Domba-Domba yang Bungkam (Mengenang Tragedi 11 September 2001)

Oleh : M. Dahlan Abubakar

GREG PALAST adalah pengarang “The Best Democracy Money Can Buy”, sebuah laporan investigasi tentang kecurangan dan korupsi dalam kursi kekuasaan tertinggi, 11 September 2001, sedang menatap laptopnya dengan pandangan kosong, diam, dan mengkhawatirkan nasib teman-temannya di lantai 52 Menara Satu, tempat dia bekerja bertahun-tahun di New York. Sebuah pertanyaan sederhana muncul dari benaknya.

“Bukan mengapa, melainkan bagaimana. Bagaimana Federal Bureau Investigation (FBI) – Biro Penyelidik Federal, Central Intelligence Agency (CIA) – Badan Intelijen Pusat -- perangkat intelijen beranggaran triliunan dolar itu – tidak mencium serangan ini ?,” dia membatin, yang dua bulan kemudian menemukan jawaban yang mengerikan. Mereka diperintahkan untuk tidak melihat !

Palast yang dilahirkan di Los Angeles, California, 26 Juni 1952, menulis dalam “Into the Buzzsaw Leading Journalists Expose the Myth of A Free Press” (Q-Press, Bandung, 2006) dengan judul yang sangat metaforis, “Domba-Domba yang Bungkam”.

Dia menyebutkan, sebuah kelompok dengan sumber-sumber yang tepercaya mengatakan kepada tim BBC, sebelum 11 September kelabu itu, pemerintah AS telah menyingkirkan bukti miliuner Arab Saudi yang mendanai Osama Bin Laden.

Bekerja dengan “Guardian” (salah satu koran paling berpengaruh di Inggris) dan “National Security News Service” Washington (salah satu jangkar media The New York Times), Palast memperoleh dokumen-dokumen pendukung cerita bahwa penyelidikan FBI dan CIA diperlambat oleh pemerintah Bill Clinton, kemudian “dibunuh” oleh Bush Jr ketika penyelidikan-penyelidikan tersebut mengganggu kepentingan-kepentingan Arab Saudi.

“Cerita ini menjadi puncak dari segala berita di Inggris. Di Amerika seorang wartawan televisi mengutip berita tersebut. Ia ditelepon, katanya, oleh bos jaringan dan diperintahkan untuk tidak melanjutkan berita tersebut. Ia pun menurut. Rick MacArthur, penerbit Harper, bertanya kepada saya mengapa berita tersebut tidak berlanjut di Amerika,” Palast, penulis “freelance” yang bekerja untuk BBC dan “The Guardian” Inggris itu bergumam dalam kalimat yang terus mengganggu.

“Ada yang mau menjawab ?”. Palast pantas bertanya. Reputasinya sebagai penulis kondang dan terpandang, batinnya mampu meneropong dan menelisik kejanggalan yang terjadi dalam musibah yang menewaskan ribuan jiwa tersebut. Dia sudah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk Penghargaan Kebebasan Berekspresi yang diberikan “American Civil Liberties Union” (ACLU), untuk karyanya dalam “Demokrasi dan Regulasi", sebuah penghargaan majalah nasional untuk tulisannya dalam majalah “Harper” dan “Politics Story of the Year” (2001) dari “Salon.con”.

Tragedi penabrakan gedung World Trade Centre (WTC) di New York dan Pentagon di Washington, Amerika Serikat, 11 September 2001 hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin sebuah negara adikuasa dan adidaya macam Amerika Serikat yang memiliki pertahanan dalam negeri dengan piranti teknologi tercanggih bisa dibobol oleh tiga pesawat yang lolos menabrakkan dirinya ke dua objek vital dan sebuah lainnya jatuh di Pennsylvania ?.

Herannya lagi, tidak satu pun pesawat tempur Amerika berhasil mencegat ketiga pesawat gila itu saat mengudara. Padahal, pembajakan pesawat pertama terjadi pada pukul 08.20 pagi dan pembajakan pesawat terakhir di Pennsylvania terjadi pada pukul 10.06 pagi hari yang sama.

Yang paling mengherankan lagi, jarak Pangkalan Udara Andrews, tempat sekian banyak tempur AS nongkrong, jaraknya hanya 15 km dengan ibu kota Washington yang memungkinkan pesawat Boeing 767 tercegah tidak menabrak Pentagon.

Laporan kantor berita AP 13 Agustus 2002, menyebutkan, antara September 2000 hingga Juni 2001, tidak kurang dari 67 kali pesawat-pesawat buru sergap Komando Pertahanan Udara Amerika Utara (NORAD) menyergap dan menggiring pesawat-pesawat mencurigakan atau yang terbang melenceng dari jalur yang ditetapkan.

Banyak data yang mestinya terungkap habis, tiba-tiba saja menguap begitu saja dalam suatu skenario yang benar-benar mencengangkan. Seperti halnya dengan bekas lubang yang dihantam moncong pesawat Boeing 767 di Pentagon, sama sekali tidak meninggalkan puing-puing sedikit pun sebagaimana yang kita maklumi pascaterjadinya kecelakaan pesawat jatuh atau menabrak sesuatu. Jangankan puing-puing pesawat, barang dan orang yang konon ada di dalam perut pesawat pun raib entah ke mana.

Abhee Antara (2013:174) dalam bukunya ‘’Teori Konspirasi’’ mengungkapkan, sangat diragukan kisah tentang 19 orang teroris Al-Qaeda yang disebut-sebut intelijen Amerika berhasil menyusup dan menguasai pesawat yang kemudian menghunjamkannya ke WTC New York dan Pentagon di Washington. Begitu lemahnya keamanan bandara, tempat ketiga pesawat itu take off, sehingga secara 'berjamaah’ besi terbang itu berhasil menyelundupkan para pembajak yang kemudian dicap sebagai teroris.

Kemampuan Muhammad Atta, Marwan Al Sehhi, dan Hani Hanjour yang ditengarai sebagai pilot berkebangsaan Saudi yang membajak dan mengambilalih kemudi lalu menabrakkannya ke gedung WTC, sangat mustahil. Menurut Marcel Bernard – seorang instruktur pada pusat pendidikan penerbangan tempat ketiga pilot itu pernah menjalani latihan – tulis Abhee Antara --, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih sekelas Boeing 767, mengemudikan pesawat Cessna 172 yang sebesar capung saja ketiganya masih buta.

Para analis berpendapat, penabrakan kedua pesawat tersebut (ke WTC dan Pentagon) dicurigai dilakukan menggunakan remote control dan diledakkan secara otomatis oleh alat yang terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal.

Mengapa mereka melakukan tindakan gila seperti ini, konon itu sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan konsijensi bila sewaktu-waktu pesawat dibajak. Dan, kemudian ‘’ternyata’’ dibajak betul. Simpulan ini diperkuat oleh analisis bahwa serangan terhadap kedua obyek itu melibatkan ‘’orang dalam’’ yang mencakup AU AS, Pentagon, CIA, dan Mossad.

Yang sangat aneh di balik musibah 11 September 2001 ini, adalah tidak terlihat adanya upaya pencegahan terhadap penyerangan itu. Bahkan, AS dengan sengaja tidak bertindak secara siginifikan guna mencegah serangan tersebut. Padahal, sebagaimana ditulis Abhee Antara, 11 negara, termasuk badan-badan intelijen Eropa telah memberi peringatan dini kepada pemerintah Amerika tentang kemungkinan serangan itu.

Israel yang tentu saja selalu bermain di dalam berbagai musibah global justru lebih pintar. Sebelum musibah menimpa WTC, tidak seorang pun dari 3.000 orang Yahudi yang berkantor di dua menara kembar itu masuk kerja. Terungkap kemudian, dua jam sebelum serangan mematikan itu, Odigo, perusahaan telekomunikasi Israel, menerima pesan pendek. Isi pesan itu diteruskan Odigo ke seluruh orang Yahudi yang bekerja di menara kembar agar tidak masuk kantor. Publik pun tidak pernah membaca di berbagai media akan adanya seorang pun warga Yahudi dilaporkan menjadi korban dalam penabrakan pesawat pada pagi hari 11 September 2001 tersebut.

Yang sangat ironis, pasca penabrakan gedung oleh pesawat Boeing 767, lima orang pria yang kemudian diketahui berkebangsaan Israel, menari-nari dan bersorak kegirangan, seperti dilaporkan The New York Times. Mereka sempat ditahan selama 71 hari, sebelum dibebaskan secara rahasia lantaran teridentifikasi sebagai agen Israel, Mossad. (Abhee Antara, hlm.261).

Keterlibatan Israel dalam kasus tersebut juga terungkap melalui informasi mengenai salah seorang pilot, seperti ditulis oleh Gordon Duff, seorang editor senior membuat analisis di salah satu situs veteranstoday.com, menyebutkan bahwa Ali Al Jarrah, salah seorang dari pembajak tersebut adalah seorang berkebangsaan Lebanon yang bekerja sebagai agen Mossad. Tugasnya adalah memata-matai kelompok Palestina. Nah, begitulah berbagai musibah dan tragedi di planet bumi ini penuh dengan konspirasi dan kebohongan global. Ada komentar ? (***)