Catatan Pertunjukan Teater “Galigo - Nawanawanna Sawerigading” Teater Satu SMAN I Makassar (Bagian 2)

SOROTMAKASSAR - MAKASSAR


MAGGALI- GALI SAWERIGADING
Oleh. Yudhistira Sukatanya
(Penulis, Sutradara Teater)

Seberapa Bugis


Dalam sesi diskusi “Apresiasi Seni Pertunjukan Berbasis Budaya Bugis”, Bahar Merdhu, sutradara teater Petta Puang, menggeledah beberapa aspek pertunjukan, mengulas dan mempertanyakan beberapa hal dasar, seberapa Bugis-kah pertunjukan GNS.

Yudhistira Sukatanya (Penulis, Sutradara Teater)

Meski Teater SATU SMAN I Makassar adalah peraih penghargaan sebagai Grup
Penyaji Terbaik I, Skenario Terbaik, Penata Musik Terbaik dan Penata Artistik Terbaik dan Pemeran Wanita Terbaik, tidak lalu lagi-lagi mampu tampil sempurna menghadirkan pertunjukan Berbasis Budaya Bugis. Beberapa elemen pertunjukan mereka kali ini masih menjadi bolong tak terhindarkan. Ambil misal pada tata busana, 70 % tampilannya ala busana Makassar, atau setidaknya mengingatkan pada ilustrasi yang dibuat oleh anak Bugis Pahang, Malaysia. Beruntung karena upaya Nurhayati Najamuddin selaku penata masih berhasil dalam pemilihan warna yang cukup mewakili warna khas Bugis, plus nuansa keemasan.

Dalam pemeranan rerata pemain nyaris meneriakkan dialog atau monolognya, akibatnya keanggunan tata cara berbicara keluarga bangsawan Bugis juga perangkatnya terdengar stereotipe, sulit menegaskan perbedaan suasana hati, pikiran dan perasaan khas Bugis. Begitu pula teks-teks arkais yang sangat puitis cenderung kehilangan pesonanya, tak terselamatkan oleh irama Bugis yang dikenal manis, puitis. Meski demikian tetap terlihat ada upaya sungguh-sungguh para pemain untuk menghidupkan peran melalui teks, gerak tubuh, ritme dialog, emosi dan karakter.
Teks, gerak tubuh, emosi dan karakter adalah alat utama pertunjukan teater. Untuk menyampaikan pesan atau cerita dalam pertunjukan teater para aktor dapat menggunakan bahasa tubuh, gestur, dan gerakan mimiknya untuk mengungkapkan emosi, dan karakter yang diproyeksikan. Elemen tersebut dapat menjadi semacam narasi meski tanpa menggunakan dialog verbal yang kompleks. Untuk menguasai dan memanfaatkan elemen ini, secara teknikal tentu membutuhkan proses latihan serius dan sungguh-sungguh.



Jika memperhatikan cara aktor GNS berjalan, berdiri dan berinteraksi dengan objek atau orang lain, gerakan mereka belum lagi mampu optimal menyampaikan informasi penting dalam tampilan karakter dan situasi Bugis yang diproyeksikan. Ini juga bagian yang masih perlu dilatih untuk penguatan karya selanjutnya.

Aktor GNS yang menyuarakan teks arkaisnya masih terdengar terbata-bata ketika berusaha menyampaikan pesan dari cerita dalam dialek Bugis, pantaslah jika kemudian mereka menggunakan cara pintas memilih mengandalkan bahasa visual, bahasa tubuh, ketika meniru tampilan khas Bugis. Terlihat dan terasa benar, bahasa visual, bahasa tubuh yang diwujudkan pada pertunjukan sore hari itu masih bersifat universal dan klise, tapi upaya mereka telah diwujudkan seoptimal mungkin untuk tetap dapat dipahami oleh berbagai kalangan, tanpa batas hambatan bahasa verbal Bugis.

Tujuan utama menonton pertunjukan teater memang adalah untuk menikmati dan memahami cerita tapi tak perlu khawatir jika tidak dapat memahami cerita dari teks- setiap kata dan kalimat karena masih ada elemen lain yang bisa dinikmati. Seumpama syair lantunan passureq ini :

Tuling-ngi matuq ana’ datuE rudu sikekku,
Dengarlah wahai syairku, wahai anak raja
Dewata ttaro to sipurio sumangeq lolang,
Dewata-lah yang menanamkan cinta-kasih
Dewata ttaro doko mellinrung,
Dewata-lah yang menyembuhkan rasa sakit
Dewata ttaro limongeng sobbu,
Dewata mengetahui yang tersembunyi

Suatu ungkapan sastrawi yang eksotis

Foto. Rachim Kallo

Kebangkitan Semangat Kultural

Dengan sedikit mengabaikan segala catatan elementer diatas, pertunjukan oleh generasi muda teater Sulawesi Selatan ini masih terbilang cukup mampu memesona, menggugah emosi dan imajinasi penonton melalui visualisasi yang kuat dengan dukungan tata cahaya, ekspresif dan impresif, hasil upaya Sukma Sillanan.
Sebagai grup penyandang prestasi Juara Pertama pada Festival Teater Berbahasa
Daerah se Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan, maka Teater SATU SMAN I Makassar masih pantas menyandangkan harapan untuk masa depan, terwujudnya kebangkitan semangat kultural generasi muda melalui panggung teater.

Untuk pencapaian prestasi Teater SATU SMAN I Makassar masa kini, pantas pula pada mereka dijadikan sampel bahwa di Makassar masih ada anak-anak muda yang tidak larut pada arus budaya global, digital hingga akut terpapar toxid gadget, tapi dengan perkasa mereka juga memberi perhatian pada keunggulan budayanya. Kali ini budaya Bugis.


Waktu dan kesempatan tentu masih akan menjadi lintasan ujian dan tantangan yang harus mereka lalui demi pencapaian prestasi lebih baik di masa depan.

Salam Teater.
(habis/rk)