebut nama istri Pak Zubair temannya itu ketika bertemu saat kami akan turun di Pelabuhan Bima pada malam hari.

Setelah dua tahun tidak bertegur sapa, Rabu itu saya mencoba mengirim pesan whatsapp. Pak Zubair menyahut, bahwa dia sudah pindah kapal. Sekarang ditugaskan pada kapal Tol Laut rutenya, Birung ke Pulau Miangas dan pulau-pulau kecil di sekitarnya membawa sembilan bahan pokok (sembako).

Data yang saya temukan, kapal dengan warna biru merah di lambung ini tertulis TOL LAUT yang dinakhodai Pak Zubair bernama KM Kendhaga Nusantara I yang terpampang di lambung kiri kanannya. Armada tol laut ini merupakan “container ship” dan dibangun pada tahun 2018. Kapal ini mampu mengangkut 1.000 ton beras yang dikirim dengan menggunakan peti kemas. Kecepatan rata-rata 6,1/5,8 knots dengan gross tonnage 1.787 ton, dengan summer DWT (Deadweight tonage, total berat yang dapat diangkut) 2.194 ton.

Kapal dengan panjang 74 m dengan lebar 17 m ini melayari rute Bitung, Tagulandang yang terkenal dengan salak paling manis di Indonesia, Tahuna, Melonguane, Lirung, Miangas, Bitung. Muatan ini dari pelabuhan asal biasanya menggunakan peti kemas dan didistribusi di Pelabuhan Bitung yang selanjutnya akan diangkut di antaranya oleh KM Kendhaga Nusantara I ke beberapa pulau. Pemerintah telah membagi trayek pengangkutan logistik sambungan Tol Laut ini dengan menyediakan sejumlah kapal berukuran DWT 500 dan DWT 750 yang dapat merapat di pelabuhan-pelabuhan kecil dan terpencil.

Membaca Pulau Miangas, saya teringat pada tahun 2013 ketika “rerdampar” di pulau paling utara Republik Indonesia itu saat menjadi supervisor Mahasiswa KKN Unhas. Saya juga jelaskan bahwa sempat mampir salat zuhur di sebuah masjid di Marore, pulau yang ketika saya singgahi terdapat kantor perwakilan dua negara, Indonesia dan Filipina.
“Sekali-sekali saya mampir di Marore, Pak,” seru Pak Zubair melalui WA di utara sana.

Katanya lagi,” Cuma sekarang lebih rutin singgah di Melonguane dan Lirung”. Kedua tempat ini tidak sempat saya singgahi bersama KM Meliku Nusa, kapal motor perintis yang memuat barang, penumpang, dan juga ternak yang saya tumpangi bersama mahasiswa KKN Unhas itu.

“Meliku Nusa” waktu itu dianggap sebagai “pahlawan bahari” di nusa utara karena jasa-jasanya menghubungkan Bitung dengan pulau-pulau terluar di bagian utara tengah republik ini hingga Miangas yang jaraknya hanya 30 mil dari Filipina. Saya dan rombongan mahasiswa KKN Unhas waktu itu jika tidak salah menghabiskan waktu tiga hari hari tiga malam baru sandar di Miangas pada pagi hari yang cerah.

Tetapi harus dicatat, KM Meliku Nusa bagaikan “pete-pete” di Makassar. Dia harus menurunkan dan menaikan penumpang pada tujuh atau delapan pelabuhan hingga tiba di Miangas, Ketika saya, dari Bitung malam hari, kita singgah di Kahakitang pagi hari. Setelah berlayar di sebelah utara Gunung Karangetang yang tingginya 1.827 m, terletak di Kepulauan Siau yang meletus 2019, kami tiba sore hari di Tahuna.

Malam hari satu regu pasukan Pamtas Miangas bergabung. Salah seorang di antaranya ada anak Makassar, tetapi saya lupa namanya. Kami berlayar malam hari dan ada beberapa pelabuhan yang tidak semoat saya catat karena tertidur. Yang sempat saya catat pagi keesokan harinya, , , Kawio, Kawaluso, dan Marore.

Sore hari meninggalkan Marore, KM Meliku Nusa mulai berlayar menuju pulau tujuan, Miangas. Setelah berlayar tanpa henti selama 16 jam menembus malam hanya diterangi bintang pagi hari kami tiba di Miangas, pulau yang selalu menjadi buah bibir RRI, dari Sabang Merauke, dan dari Miangas ke Pulau Rote.

Kapal perintis yang memiliki kapasitas 268 penumpang dan 500 DWT ini jika tiba bulan yang ada suku kata /ber/ (September, Oktober, November, Desember) mulai memperhitungkan dan mempertimbangkan melakukan pelayaran ke Miangas. Pada bulan-bulan tersebut gelombang tinggi biasa mencapai antara 3-5 m. Oleh sebab itu, penduduk Miangas akan berbelanja untuk keperluan empat bulan itu.

Tetapi KM Kendhaga Nusantara I yang bobotnya lebih besar akan mampu menaklukkan gelombang laut utara itu.

Jaringan trayek Tol Laut ini Hub-1 terdiri atas Tanjung Perak Surabaya, Makassar,Bitung, Tidore, Tanjung Perak yang dioperatori PT Pelni dengan kapal kontainer KM Logistik Nusantara 2 yang berukuran 5.000 DWT. KM Kendhaga Nusantara I melayari trayek T-5 dengan rute, Bitung, Tagulandang, Tahuna, Melonguane, Miangas, Marore, Bitung.
“Ok, Pak kapan-kapan kita bisa bertemu lagi. Selamat beraktivitas semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah swt. Aamiin,” tulis Pak Zubair boleh jadi sedang mengarungi lautan bersama KM Kendhaga Nusantara I yang dinakhodainya.

Satu kesyukuran kalau kita berlayar menggunakan kapal dari Bitung ke Miangas seperti yang saya alami delapan tahun silam itu, signal telepon seluler terus tersambung. Saya bahkan pernah pindah-pindah stasion radio di Makassar untuk melaporkan perjalanan para mahasiswa KKN Unhas itu ketika dalam pelayaran menuju Tahuna dari Bitung. Saya lebih awal mengontak teman-teman RRI Makassar, kemudian beberapa radio berita/swasta niaga.

Ketika para mahasiswa pada hari kedua harus “melapor” ke Gunung Keramat yang terletak di daerah ketinggian di Pulau Miangas, saya mengontak teman-teman di RRI Makassar untuk melakukan siaran langsung acara penerimaan mahasiswa Unhas oleh kepala adat setempat di atas gunung yang menyimpan tiga pucuk meriam kecil peninggalan penjajah, entah bangsa penjajah yang mana. Tetapi melihat model meriam, sepertinya itu warisan penjajah Belanda.

Selama sekitar 30 menit saya menggilir beberapa narasumber untuk memperdengarkan suaranya melalui radio pemersatu bangsa, RRI. Mulai dari Komandan Pasukan Keamanan Perbatasan (Pamtas) waktu itu, Lettu Inf. Arief Efendy, lalu Kepala Adat, dan Koordinator Mahasiswa KKN Unhas Pulau Miangas Riswanto dari Fakultas Teknik.

Jika mendengar kata Miangas, saya teringat Pak David, Danramil Miangas (Miangas, desa sekaligus (ibu kota) kecamatan). Pendeta Bawala,tempat saya menginap bersama Ir. M.Rusli Rukka, M.P yang baik hati, Tidak heran kami berdua saling menyapa dengan tambahan nama “Bawala” di belakang masing-masing. Ya, sekadar mengenang Pulau Miangas. He..he.. (M.Dahlan Abubakar)